Kelompok Advokat Ini Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

Kelompok Advokat Ini Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Secara materil RUU Pemilu ini sudah sah menjadi UU meski secara formil belum disahkan presiden.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Pengurus dan Anggota ACTA usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu Tahun 2017 di Gedung MK Jakarta, Senin (24/7/2017). Foto: AID
Pengurus dan Anggota ACTA usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu Tahun 2017 di Gedung MK Jakarta, Senin (24/7/2017). Foto: AID

Setelah disetujui menjadi UU pada 21 Juli 2017 lalu, konstitusionalitas UU tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Tahun 207 bakal diperiksa Mahkamah Konstitusi (MK) terutama terkait aturan ambang batas pengajuan calon presiden sebesar 20-25 persen. Adalah sekelompok advokat yang mengatasnamakan pengurus Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi mendaftarkan uji materi UU Pemilu belum bernomor ini ke MK.

Wakil Ketua ACTA Agustyar menilai aturan ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 6A, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. “Kami dari beberapa (anggota) ACTA mendaftarkan uji materi UU Pemilu yang baru kemarin disahkan DPR terkait Pasal 222 mengenai ambang batas pencalonan presiden yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” ujar Agustyar usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu di Gedung MK, Senin (24/7/2017).   

Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan Parpol atau gabungan Parpol Pengusul Calon Presiden atau Wakil Presiden mempunyai setidaknya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya.  

Agustyar menutukan ada beberapa alasan pengajuan uji materi Pasal 222 UU Pemilu ini. Pertama, aturan itu “menabrak” logika sistem presidensial sebagaimana diatur Pasal 4 UUD Tahun 1945. “Aneh sekali dasar pengusulan calon presiden yang merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi justru mengacunya pada hasil pemilihan umum lembaga legislatif,” kata dia.

“Ketentuan Pasal 222 ini bisa berakibat Presiden tersandera oleh partai-partai politik hingga akhirnya bisa saja melakukan bagi-bagi jabatan kepada politisi dari partai pendukung.” Baca Juga: Resmi Jadi UU Pemilu, Ambang Batas Pencalonan Presiden Digugat ke MK

Alasan kedua, kata Agustyar, Pasal 222 UU Pemilu Tahun 2017 telah menyalahi tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur Pasal 6A UUD Tahun 1945. Aturan itu, jelas diatur yang bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik peserta pemilu tanpa ada embel-embel berapa persen perolehan kursi parlemen atau suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya.

“Jadi, tidak ada ketentuan bahwa pembuat UU berwenang membuat aturan yang mengatur soal persyaratan lebih jauh partai pengusul calon Presiden.”

Alasan ketiga, Pasal 222 telah menimbulkan diskriminasi terhadap Parpol (kecil) peserta Pemilu yang seharusnya semua berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. “Parpol yang baru pertama akan ikut Pemilu dan Parpol yang perolehan suara pada Pemilu sebelumnya tidak sampai 20 persen tentu kehilangan hak (kesempatan) untuk dapat mengusulkan pasangan calon presidein dan wakil presiden,” tegasnya.

Ketua Dewan Pembina ACTA Habiburokman yang juga kader Partai Gerinda mengatakan pengujian ini semua memiliki kepentingan yang sama terlepas dari latar belakang politik atau tidak. Sebab, kerugian konstitusional tidak hanya bersifat langsung tetapi juga kerugian bersifat potensial bagi masyarakat.   

“Saya khawatir negara bisa rusak jika presidennya tersandera parta-partai yang mengusulkan dirinya untuk menjadi calon presiden. Meski Pasal 6A ayat (5) UUD Tahun 1945 mendelegasikan kepada DPR, tetapi hanya soal tata cara, bukan persyaratan tambahan,” kata dia.

Menurutnya, tidak ada pendelegasian kewenangan untuk membuat peraturan lebih detail soal ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen sampai 25 persen dalam UUD Tahun 1945. “Ini (aturan) bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan secara materil UU Pemilu ini sudah sah menjadi UU meski secara formil belum disahkan presiden, belum dimuat dalam Lembaran Negara (LN), dan belum memiliki nomor UU. Dalam praktik, MK menerima perkara pengujian UU yang belum bernomor.

“Kepaniteraan MK tidak bisa menolak perkara, tetapi jika belum lengkap dan belum memiliki objek permohonan (UU belum bernomor), maka akta permohonanya akan ditulis belum lengkap,” ujar Fajar.

Fajar menjelaskan bisa saja pengujian UU yang belum bernomor diperiksa dalam sidang pendahuluan. “Sesuai hukum acara, sidang pendahuluan 14 hari setelah diregisrasi. Apabila setelah diregistrasi, memasuki sidang pendahuluan dan UU-nya belum bernomor berarti harus menunggu disahkan presiden (untuk diperiksa selanjutnya). Ini akan menjadi nasihat majelis panel pendahuluan,” kata Fajar.

Fajar menjelaskan secara normative ketika sebuah RUU disahkan menjadi UU, ada kewajiban presiden untuk menandatangani RUU agar menjadi UU. Namun, kalau dalam jangka waktu 30 hari presiden tidak mengesahkan RUU otomatis menjadi UU. “Jadi serta merta UU itu berlaku secara otomatis,” katanya. (Baca Juga: Ketentuan E-Voting, RUU Pemilu Harus Selaras Putusan MK)
Tags:

Berita Terkait