Pola Pengasuhan yang Salah Dominasi Permasalahan Anak di Indonesia
Berita

Pola Pengasuhan yang Salah Dominasi Permasalahan Anak di Indonesia

Keluarga menjadi pondasi awal membentuk kepribadian anak.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Pola Pengasuhan yang Salah Dominasi Permasalahan Anak di Indonesia
Hukumonline
Meskipun Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada 23 Juli akan menjelang, namun masih terdapat berbagai macam masalah yang dialami anak-anak di Indonesia. Mulai dari kasus pelecehan seksual, penganiayaan, proses rehabilitasi kepada anak sebagai korban maupun pelaku, banyaknya anak terlantar, hingga bagaimana menyikapi pemidanaan anak yang terlibat masalah hukum.

Direktur Rehabilitasi Anak Kementerian Sosial RI, Nahar, mengatakan, jika permasalahan anak bisa muncul dari berbagai aspek. Oleh karena itu peran keluarga dianggap penting dalam membentuk kepribadian anak. Ia menjelaskan, Kementerian Sosial hanya bersifat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi kepada anak.

“Tugas Kemensos bicara soal basic dan kesejahteraan anak, pengasuhan yang baik di keluarganya sendiri,” kata Nahar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (22/7).

Salah satu akar dari permasalahan anak yang ditemukan berasal dari pola pengasuhan. Banyak dari anak-anak tersebut yang ditinggal orang tuanya baik itu karena kematian ataupun perceraian sehingga tidak mendapat kasih sayang yang cukup. “Setelah itu kan mereka diasuh kerabat atau saudaranya, kalau diasuh dengan baik sih tidak masalah, tapi kalau diasuhnya tidak maksimal ini yang membentuk pribadi-pribadi seperti itu (menyimpang),” ujarnya.

(Baca: Ahli: Hukuman terhadap Murid Harus Mendidik)

Untuk di Jakarta saja, jumlah anak yang masuk rehabilitasi ada sekitar 100 orang tiap  tahunnya. Kemudian untuk rata-rata di seluruh Indonesia total anak yang harus direhabilitasi ada sekitar 3.200 orang. Rehabilitasi tersebut, lanjut Nahar, bukan hanya kepada anak yang menjadi korban, tetapi juga kepada anak yang menjadi pelaku pelanggaran hukum.

Masalahnya Kementerian Sosial tidak mempunyai fasilitas yang memadai untuk menampung seluruh anak untuk rehabilitasi. “Sehingga banyak kasus dari daerah tertentu harus diterbangkan ke Jakarta atau lokasi terdekat yang kita miliki. Itu hambatan utamanya,” tutur Nahar.

Hambatan lainnya adalah banyak orang tua atau anak itu sendiri yang enggan direhabilitasi. Mereka masih belum mempunyai kesadaran, pemahaman dan pengertian tentang rehabilitasi itu sendiri. Sehingga masih beranggapan jika rehabilitasi sama dengan penjara, padahal proses yang dilakukan sungguh berbeda.

Nahar juga meminta masyarakat pro aktif memberikan laporan mengenai masalah yang terjadi terhadap anak kepada Kementerian Sosial. Untuk mempermudah memberikan laporan, pihaknya membuka layanan telepon dengan nomor 1500771 yang langsung tersambung ke pihak pelayanan laporan masyarakat untuk masalah anak.

Untuk saat ini, laporan melalui layanan telepon tersebut terus meningkat setiap tahun menembus angka 12 persen dari semua laporan yang masuk. Dan laporan paling banyak berkaitan dengan pelecehan seksual yang terjadi kepada anak.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasa Putra mengatakan jika kasus yang menimpa anak di Indonesia dalam periode 5 tahun terakhir cukup marak. Untuk kurun waktu 2011-2016  saja tercatat ada sekitar 23.800 kasus anak yang dibagi dalam sembilan kategori. Khusus untuk permasalahan hukum sendiri ada sekitar 8.200 kasus.

Salah satu sebab utama tingginya masalah anak adalah dari segi pengasuhan yang masih belum optimal. “Kalau kita sepakat masalah anak pengasuhan, di Indonesia ada tradisi yang cukup lama. Di Sumatera Barat misalnya ada pola asuh, kalau ada anak terlantar, ada keluarga yang mengurus bahkan ada sanksi sosial jika tidak ada pengurus anak itu,” katanya.

(Baca: Kementerian PPPA Kirim Draf RUU PKS ke Presiden)

Menyambut HAN pada 23 Juli 2017 ini, Jasa meminta agar pemerintah tidak lengah melihat perosalan yang ada. Ia menyebut setidaknya ada tiga hal yang harus diawasi yaitu tumbuh kembang anak, kesejahteraan dan perlindungan. Aparat pemerintah termasuk kementerian dan lembaga juga diminta mempunyai pandangan yang sama dalam menghadapi masala ini.

“Harus ada program nyata dan hadir di tengah masyarakat sehingga tidak ada lagi anak yang menjadi korban kekerasan,” tegasnya.

Instrumen Sudah Ada
Dalam diskusi yang sama, anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia mengatakan perlindungan terhadap anak tidak pernah diberikan secara khusus baik di sekolah maupun lingkungan. Ia mencontohkan di beberapa negara maju para siswa usia sekolah diberikan mata pelajaran ekstra kulikuler tentang keluarga, namun hal itu belum diterapkan di Indonesia.

Selain itu, pemerintah dianggap belum mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU. Pada pokoknya, regulasi itu menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Menurutnya, pemerintah sudah mempunyai segala instrumen untuk menanggulangi masalah anak. Tetapi dalam praktiknya masih ada beberapa kekurangan salah satunya pada saat proses peradilan. Ia mencatat, dari berbagai kasus pelecehan terhadap anak ternyata tidak lebih dari 11 persen yang pelakunya dihukum lebih dari 10 tahun sehingga tidak ada efek jera.

(Baca: Begini Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual dalam RUU PKS)

Menurut politisi PKS yang pernah duduk sebagai anggota Komisi VIII DPR ini, hakim semestinya juga mencantumkan denda atau restitusi kepada pelaku kejahatan anak. Sebab proses rehabilitasi tentunya memerlukan waktu yang lama dan tidak membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika anak yang menjadi korban tersebut tidak ingin melalui Kementerian Sosial melainkan direhabilitasi oleh keluarganya sendiri.

“Ketika direhabilitasi ada restitusi yang ditetapkan hakim bersama hukuman pokok. Ada anak yang korban pelecehan harus ada restitusi supaya bisa rehabilitasi,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait