Hindari Kejahatan Pajak, Indonesia-Swiss Deklarasi Kesiapan Pertukaran Informasi Keuangan
Berita

Hindari Kejahatan Pajak, Indonesia-Swiss Deklarasi Kesiapan Pertukaran Informasi Keuangan

Tantangan bagi pemerintah adalah membuat regulasi untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan penghindaran pajak meski AEoI sudah berjalan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hindari Kejahatan Pajak, Indonesia-Swiss Deklarasi Kesiapan Pertukaran Informasi Keuangan
Hukumonline
Pemerintah Indonesia dan Swiss mendeklarasikan kesiapan kedua negara untuk saling bertukar informasi keuangan untuk tujuan perpajakan atau dikenal dengan istilah Automatic Exchange of Information (AEoI).

Penandatangan Joint Declaration tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Ken Dwijugiasteadi, dan Duta Besar Swiss untuk Indonesia, Yang Mulia Yvonne Baumann, yang disaksikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani dan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad. Penandatanganan Joint Declaration tersebut dilakukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (4/7).

Berdasarkan siaran pers yang diperoleh hukumonline, secara spesifik, melalui Joint Declaration ini Indonesia dan Swiss menyatakan kesepakatan untuk saling bertukar informasi rekening keuangan secara otomatis sesuai dengan Common Reporting Standard mulai tahun 2018 dengan pertukaran pertama pada tahun 2019 yang dilindungi dengan jaminan keamanan data sesuai standar internasional.

Kedua yurisdiksi juga menyatakan akan saling memberikan informasi mengenai perkembangan implementasi CRS dalam peraturan perundang-undangan domestik masing-masing negara, serta menegaskan komitmen untuk terus memperkuat kerja sama di sektor keuangan.(Baca Juga: Regulasi Dinilai Mencukupi, Indonesia Segera Jadi Anggota FATF)

Joint Declaration tersebut merupakan salah satu yang dipersyaratkan oleh Swiss dalam mengaktifkan Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) dalam rangka implementasi AEoI, untuk mendapatkan persetujuan dari Parlemen Swiss yang keputusannya akan diambil pada akhir tahun 2017.

Deklarasi bersama antara Indonesia dan Swiss ini dimungkinkan setelah pada 8 Mei 2017, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Perppu Nomor 1/2017) yang mengatur mengenai wewenang Direktorat Jenderal Pajak untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dari Lembaga Keuangan di seluruh Indonesia dan wewenang Menteri Keuangan untuk melaksanakan pertukaran informasi keuangan dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.

Penting bagi Indonesia untuk dapat melaksanakan AEoI dengan Swiss mengingat Swiss merupakan salah satu financial center terbesar di dunia. Informasi keuangan yang diperoleh dari Swiss dan hampir 100 negara lainnya akan digunakan sebagai basis data perpajakan untuk menguji tingkat kepatuhan pelaporan Wajib Pajak sehingga diharapkan dapat mendorong kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela, terutama melaporkan penghasilan serta aset keuangan di luar negeri yang selama ini tidak dilaporkan. (Baca Juga: 4 Urgensi Indonesia Menjadi Anggota FATF)

Untuk diketahui, selama ini Swiss menjadi salah satu Negara tujuan Wajib Pajak (WP) di Indonesia untuk menyimpan dana guna menghindari pajak di dalam negeri. Pengamat Pajak Yustinus Prastowo menyampaikan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dana WP Indonesia yang tersimpan di Swiss cukup besar, senilai Rp2.300 triliun.

Sejauh ini, lanjutnya, Swiss masih menjadi tempat menyimpan dana bagi para WP untuk menyembunyikan dari pelacakan otoritas perpajakan. Tetapi biasanya, lanjutnya, dana yang disimpan oleh WP di Swiss berasal dari kejahatan dan penghindaran pajak.

Namun, ia berpendapat bahwa skema efisiensi pajak yang dilakukan oleh WP melalui Swiss sudah mulai ditinggalkan karena adanya pola sistem perpajakan yang berubah dengan memanfaatkan tax treaty dan ketimpangan regulasi. (Baca Juga: Mengintip Rancangan Perpres Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi)

“Tapi efisiensi pajak via Swiss mulai ditinggalkan, karena sekarang sudah berubah polanya ke memanfaatkan tax treaty dan ketimpangan regulasi. Pebisnis pasti tidak mau menyimpan uang, tapi pasti diputar. Maka, mereka (pebisnis) akan prefer ke Singapura dan Hong Kong. Kalau Australia dan Inggris, lebih untuk menyimpan property atau investasi,” kata Yustinus kepada hukumonline, Rabu (5/7).

Maka dengan adanya pelaksanaan AEoI, WP akan semakin sulit menyembunyikan dana ke luar negeri. Namun perlu diingat, skema-skema tax planning yang canggih tetap bisa diterapkan di Singapura dan Hong Kong, meskipun dua Negara tersebut masuk ke dalam anggota AEoI.

“Kalau menghindar (pajak) dalam artian menyembunyikan, iya, semakin kecil kesempatan untuk melakukan itu. Tetapi ada low tax regime yang biasanya menawarkan banyak insentif dan fasilitas,” jelasnya.

Meski begitu, penghindaran pajak masih memiliki celah walaupun AEoI sudah dilaksanakan misalnya saja dengan menggunakan tax planning. Guna mengantisipasi kemungkinan adanya celah-celah kecurangan untuk menghindari pajak, maka Yustinus mengatakan pemerintah harus membuat regulasi atau kebijakan antisipasi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dipikirkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan AEoI.

“Celahnya sih ada beberapa ya, misalnya skema AEoI kan aset keuangan, bisa saja dialihkan ke property. Kalau yang perusahaan, pakai skema tax planning internasional yang memanfaatkan perbedaan tariff pajak, regulasi dan perlakukan pajak. Sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan dan regulasi yang responsif terhadap perubahan, mengatur pajak secara detail dan pasti, tetapi jangan terlalu rumit,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait