Aturan Status Penahanan Terdakwa dalam Putusan Dipersoalkan ke MK
Berita

Aturan Status Penahanan Terdakwa dalam Putusan Dipersoalkan ke MK

Karena pasal tersebut menimbulkan subjektivitas aparat penegak hukum, khususnya hakim.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materi Pasal 193 ayat (2) huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait ketentuan status penahanan terdakwa saat menjatuhkan putusan pemidanaan yang tercatat nomor 30/PUU-XV/2017. Pemohonnya, Zain Amru Ritonga yang berprofesi advokat, dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya pasal yang berkaitan status penahanan terdakwa.

Selengkapnya bunyi Pasal 193 ayat (2a) KUHAP adalah: “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu.”

Pemohon menilai Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan telah menimbulkan perbedaan penafsiran. Pertama, Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP dianggap telah mengebiri hak-hak terdakwa yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi untuk mendapakan penangguhan penahanan.

Kedua, menurut pemohon dengan adanya putusan Pengadilan Negeri yang memerintahkan agar terdakwa ditahan, maka berakibat tidak dapat ditangguhkan penahanannya dalam proses banding sebelum adanya putusan lain yang membatalkan putusan pengadilan tersebut.

Menurut pemohon, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 8 Tahun 1985 yang pokoknya apabila kewenangan hakim tingkat Pengadilan Negeri untuk menahan terdakwa berdasarkan Pasal 26 KUHAP sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri tidak dapat memerintahkan agar terdakwa ditahan dalam putusannya.

Pemohon beralasan dalam praktik pasal tersebut membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap prinsip persamaan di muka hukum. “Selama ini lebih banyak hakim pengadilan tidak menjatuhkan putusan penahanan terhadap terdakwa yang selama proses persidangan tidak ditahan, seperti dalam kasus Ahok,” ujar kuasa hukum pemohon, Victor Dedy Sukma dalam sidang perbaikan  permohonan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (5/7/2017).

Baca Juga: Putusan, Penahanan Ahok, dan Masa Transisi Peradilan

Diluar persidangan, Victor Dedy Sukma melanjutkan seharusnya Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP sifatnya eksekutorial dan tidak abu-abu. “Titik poin kita penafsiran kata “dapat” ini menjadi grey area (abu-abu, red). Jadi kata ‘dapat’ dalam pasal tersebut, kami minta agar Mahkamah dapat menafsirkan, apakah mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak,” pintanya.

Jika sudah divonis pengadilan negeri kemudian mengajukan banding dan jaksa juga mengajukan banding, sehingga belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, seharusnya hakim Pengadilan Negeri tidak punya kompetensi lagi untuk menahan, melainkan Pengadilan Tinggi yang dapat melakukan penahanan. “Tetapi, kenapa hakim Pengadilan Negeri dapat melakukan penahanan, atas dasar apa?” ungkapnya.

Semestinya, Victor berpendapat ketika belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim Pengadilan Negeri tidak boleh melakukan penahanan karena kewenangannya sudah beralih ke Pengadilan Tinggi. “Ini disebabkan, Pengadilan Negeri merujuk kata ‘dapat’. Artinya kata ‘dapat’ itu bisa iya dan bisa saja tidak,” katanya.

Baca Juga: Baca Argumentasi Pemerintah DPR Terkait Aturan Putusan Pemidanaan

Victor menyimpulkan pasal ini menimbulkan adanya subjektivitas seseorang (aparat penegak hukum). “Kan seharusnya di dalam KUHAP tidak ada lagi unsur-unsur subjektivitas, dimana seharusnya hakim harus objektif. Seharusnya unsur human being, perasaan manusia seperti itu tidak menjadi indikator. Dikhawatirkan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana yang sama, saya rasa tidak logis (lagi),” katanya.

Jika melarikan diri, lanjutnya, apa gunanya ada polisi dan petugas Imigrasi. “Tinggal hakim perintahkan Ditjen Imigrasi agar terdakwa dilakukan pencekalan, seperti layaknya KPK. Kemudian barang bukti sudah ada di polisi, tidak mungkin orang tersebut bisa menghancurkan.”
Tags:

Berita Terkait