Hukum Perlindungan Data Pribadi: ‘Ladang Emas’ Baru Advokat di Indonesia Oleh: M. Iqsan Sirie*)
Kolom

Hukum Perlindungan Data Pribadi: ‘Ladang Emas’ Baru Advokat di Indonesia Oleh: M. Iqsan Sirie*)

Para pelaku di industri hukum Indonesia mulai sekarang perlu memafhumi hukum di bidang perlindungan data pribadi jika ingin menikmati potongan ‘kue keuntungan’ dari berbagai peluang yang akan datang pasca-UU Perlindungan Data Pribadi sah dan berlaku.

Bacaan 2 Menit
Muhammad Iqsan Sirie
Muhammad Iqsan Sirie
Istilah privasi dan perlindungan data pribadi mungkin sudah tidak lagi asing di telinga kita. Beberapa tahun belakangan ini, maraknya kasus-kasus pelanggaran terhadap privasi, terutama data pribadi sudah mulai menjadi isu popular di kalangan masyarakat Indonesia.

Kebocoran data nasabah perbankan yang berbuntut pada aksi penipuan, jual-beli data nasabah untuk kepentingan telemarketing suatu produk hingga keluhan pelanggan layanan transportasi berbasis online karena kerap dihubungi oleh pengendara layanan tersebut yang iseng merupakan contoh-contoh kasus pelanggaran data pribadi yang cukup sering diberitakan di berbagai media di Indonesia.

Untuk mencoba mengatasi banyaknya persoalan pelanggaran privasi dan data pribadi di Indonesia, pemerintah telah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Senada dengan perlindungan data pribadi yang diterapkan di negara-negara Uni Eropa, RUU PDP dirancang untuk menjadi sebuah peraturan umum (lex generalis) yang mengatur perihal data pribadi secara komprehensif.

Aturan semacam ini dibutuhkan karena saat ini aturan-aturan yang ada di Indonesia tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan sektoral (perbankan, kesehatan, teknologi dan informatika, telekomunikasi, dsb.) – dan umumnya aturan-aturan tersebut tidak mengatur soal data pribadi secara mendalam.

Apa saja ketentuan-ketentuan penting di dalam RUU PDP tidak akan dibahas di kolom ini, tapi satu hal yang perlu diketahui adalah aturan ini bakal mengubah banyak aspek kehidupan di Indonesia. Setelah RUU PDP ‘diketok palu’ di Senayan menjadi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), pemerintah, pelaku usaha, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya yang dianggap melakukan penyelenggaraan data pribadi seperti mengumpulkan, mengolah, menyimpan, mengalihkan dan/atau menampilkan data pribadi seseorang perlu berbenah diri agar praktik penyelenggaraan data pribadi mereka sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU PDP.

Selain itu, UU PDP akan memberikan perlindungan yang layak bagi pemilik data pribadi atas data pribadi miliknya yang disimpan atau dikelola oleh pihak penyelenggara data pribadi. Sebagai contoh, hak-hak tersebut dapat berupa hak untuk meminta akses dan salinan, perbaikan atau penghapusan data pribadi miliknya yang berada di dalam pengelolaan penyelenggara data pribadi.

Di sisi lain, perubahan fundamental yang disebabkan oleh adanya UU PDP juga akan membuka peluang usaha baru bagi para advokat Indonesia. Pihak-pihak yang harus tunduk pada ketentuan UU PDP tentunya akan memerlukan bantuan advokat untuk memastikan bahwa kegiatan penyelenggaraan data pribadi mereka tidak melanggar dan terhindar dari ancaman sanksi UU PDP. Oleh karena itu, keberlakuan UU PDP diperkirakan akan mendatangkan berbagai macam permintaan jasa hukum bagi para praktisi hukum di Indonesia.

Sebagai gambaran singkat, ‘orderan’ pekerjaan tersebut dapat berupa permintaan advis hukum terkait UU PDP, penyusunan dokumen-dokumen yang diwajibkan UU PDP (contohnya, kebijakan perlindungan privasi (privacy policy), pedoman perilaku (code of conduct) penyelenggaraan data pribadi, dan surat persetujuan tertulis dari pemilik data pribadi (consent form)), permintaan legal due diligence mengenai kepatuhan suatu perusahaan terhadap UU PDP, penanganan atas kebocoran data pribadi (data breach), penyusunan dokumen transaksi pengalihan data pribadi ke luar negeri (trans-border data transfer transactions), pendampingan klien bila harus berurusan dengan instansi pemerintah yang berwenang di bidang perlindungan data pribadi, gugatan terkait pelanggaran data pribadi baik di luar maupun di dalam pengadilan, dan sebagainya.

Lebih lanjut, demand ini tidak hanya akan datang dari dalam negeri, tetapi juga dari pengguna jasa hukum asal luar negeri, mengingat UU PDP juga memiliki cakupan extraterritorial, dimana ketentuan-ketentuannya mengikat para penyelenggara data pribadi yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia sepanjang yang mereka kelola adalah data pribadi penduduk Indonesia.

Di negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu menerbitkan aturan privasi dan perlindungan data pribadi, pekerjaan di bidang privasi dan perlindungan data pribadi ini sudah menjadi salah satu pekerjaan rutin para penyedia jasa hukum. Justru sudah banyak advokat-advokat di negara tersebut yang menjadi spesialis di bidang hukum privasi dan perlindungan data pribadi. Advokat spesialis ini biasanya dikenal dengan sebutan data privacy atau data protection lawyers.

Di samping itu, tidak jarang firma-firma hukum di luar negeri yang namanya sering kita jumpai di berbagai direktori hukum seperti Legal 500 atau Who’s Who Legal, membentuk dan memiliki sebuah unit khusus (atau disebut juga practice group) untuk menangani pekerjaan-pekerjaan seputar privasi dan perlindungan data pribadi. Adapun firma-firma hukum lain yang didirikan sebagai boutique law firm dan hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan privasi dan perlindungan data pribadi.

Fenomena sebagaimana diuraikan di atas semata-mata ada karena terdapat permintaan pasar yang besar. Bahkan di banyak negara Eropa, meski mereka telah memiliki aturan tentang privasi dan perlindungan data pribadi lebih dari 3 dasawarsa, peluang usaha bagi data protection lawyers diprediksi terus bertambah banyak sejalan dengan perkembangan teknologi dan permasalahan-permasalahan mengenai penyelenggaraan data pribadi yang bersangkutan dengan teknologi-teknologi baru tersebut (Christopher Kuner, 2010).

Besarnya demand akan jasa penyedia hukum di bidang privasi dan perlindungan data pribadi pada umumnya disebabkan karena faktor kompleksitas aturan-aturan privasi dan perlindungan data pribadi sehingga membuat para penyelenggara data pribadi membutuhkan mereka yang memiliki keahlian di bidang ini. Hal ini terbukti dari survei tahun 2016 yang dilakukan oleh Bloomberg Law dan International Association of Privacy Professionals, dimana mayoritas korespondensi yang merupakan pelaku di industri penyelenggaraan data pribadi di Amerika dan Eropa mengemukakan bahwa mereka menggunakan bantuan penyedia jasa hukum eksternal untuk menangani urusan privasi dan perlindungan data pribadi mereka.

Di samping membawa keuntungan bagi para praktisi hukum, UU PDP juga diperkirakan akan menghasilkan ladang usaha baru bagi para penyedia jasa pendukung profesi advokat dalam negeri; misalnya, penyelenggara pendidikan hukum. Berbanding lurus dengan banyaknya permintaan jasa hukum di bidang privasi dan perlindungan data pribadi, tentunya akan menjadi banyak pula advokat-advokat Indonesia yang membutuhkan pengetahuan hukum di bidang tersebut, berhubung bidang ini bisa dikatakan masih relatif baru di kalangan praktisi hukum di Indonesia.

Kemudian, ada juga peluang usaha sebagai organisasi atau himpunan yang menerbitkan sertifikasi bagi praktisi hukum yang menjalankan praktik spesialisasi di bidang perlindungan data pribadi – semacam praktik sertifikasi yang dijalankan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dalam kaitannya dengan konsultan hukum di bidang pasar modal. Praktik sertifikasi data protection lawyers sudah berkembang cukup lama di Amerika dan Eropa (dan belum lama ini di Singapura, Hong Kong dan India), dan praktik tersebut sudah menjadi komersial di industri privasi dan perlindungan data pribadi di luar negeri.

Satu contoh, sertifikasi the Certified Information Privacy Professional (CIPP) yang diterbitkan oleh International Association of Privacy Professionals menunjukkan bahwa penerimanya telah mafhum akan aturan-aturan privasi dan perlindungan data pribadi. Untuk mendapatkan sertifikasi CIPP tersebut, ujiannya di banderol seharga AS$ 550 (sekitar Rp 7,5 juta). Seterusnya, penerima sertifikasi perlu mengocek kantong lagi dan membayar tambahan sebesar AS$ 125 (sekitar Rp 1,7 juta) per tahun agar sertifikasi tersebut tetap berlaku.

Akhir kata, penulis memproyeksi bidang privasi dan perlindungan data pribadi akan menjadi ‘booming’ di Indonesia setelah UU PDP disahkan dan efektif berlaku. Seperti yang sudah disinggung di bagian awal kolom ini, bidang tersebut juga akan mendatangkan peluang usaha baru bagi profesi hukum di Indonesia. Maka itu, para pelaku di industri hukum Indonesia mulai sekarang perlu memafhumi hukum di bidang perlindungan data pribadi jika ingin menikmati potongan ‘kue keuntungan’ dari berbagai peluang yang akan datang pasca-UU PDP sah dan berlaku.

*)Muhammad Iqsan Sirie adalah pemerhati hukum di bidang perlindungan data pribadi
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: