Jalan Berliku Memperlakukan Pengguna Narkotika Sebagai Korban
Utama

Jalan Berliku Memperlakukan Pengguna Narkotika Sebagai Korban

Badan Narkotika Nasional mengungkap kesulitan yang dialami. Persepsi masyarakat ikut berperan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Para narasumber diskusi penanganan narkotika di Fakultas Hukum Universitas, (18/7/2017). Foto: EDWIN
Para narasumber diskusi penanganan narkotika di Fakultas Hukum Universitas, (18/7/2017). Foto: EDWIN
Presiden Joko Widodo telah mendeklarasikan Indonesia darurat narkotika. Pengungkapan dan penangkapan tersangka pengedar, pengguna, dan pedagang narkotika terjadi di banyak tempat. Diperkirakan 33 orang meninggal setiap harinya akibat penyalahgunaan narkotika. Dampak kerugian ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan bisa mencapai 63 triliun rupiah.

Sikap tegas aparat penegak hukum seperti BNN, kepolisian, dan hakim yang menjatuhkan hukuman, tetap tak menghapus kejahatan narkotika. Tidak mengherankan muncul ide dekriminalisasi pengguna narkotika. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH-Masyarakat) dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) termasuk dua lembaga yang selama ini giat menyuarakan kebijakan dekriminalisasi para pengguna narkotika. Sebab, para pengguna sebenarnya adalah korban perdagangan gelap narkotika.

Pendekatan hukum (pidana) sebenarnya bukan satu-satunya cara yang dilakukan Pemerintah. Presiden memang sudah memerintahkan Polri untuk tembak di tempat bagi bandar narkotika yang melawan. Tetapi ada pendekatan lain yang juga ditempuh.

(Baca juga: Pecandu Narkotika yang Tak Bisa Dituntut).

Direktur Pascarehabilitasi BNN, Budiyono, mengungkapkan kebijakan nasional penanganan narkotika yang mengacu UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) telah menggunakan pendekatan kesehatan bagi para pengguna. Pasal 4 UU Narkotika menyebutkan tegas  salah satu tujuan regulasi ini adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi menyalahgunakan hingga kecanduan narkotika.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika juga telah mengatur hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan serta perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang melibatkan peran serta masyarakat. BNN bahkan sudah  membentuk unit baru yang dipimpin dokter Budiyono dengan kesadaran bahwa pemulihan medis penyalahguna atau pecandu narkotika harus berkelanjutan hingga pasca rehabilitasi.

Budiyono mengatakan adiksi atau kecanduan merupakan penyakit kronis kambuhan. Tidak ada jaminan seseorang untuk disembuhkan secara total. Apabila terdapat pemicu, adiksi ini dapat muncul kembali kapan saja. Langkah yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kepulihan seseorang agar tidak kembali pada adiksi tersebut. Dengan adanya layanan pasca rehabilitasi, mantan pecandu dapat diawasi dan dibimbing untuk mampu kembali kepada masyarakat.

Namun, masalah terberat pendekatan ini ialah mahalnya anggaran yang harus ditanggung. BNN baru bisa menyediakan enam pusat rehabilitasi di Medan, Batam, Lampung, Bogor, Samarinda, dan Makassar yang kapasitasnya pun sangat terbatas. Sebut saja pusat rehabilitasi BNN di Lampung dan Medan yang masing-masing hanya mampu menampung 75 orang. Sementara fasilitas rehabilitasi swasta hanya bisa diakses pecandu dengan biaya yang tinggi. Itu pun belum semuanya terstandar dengan baik sesuai ketentuan BNN.

Persoalan lainnya, UU Narkotika membedakan perlakuan kepada penyalah guna yang hanya menjadi pecandu dengan yang menjadi pengedar narkotika. Dalam penjelasan Pasal 54 UU Narkotika disebutkan bahwa ‘korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika’.

(Baca juga: Harus Ada Pemisahan yang Jelas Pengguna dan Pelaku Perdagangan Narkotika).

Faktanya, karakteristik penyalahguna narkoba sebagai pecandu dan juga sebagai pengedar atau bandar. Kondisi inilah yang semakin menyulitkan pendekatan medis untuk para pengguna narkotika dengan perlakuan sebagai korban perdagangan gelap narkotika. Penggunaan pendekatan pemidanaan akhirnya lebih sering dikedepankan.

Direktur Hukum BNN, Darmawel Aswar menambahkan selain mahalnya fasilitas rehabilitasi swasta yang hanya bisa diakses pecandu dari kalangan menengah atas, budaya hukum yang berkembang di masyarakat telah memandang pecandu sebagai ‘sampah masyarakat’. “Masyarakat cenderung memandang biarlah mereka (pecandu) tanggung dosa dan akibatnya (sanksi pidana),” kata Aswar, dalam diskusi di kampus Fakultas Hukum Universitas Indnesia, Selasa (18/7) pekan lalu.

Bahkan stigma mantan pecandu pun masih akan terus melekat. Terlebih lagi kondisi adiksi secara alami masih dapat kambuh. Konsep medis tentang adiksi menjadikan pecandu mengalami penyakit otak permanen akibat berubahnya fungsi dan struktur otak oleh narkotika.

Anggaran
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Choky Ramadhan, menyoroti anggaran BNN. Anggaran badan ini terus naik. Jika pada pada 2005 anggarannya ‘hanya’ sekitar 219 miliar rupiah; pada tahun 2015 sudah mencapai 1,14 triliun. Pada tahun 2005 jumlah tersangka yang ditangani BNN 22.695 orang; mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 42.797 orang.

Anggaran penuntutan per satuan narkotika di Kejaksaan 3,3 juta rupiah. Pada tahun 2015, total perkara narkotika yang dituntut berjumlah 22.906 perkara. Jumlah total anggaran penuntutan narkotika menjadi berjumlah Rp75.589.800.000.

Choky melihat pendekatan pemidanaan dianggap penegak hukum lebih praktis dan  mudah dibuktikan. Sebaliknya, pengajuan rehabilitasi lebih sulit pembuktiannya serta memakan waktu dan tenaga lebih banyak. Itu pun tidak ada penghargaan khusus jika penegak hukum mengupayakan agar penyalahguna narkotika diajukan rehabilitasi kepada majelis hakim.

Faktanya anggaran ini masih terus membengkak dengan beban biaya pemenjaraan. Hingga Juli 2017 ini ada 75.598 tahanan kasus narkotika. Perkiraan  biaya makanan tahanan sebesar Rp10.100/hari x 75.958 orang = Rp767.175.800,-/hari. Jika dikalikan jumlah 365 hari dalam setahun Rp767.175.800 x 365 hari akan menghasilkan Rp280.019.167.000,-/tahun.

Choky menilai perlu dipertimbangkan ulang dengan sangat hati-hati apakah persoalan adiksi narkotika masih tepat dengan pemidanaan penjara. Belum lagi kenyataan bahwa penjara menjadi school of crime yang justru mendidik pecandu untuk menjadi pengedar.

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala berpendapat mengubah strategi penanganan narkotika menjadi condong kepada dekriminalisasi juga perlu dipastikan agar benar-benar efektif dan bukannya menurunkan kewaspadaan masyarakat akan buruknya penyalahgunaan narkotika apalagi menambah beban anggaran dengan berbagai lembaga birokratis baru.
Tags:

Berita Terkait