Wacana Membentuk RUU Tentang Konsultan Pajak, Perlukah?
Utama

Wacana Membentuk RUU Tentang Konsultan Pajak, Perlukah?

Wacana ini disambut baik dengan catatan. Pihak Ditjen Pajak sendiri menilai dengan adanya aturan ini akan semakin melindungi wajib pajak dari praktik konsultan pajak ‘gelap’.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Humas DJP Hestu Yoga Saksama. Foto: NNP
Humas DJP Hestu Yoga Saksama. Foto: NNP
Wacana soal pentingnya menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konsultan Pajak mengemuka kembali. Mulai berdengung sekira November 2016 lalu, regulasi yang diharapkan dapat mendorong upaya reformasi perpajakan yang saat ini tengah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan didorong segera dibahas.

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan bahwakomitmen pemerintah dalam menindaklanjuti reformasi bidang perpajakan pasca pelaksanaan amnesti pajak (Tax Amnesty) mesti diperkuat dengan disusunnya RUU tentang Konsultan Pajak disamping tetap berupaya melakukan revisi terhadap sejumlah regulasi bidang pajak seperti UU tentang Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU tentang Pajak Penghasilan (Pph), UU tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah serta UU tentang Bea Materai.

“Hal ini sebagai upaya menjaga keseimbangan kepentingan antara pembayar pajak dengan kewenangan pemerintah di bidang perpajakan,” kata Misbakhun melalui keterangan tertulis, Rabu (19/7).

Selain menjadi bagian penting dalam reformasi perpajakan, sayangnya regulasi profesi konsultan pajak hanya diatur melalui aturan setingkat Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Misbakhun menilai, seharusnya konsultan pajak diberikan penguatan melalui regulasi di tingkat undang-undang yang secara substansi terdapat aturan yang jelas dan mengikat dalam mengatur profesi konsultan pajak seperti bagaimana praktik profesi konsultan pajak baik dari sisi hak dan kewajiban. (Baca Juga: Penyederhanaan Peraturan Jadi Rumus Reformasi Perpajakan)

Selain itu, dalam regulasi setingkat undang-undang penting juga dimasukan pengaturan terkait jenis atau bentuk badan hukum, kriteria yang mesti dipenuhi oleh calon konsultan pajak, termasuk pengaturan soal konsultan pajak asing. Pasalnya, konsultan pajak punya peran yang semakin penting dalam pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak. Selain itu, peran konsultan pajak terhadap penerimaan negara juga tak kalah pentung di mana tidak hanya memberikan konsultan pajak tetapi juga memberikan edukasi terkait perpajakan.

“RUU Konsultan Pajak sangat penting untuk melengkapi sistem reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah sehingga  wajib pajak bisa mendapatkan hal kesetaraannya untuk memperoleh pelayanan pajak melalui konsultan pajak yang mewakili pembayar pajak,” kata Misbakhun.

Catatan Misbakhun, jumlah konsultan pajak saat ini sekitar 4.500 konsultan yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini tergolong sedikit dibandingkan negara Jepang yang memilki 74.000 konsultan pajak serta dari segi rasio jumlah wajib pajak di Ditjen Pajak. Selain itu, semua wajib pajak berkewajiban melaporkan secara self assessment di mana wajib pajak harus menghitung, membayar, menyetor, dan melaporkan kepada Ditjen Pajak. (Baca Juga: Ketika Aturan Sertifikasi Advokat Pengadilan Pajak Dipersoalkan)

“Tidak semua WP memahami bagaimana mengurus pajaknya sehingga membutuhkan konsultan pajak dalam membantu pelaksanaan hak dan kewajiban pajak,” katanya.

Terpisah, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mendukung wacana terkait penyusunan peraturan dengan catatan keberadaan konsultan pajak sebagai profesi akan semakin kuat. Dengan diformalkan melalui peraturan yang tingkatnya lebih tinggi, maka terkait penegakan kode etik profesi serta penegakan sanksi etik akan mendapat perlakuan serupa seperti profesi di bidang lain seperti akuntan, penilai, serta advokat.

“Bagian pengakuan konsultan pajak sebagai profesi. Supaya bisa memberikan pembinaan termasuk punishment, itu perlu juga,” kata Yustinus kepada hukumonline, Rabu (19/7).

Melalui RUU tentang Konsultan Pajak, kata Yustinus, kedudukan konsultan pajak diharapkan akan memperjelas siapa yang disebut konsultan pajak itu sendiri karena pada tataran teknis, tak hanya dikenal konsultan pajak melainkan dikenal istilah kuasa pajak. Bahkan, banyak negara mendefinisikan konsultan pajak dengan cukup luas mencakup akuntan publik, konsultan pajak, serta analis fiskal.

Menurutnya, RUU tentang Konsultan Pajak harus memperjelas itu karena bila dilihat dalam UU KUP dikenal keduanya, konsultan pajak dan kuasa pajak. Sehingga terlihat pembedaan perlakuan antara keduanya baik sewaktu memberikan jasa sampai kriteria untuk menjadi konsultan atau kuasa pajak. “Di situ diatur kuasa tapi di aturan lain ada PMK (Peraturan Menteri Keuangan) juga atur konsultan. Jadi, ada yang berbeda konsep antara aturan kuasa pajak dengan konsultan. Di Indonesia itu dibatasi non kosnultan,” kata Yustinus.

Penelusuran hukumonline, pengaturan kuasa hukum pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.01/2012 Tahun 2012 tentang Persyaratan Untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak. Dalam aturan itu, yang dimaksud kuasa hukum adalah orang perseorangan yang telah mendapat izin menjadi kuasa hukum dari Ketua Pengadilan Pajak dan memperoleh Surat Kuasa Khusus dari pihak yang bersengketa untuk dapat mendampingi atau mewakili pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak.

Sementara, konsultan pajak diatur dalam PMK Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak. Dalam aturan itu, yang dimaksud konsultan pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan ke wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

“Sehingga jangan sampai ini hanya murni konsultan yang ikut jalur pendidikan yang sertifikasi, nanti akan mendistorsi misalnya fiskal ekonom yangs duah dapat gelar doktor tetapi idak bisa karena harus ikut tes brevet, dsb. Harusnya bisa dibuat dengan standarisasi, sehingga tinggal ikut sertifikasi,” kata Direktur Eksektutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu.

Dimintai tanggapannya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak pada Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya siap apabila diminta untuk mendiskusikan wacana ini lebih lanjut. Pihaknya juga menyambut positif rencana penyusunan aturan ini sepanjang punya dampak signifikan terhadap reformasi perpajakan yang kini tengah dilakukan oleh Ditjen Pajak. Setidaknya, pengaturan ini dapat melindungi wajib pajak misalnya dari praktik para ‘konsultan pajak gelap’ yang sangat sulit dilakukan pengawasan dan penindakan oleh Ditjen Pajak.

“Kalau dengan RUU itu konsultan pajak menjadi semakin baik dari segi fungsi dan peran, misalnya lindungi wajib pajak karena sekarang banyak konsultan gelap, dengan RUU nanti akan diatur seperti apa, yang lakukan praktik gelap tadi ada sanksi pidana, dll,” kata Hestu.

Oleh karena masih berupa wacana, Hestu masih belum bisa memberikan penjelasan lebih jauh seperti misalnya substansi yang akan dimasukan dalam pengaturan itu. “Inikan baru wacana, konsepnya harus didiskusikan kemudian pengusulan RUU juga seperti apa apakah ini inisiatif DPR atau Pemerintah, saya belum bisa komentar lebih jauh,” kata Hestu singkat.

Tags:

Berita Terkait