Nur Kholis: ‘Panduan Bisnis dan HAM Berkah Bagi Korporasi’
Merajut Bisnis dan HAM

Nur Kholis: ‘Panduan Bisnis dan HAM Berkah Bagi Korporasi’

Salah seorang tokoh di balik penyusunan Panduan Bisnis dan HAM di Komnas HAM adalah Nur Kholis.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Nur Kholis (tengah) dalam suatu kesempatan di Komnas HAM. Foto: RES
Nur Kholis (tengah) dalam suatu kesempatan di Komnas HAM. Foto: RES
Meskipun akan segera mengakhiri pengabdiannya di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Nur Kholis masih tetap disibukkan salah satu urusan penting. Bagaimana membangun pemahaman yang sama di semua lini pemangku kepentingan terhadap panduan prinsip-prinsip bisnis dan HAM. Pemahaman bersama ini merupakan modal dasar untuk menghadapi dinamika bisnis internasional, apalagi Pemerintah membuka keran investasi seluas-luasnya.

Salah satu contoh konkrit adalah Resolusi Parlemen Uni Eropa mengenai sawit Indonesia. Resolusi itu tak hanya membuat merah telinga Pemerintah Indonesia dan pengusaha kelapa sawit, tetapi juga membuat anggota DPR meradang. Parlemen Uni Eropa menuding korporasi kelapa sawit di Indonesia melakukan deforestasi dan pelanggaran HA. Tindakan Parlemen Uni Eropa itu dituding buntut persaingan bisnis.

Lepas dari perdebatan itu, Komnas melihat pentingnya menyusun panduan bisnis dan HAM. Komnas dan Elsam, salah satu organisasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu-isu hak asasi manusia, berkolaborasi membuat prinsip-prinsip panduan bisnis dan HAM. Hasilnya, sudah diluncurkan Juni 2017 lalu.

Nur Kholis adalah salah seorang yang selama ini berperan penting dalam penyusunan panduan dimaksud. Pria kelahiran Sungai Lilin, Sumatera Selatan, 21 Oktober 1970 itu telah menyampaikan penyusunan di forum internasional. Sambutannya positif. Di dalam negeri, pria yang pernah menjadi Direktur LBH Palembang itu, juga berusaha mengundang para pengusaha dan perwakilan instansi pemerintah untuk duduk bersama membahas panduan bisnis dan HAM.

Nur Kholis menyediakan waktu untuk wawancara khusus dengan Hukumonline pada Kamis (06/7) lalu, membicarakan panduan bisnis dan HAM, proses penyusunannya, dan manfaatnya bagi korporasi. Berikut petikan wawancaranya:

Apa yang dimaksud dengan Prinsip Pedoman Bisnis dan HAM?
Pada 2011 Dewan HAM PBB mengeluarkan United Nations Guideline Principle of Business and Human Rights (UNGPs). Ini prinsip panduan bisnis dan HAM, yang dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan korporasi di seluruh negara. Sebelum ada UNGPs, awalnya dilakukan riset selama 5 tahun oleh Profesor John Ruggie di sejumlah negara. Dari hasil riset itu dia mengkhawatirkan dampak dari korporasi terhadap pelanggaran HAM. Misalnya, dampak korporasi terhadap masyarakat lokal atau masyarakat adat. Di Indonesia argumentasi itu bisa kita benarkan dengan melihat ketika korporasi beroperasi di suatu tempat pasti berdampak. Tidak sulit mencarinya, seperti terkait dengan tanah dan benturan kebudayaan. Ada juga  dampak lingkungan.

John Ruggie juga menilai kekuasaan negara berkurang dengan munculnya korporasi besar (multinasional). Karena korporasi punya organisasi yang bukan hanya ada di satu negara tapi banyak, keuangannya juga bisa melebihi keuangan sebuah negara. Kemudian cara pandang terhadap korporasi. Korporasi yang begitu kuat mengkhawatirkan PBB, nanti kewenangan negara untuk memenuhi dan melindungi HAM menjadi terganggu. Salah satu kesimpulan dalam riset itu, kekuasaan pemerintah di beberapa negara terlampaui kekuasaan korporasi; posisi negara lemah ketimbang korporasi.

Ketika 2011 dokumen itu disahkan Dewan HAM PBB sejumlah negara termasuk Indonesia menyetujui dokumen itu. Indonesia termasuk yang mendandatangani dokumen. Perintah dokumen itu intinya tiga. Pertama, pemerintah wajib melindungi warga negaranya, termasuk dari dampak kegiatan korporasi. Kedua, memerintahkan korporasi dalam menjalankan tugas harus menghormati HAM. Lah kok bisa ini dokumen antar negara mengatur korporasi? Ini bentuk kompromi dari diskusi yang sangat panjang di PBB. Ketika itu saya hadir di sana. Ketiga, baik negara dan korporasi wajib melakukan pemulihan atas dampak dari korporasi.

UNGPs ini memerintahkan setiap negara terutama yang menandatangani dokumen ini untuk membentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) Pedoman Bisnis dan HAM. Perkembangannya, Inggris negara pertama yang membuat RAN, diikuti negara lainnya di Eropa. Sudah ada belasan negara yang membuat RAN.

Komnas HAM mendorong pemerintah untuk membentuk RAN. Kami sempat mengundang sejumlah kementerian ke Komnas HAM seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perindustrian. Pada prinsipnya mereka belum punya rencana memadai. Komnas HAM berinisiatif membentuk RAN itu. Kami susun mulai dua setengah tahun lalu. Proses penyusunan RAN ini sangat panjang mulai dari kosultasi dengan korban, kementerian/lembaga pemerintahan, dan kami konsultasi dengan kelompok NGO, terpenting kami konsultasi dengan kelompok perusahaan.

(Baca juga: Pemerintah Libatkan Organisasi Masyarakat Sipil Susun Panduan Bisnis dan HAM).

Siapa saja perusahaan yang diundang Koimnas HAM untuk konsultasi menyusun RAN?
Hari pertama yang kita undang ada sektor industri ekstraktif seperti Freeport, Vale (Morowali), dan Vico. Kami nilai kegiatan perusahaan industri ekstraktif ini sangat berdampak pada masyarakat. Kemudian kami undang BUMN. Proses berjalan dan lahir RAN yang disusun Komnas HAM dan Elsam. RAN ini belum dijadikan dokumen pemerintah (eksekutif). Tapi penyusunan RAN bisnis dan HAM oleh Komnas HAM dan NGO ini juga dipraktikan di negara lain seperti Afrika Selatan. Negara lain menyusun RAN oleh pemerintah (eksekutif).

Di tingkat Asia Pasifik Indonesia tergolong maju dalam membahas RAN Bisnis dan HAM. Di Thailand, PM-nya baru berkomitmen mau bikin RAN, Malaysia baru membuat riset, Filipina baru mulai. Korsel sudah selesai bikin RAN, yang bikin itu juga Komnas HAM Korea Selatan yang akan diajukan kepada pemerintah (eksekutif).

Apa pentingnya RAN Bisnis dan HAM?
Data pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, misalnya Bulan Juni 2017 korporasi posisi nomor 2 paling banyak diadukan, nomor 1 paling banyak diadukan yaitu Polisi. Dari 396 berkas pengaduan (Juni 2017), yang menyangkut korporasi ada 77 berkas, kemudian BUMD 20, kalau ditotal ini 97, lah berkas pengaduan terhadap Kepolisian 107. Data ini dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tidak berubah, pihak paling banyak diadukan ke Komnas HAM itu polisi, korporasi dan Pemda.

Inilah kenapa Komnas HAM mau ada RAN bisnis dan HAM agar tiga poin penting UNGPs itu berjalan di Indonesia. HAM warga negara dilindungi oleh negara. Korporasi baik lokal atau asing ketika beroperasi di Indonesia wajib menjunjung tinggi HAM dan ketika terjadi pelanggaran HAM harus ada pemulihan bagi korban. Tren kasus selama ini sulit diselesaikan, diharapkan dengan RAN ini mampu merespons kondisi di masyarakat.

(Baca juga: Pemerintah Perlu Susun Panduan Bisnis dan HAM).

Apa poin penting dalam RAN Bisnis dan HAM?
Pertama, ditujukan untuk pemenuhan HAM di internal korporasi seperti buruh di dalam perusahaan itu. Misalnya, upah yang dibayar tidak menyalahi aturan. Kedua, tanggung jawab perusahaan terhadap dampak kegiatan bisnisnya terhadap masyarakat setempat. Perusahaan harus pastikan kegiatan bisnisnya itu tidak menimbulkan pelanggaran HAM di sekitarnya. Ketiga, dampak lingkungan. Kita masukkan juga dalam RAN bagaimana dampak bisnis perusahaan terhadap lingkungan. Kita tahu kegiatan korporasi bisa berdampak pada lingkungan seperti perambahan hutan, pencemaran lingkungan, kerusakan lahan dan lain-lain.

RAN ini kemudian apa mau dituang dalam suatu regulasi?
Sampai saat ini kita mendorong RAN ini dibentuk dalam satu Perpres. Selaras itu kami terus melakukan sosialisasi pedoman prinsip bisnis dan HAM ke korporasi. Seperti upah buruh, perlindungan buruh perempuan, pekerja anak. Kalau mau membentuk Undang-Undang butuh waktu lama, maka kita dorong Perpres saja.

Kalau Perpres berarti ketentuan yang diatur di situ sifatnya umum untuk seluruh sektor industri? Apa nanti setiap kementerian menindaklanjuti Perpres itu dengan menerbitkan peraturan teknis?
Bisa jadi Perpres itu nanti mengatur yang sifatnya umum mengenai Bisnis dan HAM, kemudian masing-masing kementerian membuat teknisnya. Seperti di Kementerin Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menerbitkan Permen yang intinya Sertifikasi HAM untuk Perusahaan Perikanan. Ini inisiasi yang bagus. Kemudian Kementerian Perindustrian bikin sertifikasi HAM untuk manufakturing.

Kalau menurut kami RAN ini dibentuk Perpres, dia sifatnya umum. Karena menteri juga sekarang sudah ada yang buat peraturan masing-masing mengenai Pedoman Bisnis dan HAM. Maka yang kami lakukan sekarang berjalan paralel yaitu mendorong RAN ini menjadi Perpres dan Kementerian yang sudah punya inisiatif bentuk peraturan itu ya silakan jalan juga. Kita kan juga sudah punya sertivikasi di bidang kayu (SVLK) ini kan gak bisa dianulir, terus jalan saja.

Apa manfaat RAN Bisnis dan HAM?
Indonesia kan dicecar parlemen Eropa soal kondisi perkebunan sawit. Saya berkunjung ke Belgia, bertemu parlemen Eropa dan sampaikan sikap Komnas HAM koreksi pemerintah Indonesia. Tapi Komnas HAM juga memberi solusi atas pelanggaran HAM yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, kami tidak menolak itu, hanya, sekarang kami menginisiasi membentuk RAN Bisnis dan HAM. Saya rasa ini salah satu solusi dari persoalan itu.

Dokumen UNGPs ini kan mengatur hubungan pemerintah, masyarakat dan korporasi di sektor bisnis. Hanya itu. Kami mau ketiganya itu berjalan seimbang. Tapi selama ini kami lihat proses bisnis jalan tapi yang banyak berkorban masyarkat, harapan kami dengan RAN ini semua tumbuh bersama. Kekuatan negara pulih, korporasi dalam menjalankan bisnis patuh HAM sehingga mereka bisa berkompetisi secara internasional, lalu masyarakat yang jadi korban yang selama ini mencari keadilan mulai menemukan solusi penyelesaian.

Sejak UNGPs diterbitkan 2011, apa tantangan yang dihadapi negara dalam mengimplementasikannya?
Kalau di Indonesia, ini mandatnya pemerintah, tapi mereka merasa ini kurang prioritas. Maka inisiasi ini diambil alih Komnas HAM. Nah ini pemerintah kurang perhatian, meskipun pemerintah menyatakan mendorong menteri menerbitkan peraturan internal, tapi menurut kami itu belum cukup. Ini harus dibangun sebagai suatu ketentuan umum.

Kalau hambatan penerapan ini di Indonesia, RAN kan ini baru diluncurkan Juni 2017. Walau di Asia Pasifik kita cukup mau di bidang ini tapi kalau dari seluruh dunia kita lambat. Kemarin kita paparkan di Berlin, mereka apresiasi Komnas HAM mau bekerja ekstra membuat RAN ini. Artinya sambutan internasional positif. Ini upaya menyelesaikan masalah pokok di Indonesia. Bagi Komnas HAM yang paling sulit diselesaikan yakni masalah yang bersinggungan dengan korporasi.

Kalau Perpres RAN itu diterbitkan, apa manfaatnya bagi korporasi?
Sebenarnya yang diuntungkan ini korporasi. Saya katakan berulang kali, termasuk ketika di hadapan perwakilan bisnis dan korporasi, kalau Anda mau ekspansi secara internasional maka Anda harus mempelajari HAM secara menyeluruh, dan harus mengadaptasi HAM di korporasi Anda. Kalau itu tidak dilakukan maka 5 sampai 10 tahun lagi perusahaan Anda akan hilang dari peradaban, karena dunia makin terkoneksi karena globalisasi. Nah, standar produk di Eropa akan berkembang juga di negara lain. Produk itu harus memenuhi standar HAM dari awal prosesnya.

Contohnya, kenapa Indonesia dicecar parlemen Eropa soal perkebunan sawit? Karena konsumen produk kelapa sawit itu bertanya, apakah di perkebunannya ini ada pelanggaran HAM atau tidak? Lah kita sulit menjawabnya kalau mau bilang perkebunan di kelapa sawit di Indonesia tidak ada pekerja anak, obat yang digunakan tidak membahayakan kesehatan?

Bagi korporasi, Pedoman Prinsip Bisnis dan HAM ini berkah. Malah bagi kami yang sulit yaitu apakah ini memberi keuntungan bagi rakyat? Mandat Komnas HAM kan bekerja untuk rakyat, bukan korporasi atau pemerintah. Tapi kalau korporasi menghormati HAM, otomatis rakyat akan terlindungi, kalau terjadi pelanggaran HAM akan dipulihkan. Bagi pemerintah juga untung, kondisi pemerintah saat ini seperti kesimpulan riset John Raggie, kekuasaan negara lebih lemah dibandingkan korporasi. Apalagi pilkada mahal untuk biaya politik.

Maka Komnas HAM mendorong pemerintah untuk menjadikan RAN Bisnis dan HAM ini dalam bentuk perpres. Kami sudah ketemua Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), kita sudah hearing awal. Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri sudah mendukung RAN Bisnis dan HAM ini. Kalau interaksi di tingkat pemerintah, isu Bisnis dan HAM ini sudak oke. Bagi Komnas HAM ini hanya masalah memadukan kepentingan saja, korporasi juga lembaga rasional, kalau dia intervensi di sini apa untungnya? Bagi kami kalau fokus di isu ini untungnya bagi masyarakat apa? Menurut kami dokumen ini efektif dijadikan kompromi tiga komponen ini.

(Baca juga: Lindungi Warga Negara Lewat Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM).

Jadi korporasi tidak perlu takut Pedoman Bisnis dan HAM?
Kalau korporasi takut terhadap HAM berarti dia pakai paradigma lama. Kalau dia mau sukses melewati persaingan global ini, HAM harus diadopsi dalam korporasi.

Targetnya kapan Perpres diterbitkan?
Tahun ini kita kejar. Tapi ini butuh respon serius dari kementerian untuk membawa ini menjadi Perpres. Kami berharap Kemenlu atau Kementerian Hukum dan HAM yang leading.
Tags:

Berita Terkait