Tulisan Orang Dalam untuk Reformasi Korps Adhyaksa
Resensi

Tulisan Orang Dalam untuk Reformasi Korps Adhyaksa

Ada beberapa karya tulis yang dibuat jaksa guna mendorong perbaikan kinerja dan kedudukan Kejaksaan. Salah satunya buku Jan S. Maringka.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Salah satu buku karya Jan S Marinka. Foto: MYS
Salah satu buku karya Jan S Marinka. Foto: MYS
Lahir di Jakarta 11 Oktober 1963, perjalanan karir Jan S Maringka sebagai jaksa dimulai Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat hingga menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. Ia terbilang salah seorang jaksa yang berhasil pula di bidang akademik. Gelar doktor ilmu hukum diperolehnya dari Universitas Hasanuddin, Makassar (2015).

Menjelang hari bakti korps adhyaksa, salah satu tulisannya yang patut dibaca adalah Reformasi Kejaksaan dalam Sistem Hukum Nasional, yang diterbitkan Sinar Grafika Jakarta, Maret 2017. Buku ini mencoba mengulas bagaimana kedudukan Kejaksaan baik dalam konstitusi maupun dalam sistem peradilan pidana. Pandangan 10 orang profesor ilmu hukum yang dikutip dalam buku ini menegaskan pentingnya memasukkan institusi kejaksaan ke dalam rumusan konstitusi. (Baca juga: Seputar Kedudukan Kejaksaan Sebagai Government Law Office).

Ekspektasi publik yang besar terhadap penegakan hukum bermuara pada tuntutan pada kinerja sistem peradilan pidana pidana, dimana kejaksaan merupakan bagian penting di dalamnya (hal. 7). Mendudukkan Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, apalagi dikaitkan dengan keterpaduan antar subsistem, ternyata tidak mudah. Sinergi penyidikan dan penuntutan belum sepenuhnya berjalan. Bahkan ada tantangan terhadap prinsip single prosecution system setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir. Tantangannya kian nyata jika tidak ada komisioner KPK yang berasal dari korps adhyaksa. Kejaksaan pada dasarnya adalah satu kesatuan dan tidak terpisahkan (een en ondeelbaar), sehingga sesuai Pasal 13 KUHAP, kewenangan penuntutan hanya ada di tangan jaksa (hal. 49-50). (Baca juga: Jampidsus Tegaskan Jaksa Adalah Satu).

Dari sisi kelembagaan, Kejaksaan belum sepenuhnya mandiri. Masalah kemandirian ini bisa menimbulkan masalah lain di lapangan. Misalnya, kesewenang-wenangan akibat penyalahgunaan kekuasaan; kesamaan objek yang ditangani; dan sikap berlebihan egosektoral (hal. 45-46). Penulis percaya, ketidakjelasan single prosecution system akan menimbulkan rentetan masalah yang panjang. Dualisme penuntutan perkara korupsi misalnya, oleh Kejaksaan dan KPK bisa membingungkan masyarakat dan menimbulkan kesan perbedaan perlakuan (hal. 59).

Peran Kejaksaan sebenarnya kian penting seiring dengan perkembangan kerjasama internasional dalam bidang pidana. Misalnya, ekstradisi atau bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang sudah mendapat legitimasi dalam hukum positif Indonesia (UU No. 1 Tahun 2006tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana).

Dalam praktek, tindak pidana khusus yang membutuhkan kapasitas Kejaksaan semakin berkembang. Buku ini memberi contoh penegakan hukum di dunia maritim. Oleh karena itu pula, penulis sampai pada kesimpulan tentang pentingnya membangun Kejaksaan sebagai penegak hukum yang modern, profesional dan berintegritas. Tentu saja untuk mencapai Kejaksaan yang modern itu bukan pekerjaan gampang. Reformasi birokrasi suatu keniscayaan. (Baca juga: Perbedaan Jabatan Fungsional dan Jabatan Struktural Jaksa).

JudulReformasi Kejaksaan dalam Sistem Hukum Nasional
PenulisDr. Jan S Maringka
Cet-1:Maret 2017
Penerbit:Sinar Grafika, Jakarta
Halaman230 halaman
Penulis juga menuangkan refleksi penegakan hukum oleh Kejaksaan, semacam rangkuman ringkas analisis sebelumnya. Pertama, refleksi kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan. Kedua, refleksi single prosecution system. Ketiga, refleksi tentang otoritas pusat bagia kejahatan lintas negara; dan refleksi penguatan Kejaksaan secara kelembagaan. Perspektif sebagai orang dalam memudahkan penulis untuk menuangkan problem riil yang dihadapi korps adhyaksa.

Meskipun buku ini sebenarnya berasal dari kertas kerja perorangan Jan S Maringka sewaktu di Lemhanas tahun 2015, topik yang diangkat masih tetap relevan hingga kini. Reformasi birokrasi sudah berjalan dan seharusnya terus berproses. Tetapi tuntutan perubahan legislasi yang didengungkan penulis dan banyak kalangan –demi memperkuat Kejaksaan- belum kesampaian hingga kini.

Ini bukan karya pertama Jan pertama mengenai korps adhyaksa. Karyanya yang lain dan sudah dipublikasikan adalah ‘Peran Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik’ (2014), ‘Eksistensi Kejaksaan dalam Konstitusi di Berbagai Negara’ (2015), dan bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI menerbitkan Bunga Rampai Kejaksaan (2015). Pengalaman luar negerinya sebagai jaksa bukan hanya karena pernah menjadi Atase Kejaksaan di Hongkong, tetapi juga Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung (2014).

Tentu saja, ini bukan satu-satunya buku yang ditulis orang dalam korps adhyaksa. Marwan Effendy, mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, pernah menulis buku ‘Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum’ (2005).

Referensi yang ditulis orang dalam mungkin bisa memperkaya pengetahuan kita tentang korps adhyaksa. Selamat membaca…

Tags:

Berita Terkait