Korporasi Indonesia Diserang, Pemerintah Bersuara
Merajut Bisnis dan HAM:

Korporasi Indonesia Diserang, Pemerintah Bersuara

Pemerintah menyikapi secara hati-hati Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM. Untuk sementara, menyusun naskah akademik dan indikatornya.

Oleh:
Muhammad Yasin/CR-24/Ady/ANT
Bacaan 2 Menit
Bisnis perikanan termasuk yang sudah panduan HAM melalui sertifikasi HAM perikanan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri. Ilustrasi foto: MYS
Bisnis perikanan termasuk yang sudah panduan HAM melalui sertifikasi HAM perikanan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri. Ilustrasi foto: MYS
Tanpa ekspos besar-besaran delegasi Komite Perdagangan Internasional (INTA) Uni Eropa bertandang ke kantor Kementerian Perekonomian, 24 Mei lalu. Tiga orang menteri langsung menyambut kedatangan delegasi INTA. Selain Menko Perekonomian Darmin Nasution, ada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Kedatangan delegasi INTA Uni Eropa berlangsung setelah isu minyak sawit asal Indonesia memanas. Penyebabnya, sawit Indonesia ditolak sejumlah negara Eropa setelah Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi. Dalam dokumen draf laporan bertajuk Palm Oil and Deforestation of Rainforest, nama Indonesia disebut empat kali dan dihubungkan dengan perkebunan sawit. Ekspansi perkebunan sawit khususnya di Kalimantan dan Sumatera disebut sebagai ‘examples of the most rapid deforestation in human history’ (contoh deforestasi paling cepat dalam sejarah ummat manusia).

Selain deforestasi, perusahaan sawit Indonesia dituduh acapkali melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam operasinya di Indonesia. Jika terjadi konflik lahan atau konflik dengan masyarakat sekitar kebun, ada dampak buruk terhadap masyarakat. Dengan demikian, operasi perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya sawit, dihubungkan dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM. Misanya, mempekerjakan anak di bawah umur.

Resolusi Uni Eropa langsung mendapat tanggapan keras di Indonesia. Bantahan bukan hanya datang dari kalangan pengusaha, tetapi juga Pemerintah. Juli ini delegasi Indonesia berangkat ke Brussel untuk memberikan penjelasan mengenai sawit. Pemerintah mencurigai tuduhan Uni Eropa tak murni pertimbangan perbaikan lingkungan, tetapi juga persaingan bisnis. “Sifatnya (resolusi Parlemen Uni Eropa) tidak mengikat, non-binding),” kata Darmin Nasution.

Meskipun demikian, Darmin mengakui kontribusi sawit sangat besar. Tahun lalu, misalnya, nilai ekspor sawit mencapai Rp240 triliun. Sebagai negara penghasil sawit terbesar, Indonesia terusik dengan aspirasi yang disampaikan lewat Parlemen Uni Eropa.

Tuduhan yang tak kalah seriusnya adalah pelanggaran HAM. Betapa tidak, Indonesia memiliki cukup banyak perangkat hukum untuk menopang hak asasi manusia. Kini, Pemerintah Indonesia juga sedang menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM. Nota kesepahaman antara Pemerintah dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil sudah ditekan Juni lalu. (Baca juga: Pemerintah Libatkan Organisasi Masyarakat Sipil Susun Panduan Bisnis dan HAM).

Direktur Kerjasama pada Ditjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Arry Ardanta Sigit, membenarkan Pemerintah sudah mengajukan protes resmi atas Resolusi Parlemen Uni Eropa tersebut. “Kita sudah menyampaikan surat keberatan mengenai hal tersebut,” jelasnya kepada hukumonline. “Ini kayaknya lebih ke arah perang dagang,” sambungnya.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman tak kalah keras bersuara. Ia meminta Uni Eropa tak usah ikut campur sawit Indonesia. Menteri Perdagangan Enggartiasto menambahkan tudingan pelanggaran HAM itu tak memiliki dasar yang kuat.

Sebaliknya, dorongan agar Pemerintah dan perusahaan-perusahaan sawit Indonesia memperhatikan masalah HAM datang dari organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi masalah HAM di perkebunan dan kawasan pertambangan. Belum lagi dorongan agar Pemerintah menekan perusahaan mematuhi perundang-undangan ketenagakerjaan sebagai bagian dari HAM internal perusahaan. Namun Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mengatakan perangkat hukum tentang HAM di bidang ketenagakerjaan sudah banyak. Tinggal bagaimana pengawasannya. “Yang perlu dilakukan sekarang untuk bidang ketenagakerjaan yakni penguatan pengawasan dan penegakan norma hukum ketenagakerjaan

RANHAM Bisnis dan HAM
Saat ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo memang sedang gencar membuka keran investasi. Melalui deregulasi, keran investasi cenderung dibuka lebar. Termasuk menghapuskan hambatan-hambatan yang regulasi. Membuat sederet prinsip-prinsip panduan untuk kalangan pengusaha dan dikaitkan dengan HAM bukan pekerjaan mudah untuk meyakinkannya kepada para pengusaha, apalagi calon investor. Toh sebagai bagian dari komunitas internasional Indonesia tetap menyediakan komitmen karena sudah punya modalitas.

Nota kesepahaman Ditjen HAM dengan beberapa organisasi masyarakat sipil untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM bisa dijadikan contoh. Penyusunan RAN Bisnis dan HAM ini adalah pintu masuk untuk mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights, pedoman penerapan hak asasi di dunia bisnis yang disepakati Dewan PBB. Penandatanganan nota kesepahaman ini salah satu wujud komitmen Pemerintah. “Pemerintah mendukung sepenuhnya,” kata Arry Ardanta Sigit.  

Salah satu organisasi yang bekerjasama dengan Ditjen HAM adalah INFID. Senior Program Officer INFID, Mugiyanto, mengatakan ada dua poin penting yang disepakati. “Penyusunan naskah akademik dan pembuatan indikator bisnis dan HAM,” jelasnya kepada hukumonline.

Pada Juni lalu, wakil-wakil Pemerintah, termasuk Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri, juga hadir dalam peluncuran Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM yang dibuat oleh Komnas HAM dan Elsam. Beberapa Kementerian juga telah menerapkan prinsip HAM dalam kebijakannya. Misalnya di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah ada Peraturan Menteri No. 2/PERMEN-KP/2017 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan.

Menteri Perindustrian menerbitkan SK No. 28/M-IND/Kep/1/2015 tentang Komite Pengarah dan Tim Teknis Penyelenggaraan Kegiatan Hak Asasi Manusia di Bidang Industri.

Meskipun sudah ada wujud nyata koitmen Pemerintah, Direktur Kerjasama Ditjen HAM, Arry Ardanta Sigit mengatakan Pemerintah berhati-hati menyikapi isu HAM dalam bisnis di tengah iklim investasi. Membuat panduan bisnis dan HAM perlu diselaraskan dengan kebijakan Presiden mendatangkan investor ke Indonesia. “Kita hati-hati sekali,” tegasnya.

RUU Perkelapasawitan
Isu lain yang menyeret Pemerintah ke pusaran polemik sawit adalah RUU Perkelapasawitan yang diusung DPR. RUU ini menimbulkan perdebatan antara kelompok yang mendukung dan menentang. RUU ini dipersiapkan antara lain dimaksudkan untuk melindungi petani dan pengusaha sawit.

Dalam perkembangannya, Pemerintah mulai menarik diri. Tak jelas apakah penarikan diri dari pembahasan ini karena sawit Indonesia sedang mendapat sorotan internasional. Yang jelas, dalam rapat di Badan Legislasi DPR, Senin (17/7), Menko Perekenomian Darmin Nasution menjelaskan Pemerintah tolak melakukan pembahasan lanjutan tentang RUU Perkelapasawitan. (Baca juga: Pemerintah Tolak Lanjutkan Pembahasan RUU Perkelapasawitan).

Darmin menjelaskan bahwa sebagian besar materi RUU tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang lain. Misalnya, bisnis perkebunan kelapa sawit sudah ada norma umumnya dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan; masalah perdagangan sudah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2014  tentang Perdagangan; masalah industrinya sudah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2014  tentang Perindustrian; dan isu perlindungan petani kelapa sawit sudah ada UU No. 19 Tahun 2003  tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Tags:

Berita Terkait