Jalan Berliku Korban Salah Tangkap Peroleh Uang Ganti Kerugian
Utama

Jalan Berliku Korban Salah Tangkap Peroleh Uang Ganti Kerugian

Persoalannya, aturan teknis permohonan pembayaran ganti rugi dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian belum disesuaikan dengan PP Nomor 92 Tahun 2015.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Marni (tengah) didampingi dua pengacara dari LBH Jakarta ketika meminta penjelasan soal ganti rugi korban salah tangkap ke kantor Kementerian Hukum dan HAM. Foto: NNP
Marni (tengah) didampingi dua pengacara dari LBH Jakarta ketika meminta penjelasan soal ganti rugi korban salah tangkap ke kantor Kementerian Hukum dan HAM. Foto: NNP
Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib yang dialami keluarga Marni (52), ibu kandung salah seorang korban salah tangkap dan peradilan sesat. Andro Supriyanto, sang anak, bersama lima kawannya harus rela menerima kenyataan pahit mendekam di balik jeruji besi selama kurang lebih satu tahun.

Senin, 1 Juli 2013 mungkin menjadi hari paling kelam buat Andro dan kawan-kawan yang sehari-hari menjalani aktivitas sebagai pengamen di kawasan Cipulir, Jakarta Selatan. Tepat malam hari sebelumnya, di tengah aktivitasnya mengais rezeki mereka mendapati seorang korban perampokan sepeda motor yang terluka. Andro bersama salah seorang rekannya, Nurdin Prianto, spontan menolong korban Dicky Maulana yang tergeletak dengan tubuh bersimbah darah.

Tak berselang lama, pihak Polsek Kebayoran Lama mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Andro dan Nurdin beserta empat kawan yang lainnya dimintai keterangan selama satu jam. Tanpa ada alasan yang jelas, mereka malah dibawa ke Polda Metro Jaya dan oleh pihak Polda diminta mengaku bahwa mereka yang melakukan pembunuhan terhadap Dicky. Andro harus merasakan sakitnya dipukul, ditendang, hingga disetrum bagian perutnya agar mengakui kesalahan yang sama sekali tak pernah dilakukannya.

Saat Polisi membawa Andro kembali ke TKP, perlakuan tidak pantas hingga ancaman akan dilempar ke sungai harus dialami. Waktu itu, polisi meminta Andro menyebutkan siapa saja pelaku lainnya yang turut mengeroyok korban sampai meninggal dunia. Begitu pula Nurdin, perlakuan serupa juga dialaminya sampai pada akhirnya mereka kembali diperiksa dan hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Hingga akhirnya perkara keduanya bermuara ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Sidang perdana sampai agenda pembacaan vonis berlangsung alot. Tepat 15 Januari 2014, dewi fortuna belum berpihak kepada Andro dan Nurdin lantaran pengadilan berpendapat keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama sesuai Pasal 170 ayat (2) KUHP.  Palu hakim mengantar keduanya ke dalam penjara melalui putusan No. 1237/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel yang dipimpin Hakim Suwanto.

(Baca Wawancara Khusus dengan Andro & Nurdin: Pengamen Pencari Keadilan: Hingga Kini, Orang-orang Berpikiran Saya Pembunuh)

Mereka percaya masih ada secercah keadilan, hingga keduanya mengajukan upaya banding sekira awal Februari 2014 melalui tim kuasa hukumnya dari LBH Jakarta. Dan betul, usaha itu berujung manis saat majelis pada Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dalam putusan No. 50/Pid/2014/PT.DKI memutus keduanya tidak bersalah atas dakwaan jaksa. Bahkan, saat pihak penuntut umum melakukan upaya kasasi Mahkamah Agung (MA) justru memperkuat putusan pada PT DKI Jakarta dalam putusannya No. 1055/K/PID/2014.

Perjuangan mereka masih belum selesai. Perlakuan tidak patut dari pihak kepolisian yang membawa keduanya mendekam di balik jeruji besi membuat mereka yakin untuk meminta haknya sebagai korban salah tangkap dengan melakukan praperadilan. Dalam berkas permohonan, Andro dan Nurdin selaku pemohon minta ganti kerugian secara materil dan immateril masing-masing Rp75 juta dan Rp590 juta serta Rp80 juta dan Rp410 juta. Bila dijumlahkan totalnya mencapai Rp1 miliar.

(Baca Juga: Ajukan Praperadilan, Pengamen Minta Ganti Rugi Rp1 Miliar ke Polri dan Kejaksaan)

Awal Agustus 2016, permohonan keduanya dikabulkan oleh hakim Totok Sapto Indrato yang menerima sebagian permohonan ganti kerugian Andro dan Nurdin masing-masing Rp36 juta. Sayangnya, kemenangan Andro dan Nurdin boleh dikatakan kemenangan ‘di atas kertas’ semata. Sejak pertengahan tahun lalu hingga saat ini, uang ganti kerugian yang totalnya Rp72 juta belum sepeserpun cair. Padahal menurut Pasal 11 PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pembayaran ganti kerugian dilakukan Menteri Keuangan paling lama 14 hari kerja sejak tanggal permohonan ganti kerugian.

“Saya berjuang karena anak saya tidak bersalah, bukan soal ganti rugi. Kalau ganti rugi segini (Rp36 juta) apalah artinya. Tapi ini perjuangan seorang ibu," kata Marni kepada hukumonline, di kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Selasa (11/7).

Beragam upaya telah ia tempuh mulai dari menemui Ketua PN Jakarta Selatan serta Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan hingga bersurat ke Kementerian Keuangan, namun hasilnya masih nihil. Marni terus menerus mendapat jawaban normatif bahkan ‘diping-pong’ seperti layaknya bola dalam permainan tenis meja. Namun ia tak gentar sedikitpun, rasa penasarannya masih terlihat jelas dari sorot matanya.

(Simak Kisah Perjuangan Marni, Ibu Kandung Andro Di sini: Kasih Ibu Sepanjang Perlawanan)

Didampingi dua pengacara publik dari LBH Jakarta, Marni sebetulnya berencana menemui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk bertanya bagaimana sebetulnya penerapan PP Nomor 92 Tahun 2015 tersebut. Namun, hari itu menteri sedang menghadiri agenda lain dan tidak sedang berada di kantor. Untungnya, kunjungan Marni diterima salah seorang pejabat pada Direktorat Jenderal Perundang-undangan (Ditjen PP) Kemenkumham. Dari pertemuan singkat itu akhirnya diputuskan untuk mencoba menemui Menteri Keuangan atau pihak yang ditunjuk.

“Sebelumnya sudah sampaikan permohonan lewat surat, tapi tidak ada respon dari Kementerian Keuangan. Petikan putusan juga sudah dilampirkan,” kata Marni.

Kamis (13/7) kemarin, Marni berkunjung ke kantor Kementerian Keuangan. Seperti yang disarankan pejabat Ditjen PP, Marni ingin memastikan surat yang sebelumnya dikirimkan dan bertanya bagaimana sebetulnya tata cara permohonan ganti kerugian pasca diterbitkannya PP Nomor 92 Tahun 2015. Pasalnya, memang ada yang belum jelas pada Pasal 11 PP Nomor 92 Tahun 2015 terutama dalam poin siapa sebetulnya pihak yang mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan.

(Baca Juga: Polisi Nyatakan Negara Siap Bayar Ganti Rugi buat Dua Pengamen)

Pengacara Publik dari LBH Jakarta Bunga Siagian mengatakan bahwa terkait permohonan ganti kerugian memang masih belum jelas diatur dalam PP Nomor 92 Tahun 2015. Dalam aturan itu, tidak dirinci lebih jauh siapa pihak yang memohon serta bagaimana format permohonan yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan. Sebetulnya, PP Nomor 92 Tahun 2015 memberi mandat kepada Kementerian Keuangan untuk merevisi aturan dan menyesuaikan dengan PP tersebut khususnya terkait jangka waktu 14 hari.

“Sudah berapa kali kami coba meminta dari ke Kemenkeu sampai ke pengadilan lalu dibilang jaksa yang bisa eksekusi, lalu dikembalikan lagi ke Kemenkeu. Kita ingin mendapat kejelasan implementasi dari PP tersebut," kata Bunga.

Bila merujuk tanggal penetapan dan pemberlakukan PP yakni 8 Desember 2015, maka seluruh penyesuaian ketentuan peraturan perundangan yang menjadi pelaksanaan dari PP tersebut mesti dilakukan paling lambat 8 Juni 2016. Namun, Kementerian Keuangan tak kunjung menyesuaikan jangka waktu 14 hari itu terhadap tata cara permohonan pengajuan ganti kerugian sehingga proses pencairan ganti kerugian ini masih mengacu Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian dengan prosedur yang sangat panjang dan berbelit-belit.

(Baca Juga: Polisi Tolak Rehabilitasi Nama 2 Pengamen yang Dituduh Terlibat Pembunuhan)

Mekanisme pencairan dana ganti kerugian dimulai dengan adanya permohonan penyediaan dana dari Ketua Pengadilan Negeri kepada Menteri Kehakiman cq Sekretaris Jenderal Departmen Kehakiman (Sekarang Kemenkumham). Kemudian Kemenkumham akan mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) kepada Kementerian Keuangan kemudian Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) atas beban Bagian Pembiayaan dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin.

Belum berhenti di situ, SKO kemudian disampaikan kepada pemohon ganti kerugian dan kemudian pihak mengajukan permohonan pembayaran kepada Kantor Perbendaharaan Negara melalui Ketua Pengadilan Negeri setempat. Setelah itu, Ketua PN meneruskan permohonan tersebut ke kantor perbendaharaan negara disertai dengan Surat Permintaan Pembayaran (SPP). Setelah prosedur-prosedur dilewati, kantor perbendaharaan negara menerbitkan Surat Perintah Membayar kepada pemohon.

“Kalau diasumsikan tiap lembaga itu tiga bulan, berapa tahun proses pencairan itu akan keluar?” tanya Bunga.

Asumsi tersebut mungkin benar adanya. Saat hukumonline mengkonfirmasi tata cara permohonan ganti kerugian kepada pihak Kementerian Keuangan, ternyata tak semudah yang dituangkan dalam PP Nomor 92 Tahun 2015 terkait jangka waktu pencairan selama 14 hari. Pasalnya, besarnya ganti kerugian yang ditetapkan melalui putusan praperadilan dalam kasus Andro dan Nurdin misalnya harus mengikuti mekanisme penganggaran seperti kegiatan kementerian secara umum.

Pada prinsipnya, pembayaran atas beban APBN termasuk untuk membayarkan ganti kerugian berdasarkan keputusan pengadilan, harus dialokasikan terlebih dahulu dalam DIPA satker berkenaan, dan selanjutnya diterbitkan SPP/SPM oleh Kuasa Pengguna Anggaran satker tersebut dan diajukan kepada KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara),” demikian sebut Sumber dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan kepada hukumonline, Jumat (14/7).

(Baca Juga: Menkeu Diminta Revisi Kepmenkeu Tata Cara Ganti Kerugian Bagi Korban)

Perkara salah tangkap bukan cerita baru. Kasus Sengkon Karta yang berujung pada lahirnya mekanisme Peninjauan Kembali (PK) sampai kasus Kemat & David yang dituduh melakukan pembunuhan yang akhirnya terungkap bahwa ternyata Very Idham alias Ryan Jombang yang menjadi pelakunya menjadi bukti kasus salah tangkap berpeluang untuk terulang kembali di kemudian hari.

(Baca Juga: Guntur Perdamaian, Jadi Pejuang Bantuan Hukum Sejak Mahasiswa)

Catatan hukumonline, Selain LBH Jakarta pengalaman serupa juga dialami rekan LBH Mawar Saron yang kerap menangani perkara salah tangkap. Misalnya, kasus Sri Mulyati di Semarang yang sempat ditahan selama 13 bulan di dalam penjara karena tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur atau Krisbayudi, seorang buruh di Jakarta yang ditahan 251 hari akibat tuduhan pembunuhan berencana terhadap Ibu anak di daerah Priok.

Sampai, kisah dari Batam tentang Rahman Idaman, korban Lakalantas yang malah dijadikan tersangka hingga harus menjalani penahanan sampai akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Batam. Dikatakan Bunga, jangan sampai langkah progresif yang dilakukan pemerintah melalui PP Nomor 92 Tahun 2015 justru terganjal persoalan-persoalan yang sifatnya birokratis.

Padahal salah satu latar belakang diterbitkannya aturan tersebut adalah untuk memangkas waktu dan proses birokrasi yang berbelit saat permohonan ganti kerugian ke Kementerian Keuangan. "Setidaknya ada 19 korban yang ditangani LBH Jakarta lima tahun terakhir. Semuanya rata-rata sudah putus. Andro ini masih sempat praperadilan dan menang gugatan Rp72 juta. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan atas ganti rugi tersebut. Padahal ini kasus pertama yang praperadilannya dikabulkan hakim," kata Bunga. 
Tags:

Berita Terkait