Sebuah Rencana Aksi Bertema Bisnis dan HAM
Merajut Bisnis dan HAM

Sebuah Rencana Aksi Bertema Bisnis dan HAM

Pemerintah, Komnas HAM, dan organisasi masyarakat sipil berkolaborasi membuat panduan bisnis dan HAM. Apa urgensinya bagi korporasi?

Oleh:
Muhammad Yasin/ADY
Bacaan 2 Menit
Suasana peluncuran Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM di Jakarta 16 Juni 2017. Foto: Elsam
Suasana peluncuran Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM di Jakarta 16 Juni 2017. Foto: Elsam
Empat kali nama Indonesia disebut dalam draf laporan bertajuk ‘Palm Oil and Deforestation of Rainforests’. Salah satunya menyebut Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang terbesar pemanasan global akibat kebakaran hutan. Di bagian lain, ekspansi perkebunan kelapa sawit khususnya di Sumatera dan Kalimantan dianggap sebagai ‘examples of the most rapid deforestation in human history’, contoh deforestasi paling cepat dalam sejarah manusia.

Laporan itu berkaitan dengan Resolusi Parlemen Uni Eropa yang membuat kelapa sawit Indonesia sulit masuk pangsa pasar Eropa. Penyebabnya tak hanya deforestasi, tetapi juga pelanggaran HAM dalam pembukaan lahan perkebunan sawit. Berdasarkan laporan dari penelitian lapangan, ekspansi perkebunan sawit sering diwarnai penggusuran paksa, penggunaan kekerasan senjata, penjeratan utang, dan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Resolusi Parlemen Uni Eropa itu membuat kalangan pengusaha, aparat pemerintah, dan anggota parlemen Indonesia berang.

Upaya diplomasi sudah dilakukan Pemerintah. Bahkan pada pekan terakhir Mei lalu, perwakilan Parlemen Uni Eropa sudah bertemu Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, di Jakarta. Salah satu yang dibahas dalam pertemuan adalah nasib produk sawit Indonesia.

(Baca juga: Pemerintah Perlu Susun Panduan Bisnis dan HAM)

Pemerintah memang dihadapkan pada perkembangan bisnis dunia yang semakin mengarah pada pengelolaan usaha yang sejalan dengan isu hak asasi manusia (HAM). Di tengah pro kontra mengenai Resolusi Parlemen Uni Eropa itu sebenarnya sejumlah kalangan di Indonesia sedang mempersiapkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia, lazim juga disingkat RAN Bisnis dan HAM.

Bahkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) sudah meluncurkan Rencana Aksi Nasional  tentang Bisnis dan HAM di Jakarta, 16 Juni lalu. Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang meluncurkan RAN Bisnis dan HAM. Menurut peneliti Elsam, Andi Muttaqien, peluncuran itu dilakukan bertepatan 6 tahun pasca pengesahan The United Nations Guiding Principlecs on Business dan Human Rights (UNGPs on B&HR). “Panduan itu merupakan instrumen nasional untuk menerapkan prinsip-prinsip Panduan PBB mengenai Bisnis dan HAM,” kata Andi kepada hukumonline.

Selain peluncuran RAN Bisnis dan HAM oleh Komnas HAM dan Elsam, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil, pada 8 Juli lalu. Nota kesepahaman ini juga berkaitan dengan panduan bisnis dan HAM. “Salah satunya menyusun indikator bisnis dan HAM,” jelas Mugiyanto, Senior Program Officer Infid. Infid adalah salah satu lembaga yang menandatangani nota kesepahaman dengan Ditjen HAM.

(Baca juga: Pemerintah Libatkan Organisasi Masyarakat Sipil Susun Panduan Bisnis dan HAM)

Selain UNGPs, ada panduan lain yang perlu diperhatikan, yaitu OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Panduan ini berisi antara deklarasi investasi internasional dan perusahaan-perusahaan internasional. Masalah hak asasi manusia juga sudah masuk ke dalam revisi OECD Guidelines 2011.

RAN-HAM 2015-2019
Indonesia sebenarnya punya serangkaian aturan hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Indonesia sudah memiliki UU No. 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia, dan sudah meratifikasi Kovenan Internasional mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya (UU No. 11 Tahun 2005tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights). Bahkan Indonesia memiliki dokumen Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2015 tentang RAN HAM Tahun 2015-2019.

Tetapi, kata Andi Muttaqien, RANHAM itu tak menyinggung sama sekali keselarasan antara bisnis dan HAM. RANHAM Tahun 2015-2019 hanya fokus pada disabilitas, anak, dan kelompok masyarakat rentan. “Bisnis dan HAM belum diatur sama sekali,” ujarnya.

Menurut Andi, RAN Bisnis dan HAM yang sesuai dengan Panduan Prinsip-Prinsip yang disusun PBB sangat penting bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu menyalaraskan kebijakan nasional dengan UNGPs agar perusahaan-perusahaan Indonesia bisa menjalankan aktivitas atau operasional sesuai tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

Manfaat bagi Korporasi
Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis juga melihat ada manfaat yang diperoleh perusahaan jika operasionalnya comply dengan prinsip-prinsip yang telah dibuat PBB. Dunia semakin terkoneksi secara global. Bagi perusahaan yang ingin berbisnis skala global sulit menghindarkan diri dari isu hak asasi manusia yang mendunia.

“Saya katakan berulang kali, termasuk ketika di hadapan perwakilan bisnis dan korporasi, kalau Anda mau ekspansi secara internasional maka Anda harus mempelajari HAM secara menyeluruh, dan harus mengadaptasi HAM di korporasi Anda,” ujarnya kepada hukumonline.

Untuk memperkuat landasan yuridis RAN Bisnis dan HAM, Komnas HAM sudah menuangkannya ke dalam Peraturan Komnas HAM No. 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM. Nur Kholis juga berharap instansi pemerintah lain ikut mendorong korporasi di lingkup kerjanya menjalankan prinsip-prinsip dalam RAN Bisnis dan HAM.

Korporasi atau perusahaan, tak terkecuali yang beroperasi di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, kini memang sulit beroperasi dengan tenang tanpa memperhatikan isu-isu penting dalam regulasi nasional seperti HAM. Hak masyarakat atas lingkungan yang baik misalnya bisa mendorong perusahaan mematuhi prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Jika tidak, tuduhan deforestasi atau penyebab kebakaran akan sering melekat kepada perusahaan. Faktanya, sejumlah perusahaan besar sudah digugat ke pengadilan oleh Pemerintah menggunakan instrumen UU No. 32 Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam RAN Bisnis dan HAM juga disinggung dampak lain aktivitas korporasi terhadap lingkungan selain deforestasi, yakni monokultur, masalah kedaulatan pangan, serta kontaminasi air, udara, tanah, dan laut. Dampak terhadap lingkungan hidup hanya salah satu dimensi eksternal dampak pelanggaran HAM oleh korporasi. Dampak lain pada dimensi eksternal adalah pelanggaran hak masyarakat termasuk konsumen. Sedangkan dimensi internalnya adalah pemenuhan hak-hak pekerja perusahaan.

Hukumonline.com

Penyesuaian dengan regulasi nasional yang relevan dengan masing-masing dimensi tersebut merupakan keniscayaan. Tetapi penyesuaian dengan perkembangan internasional juga tak mungkin diabaikan. United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights tak lahir begitu saja karena tekanan negara-negara Uni Eropa. Panduan tersebut justru berasal dari hasil penelitian John Ruggie dari Harvard University di banyak wilayah tentang dampak korporasi terhadap lingkungan. Ruggie menjadi UN Special Representative for Business and Human Rights 2005-2011.

Sikap frontal atau defensif menentang penerapan prinsip-prinsip HAM dalam bisnis perusahaan dinilai Mugiyanto justru akan merugikan korporasi sendiri. Terutama yang mengandalkan pangsa pasar Eropa, seperti yang dialami perusahaan kelapa sawit di Indonesia.

Pertanyaannya, apa saja sebenarnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam UNGPs dan OECD Guidelines 2011?
Tags:

Berita Terkait