Aturan Sertifikasi Halal Dipersoalkan, Begini Pandangan Ahli
Berita

Aturan Sertifikasi Halal Dipersoalkan, Begini Pandangan Ahli

Menurut ahli UU JPH ini diarahkan pada mandatory sertifikasi halal, bukan mandatory barang atau produk halal.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: mysharing.co
Foto ilustrasi: mysharing.co
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang dimohonkan Paustinus Siburian. Dia memohon pengujian Diktum Menimbang huruf b, Pasal 1 ayat (1) dan (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2) UU Jaminan Produk Halal (JPH) terkait jaminan kehalalan suatu produk, wajib sertifikasi produk halal, jenis hewan yang haram dikomsumsi.    

Misalnya, dalam Pasal 18 ayat (2) UU JPH disebutkan “Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi: a. bangkai; b. darah; c. babi; dan/atau d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. (2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.”

Salah satu alasan mendasar permohonan ini, pemohon menilai sasaran subjek UU JPH  tidak tepat apabila ditujukan untuk masyarakat. Sebab, anggota masyarakat luas tidak diwajibkan untuk mendapatkan jaminan produk halal. Seharusnya UU JPH menyebut tegas yang menjadi sasaran yaitu umat Islam atau konsumen muslim seperti dalam Fatwa MUI No. 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.

Seperti dikutip dalam materi permohonan, disebutkan produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan harus bersertifikat halal (sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, red). Pengertian yang demikian menurutnya akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan. 

“Digunakannya kata ‘selain’ dalam Pasal 18 ayat (2) membawa ketidakpastian. Ditambah lagi tidak terdapat kejelasan mengenai definisi syariat Islam,” sebutnya dalam permohonan.

Sidang ini sudah memasuki pemeriksaan ahli dari pihak terkait yang terdiri dari 6 orang yang aktif di lembaga Indonesia Halal Watch, sebagai lembaga yang aktif mengkampanyekan produk halal. Ahlinya adalah Sukoso yang merupakan Ketua Pusat Studi Halal Toyib Universitas Brawijaya Malang. Dalam pandangannya, Sukoso mengatakan UU JPH ini sebagai mandatory (kewajiban) sertifikasi halal, bukan untuk mandatory barang atau produk halal.  

“Jelas ada perbedaan, kalau produk itu tidak halal (ada bahan tidak halal atau mengandung babi, red), ya tidak bisa dikeluarkan sertifikasi halal,” kata Sukoso dalam persidangan yang dipimpin Anwar Usman.

Dia juga khawatir seolah-olah aturan ini menyuruh nonmuslim wajib tunduk UU JPH ini baik produsen maupun konsumen. “Ini jelas tidak benar, tidak ada Islamisasi yang dianjurkan dalam UU ini. Jadi jika ingin mengkonsumsi produk yang tidak ada sertifikasi halalnya, silakan mengkonsumsi produk yang tidak berlabel halal,” kata Ketua Pusat Study Halal Toyib Universitas Brawijaya Malang.

Menurutnya, konsumen tahu bahwa produk itu halal atau tidak, sehingga tidak butuh  sertifikasi halal. “Proses sertifikasi ini akhirnya produk bersertifikasi dengan kualitas yang bagus. Sudah jelas datanya apakah disitu mengandung babi atau tidak. Kalau bagi mereka yang butuh ada babinya, silakan saja cari produk yang lain, toh tidak ada larangan untuk itu,” kata dia.

Sukoso melanjutkan proses sertifikasi halal sebelum adanya UU JPH ini dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setelah itu dengan adanya UU JPH ini negara hadir untuk memberikan perlindungan hak secara justifikasi terhadap konsumen yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Maka, lewat lembaga ini keluarlah sertifikasi halal. “Tetapi menyebut produk itu halal atau tidak harus berdasarkan fatwa MUI,” terangnya.

Dia menjelaskan prosesnya keluarnya sertifikasi halal dimana produsen ingin mengajukan sertifikasi halal ke lembaga BPJPH. Lalu, memanggil lembaga pemeriksaan halal, kemudian dilakukan audit setelah itu meminta pertimbangan kepada Fatwa MUI tentang halal atau haramnya.

“Dalam aspek ekonomi, faktanya ketika tahun 2002 ada isu lemak babi muncul maka terdapat penurunan ekonomi. Ini juga yang menjadi salah satu faktor yang berdampak pada produsen juga,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait