Indonesia Punya 624 Standar Kompetensi Kerja
Berita

Indonesia Punya 624 Standar Kompetensi Kerja

Demo daya saing, Kementerian Ketenagakerjaan percepat penerapan SKKNI.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Kementerian Ketenagakerjaan. Foto: HOL/SGP
Kementerian Ketenagakerjaan. Foto: HOL/SGP
Pemerintah terus menggenjot peningkatan kompetensi dan daya saing sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya yang dilakukan yakni menerapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKNNI). Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sudarmanto, mengatakan penerapan SKKNI diperlukan di semua sektor. Fungsinya, untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing pekerja Indonesia agar mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional.

Hingga Juni 2017 Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 624 SKKNI yang berasal dari 9 sektor. Antara lain sektor  pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian. “Saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 50 juta pekerja berkeahlian. Oleh karena itu, penerapan SKKNI dalam pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi merupakan bagian penting dari investasi SDM Indonesia,” kata Hery dalam keterangan yang diterima hukumonline.

Hery menjelaskan SKKNI menjadi acuan dalam pelatihan, pengembangan karir, peningkatan kompetensi dan produktivitas yang diakui seluruh pemangku kepentingan. Selain itu berlaku secara nasional. Investasi SDM sangat penting untuk meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, apalagi Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor 7 di dunia asalkan negara ini memiliki 113 juta pekerja berkeahlian.

(Baca juga: SNI dan SKKNI Modal Utama Hadapi MEA).

Selaras itu pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 yang intinya menginstruksikan kementerian terkait fokus pada peningkatan kompetensi pengembangan SKKNI dan sertifikasi kompetensi. Dalam percepatan peningkatan kompetensi itu lembaga pelatihan perlu menggunakan SKKNI yang berasal dari industri atau pengguna.

“Pemerintah berharap sektor-sektor usaha termasuk BUMN dan swasta, bekerja sama semakin erat dalam upaya peningkatan kompetensi pekerja dan pemenuhan kebutuhan industri di Indonesia melalui penerapan SKKNI ini,” urai Hery.

(Baca juga: Kemenaker Atur Registrasi Standar Khusus Advokat).

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menekankan sedikitnya tiga hal yang perlu disorot dari proses SKKNI dan sertifikasi kompetensi. Pertama, isu SKKNI dan sertifikasi kompetensi ini belum tersosialisasi secara masif ke seluruh perusahaan, terutama 9 sektor yang telah memiliki SKKNI. Akibatnya, masih banyak perusahaan yang belum menilai SKKNI dan sertifikasi kompetensi sebagai investasi SDM. Perusahaan lebih banyak menilai kedua hal itu sebagai pengeluaran atau biaya yang tidak menarik.

“Pemerintah kalau perlu menerbitkan regulasi yang mewajibkan perusahaan di 9 sektor itu wajib menggunakan SKKNI dan sertifikasi. Saya melihat baru sektor perbankan yang sudah membuat aturannya melalui OJK,” tukas Timboel di Jakarta, Selasa (11/7).

Kedua, pekerja yang ingin ikut SKKNI dan sertifikasi kompetensi biasanya terbentur masalah biaya karena tidak semua perusahaan mau menanggung biaya tersebut. Begitu pula dengan waktu pelatihan yang belum tentu si pekerja dibolehkan perusahaan untuk mengikuti pelatihan. Oleh karenanya pemerintah jangan hanya fokus menciptakan SKKNI, tapi juga menciptakan akses bagi pekerja untuk mampu mencapainya.

Ketiga, bergulirnya MEA membuka ruang 8 profesi untuk masuk mekanisme pasar yakni insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, pariwisata, medis, dokter gigi dan akuntan. Jika pemerintah hanya mengandalkan SKKNI maka 8 profesi itu bakal didominasi pekerja asing. “Saya berharap pemerintah mendorong juga adanya Standar Kompetensi Kerja Internasional sehingga pekerja kita kompetensinya bisa diakui dan bisa bekerja di luar negeri,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait