750 Ribu Lulus Universitas Setiap Tahun, Kompetensi Masih Jadi Masalah
Berita

750 Ribu Lulus Universitas Setiap Tahun, Kompetensi Masih Jadi Masalah

Pengawasan terhadap pemagangan tidak kalah pentingnya.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pekerja magang. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pekerja magang. Ilustrator: BAS
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengimbau perguruan tinggi meningkatkan kompetensi lulusannya sesuai kebutuhan industri. Sebab, ia menduga,banyak lulusan pendidikan tinggi belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja. Kementerian berusaha mengembangkan program pemagangan.

Melansir data Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi jumlah lulusan pendidikan tinggi di Indonesia rata-rata 750 ribu orang setiap tahun. Menteri Hanif Dhakiri mengingatkan agar pendidikan tinggi melakukan perubahan, penguatan substansi yang relevan dengan perkembangan masyarakat. Sebab, tidak ada jaminan setiap orang yang lulus dari universitas otomatis diterima bekerja, khususnya industri.

Hanif menduga penyebabnya adanya celah kompetensi dengan kebutuhan pasar kerja. Ini mengakibatkan jumlah pengangguran jebolan universitas meningkat setiap tahun. Ia menegaskan lulusan perguruan tinggi harus didukung dengan kompetensi untuk masuk pasar kerja. "Langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan adalah menyesuaikan program pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar," kata Hanif dalam keterangan pers, Jumat (28/7).

(Baca juga: Ketentuan Pemagangan Agar Tak Menyalahi UU Ketenagakerjaan).

Terpisah,Kasubdit Pengembangan Jaringan Pemagangan Kementerian Ketenagakerjaan, Mulyadi, mengatakan pemagangan menjadi salah satu fokus pemerintah di bidang ketenagakerjaan saat ini. Hal itu juga tertuang dalam Nawacita yakni percepatan peningkatan kompetensi tenaga kerja.

Menurut Mulyadi, pemagangan merupakan terobosan dalam meningkatkan daya saing dan kompetensi tenaga kerja. Berbeda dengan pelatihan kerja umum, program pemagangan durasinya singkat, usia minimal 17 tahun, program yang digelar fleksibel mengikuti kebutuhan pasar kerja. Kemudian, tenaga pengajar merupakan praktisi, pelatihan yang diberikan sesuai kompetensi yang dibutuhkan.

Bagi perusahaan, program pemagangan menguntungkan karena dapat menghasilkan tenaga kerja sesuai standar yang dibutuhkan. Peserta magang juga untung karena berkesempatan bisa terlibat dalam proses produksi di perusahaan. Tapi perlu diingat, hubungan antara peserta dan perusahaan bukan antara pekerja dan pemberi kerja. “Relasi yang terjalin itu bukan relasi kerja tapi dalam rangka pelatihan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin (24/7) lalu.

Mulyadi mengingatkan, ada sejumlah ketentuan yang dijadikan acuan dalam menyelenggarakan program magang seperti PP No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional dan Permenaker No. 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Syarat yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan pemagangan antara lain perusahaan hanya dapat menerima peserta magang paling banyak 30 persen dari jumlah pekerja; usia peserta magang paling rendah 17 tahun; materi yang diberikan berupa teori paling banyak 25 persen dan praktik minimal 75 persen.

Selain itu, jangka waktu magang paling lama 1 tahun sejak perjanjian pemagangan ditandatangani, jika lebih dari 1 tahun maka dibentuk perjanjian pemagangan baru dan diketahui dinas ketenagakerjaan.Perjanjian pemagangan dibuat secara tertulis, diketahui dan disahkan dinas ketenagakerjaan setempat. Jika pengesahan itu belum dilakukan dalam waktu 3 hari kerja, pemagangan tidak dapat dilaksanakan.

Perusahaan sebagai penyelenggara pemagangan harus menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan misalnya kelengkapan alat keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Selain itu peserta berhak memperoleh uang saku, didaftarkan pada program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan Kematian (JKm) serta sertifikat.

Waktu penyelenggaraan pemagangan menurut Mulyadi sesuai jam kerja reguler di perusahaan. Sampai saat ini tercatat ada 217 perusahaan yang menyelenggarakan program pemagangan meliputi industri manufaktur, retail dan pariwisata. “Peserta magang tidak boleh bekerja pada jam lembur, hari libur resmi dan malam hari,” urainya.

Direktur Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, Syarif Arifin, mengatakan pada intinya program pemagangan ini menghubungkan pencari kerja dengan perusahaan yang membutuhkan. Setelah mengikuti program magang diharapkan perusahaan bisa merekrut peserta magang menjadi pekerja. Walau program pemagangan itu baik, tapi masih ada celah dalam regulasinya.

Misalnya, siapa yang berhak menyelenggarakan program pemagangan? Karena lembaga yang dipimpinnya menemukan ada yayasan yang selama ini beroperasi sebagai penyalur tenaga kerja sekaligus menjadi penyalur peserta magang. Ada juga perusahaan yang bergerak di bidang usaha penampungan limbah dan gudang tapi menyalurkan peserta magang ke perusahaan yang membutuhkan.

“Ada peserta magang di Batam yang kerja di jam lembur dan diikat dengan kontrak dua tahun dan diperpanjang dalam jangka waktu yang sama,” papar Syarif.

Menurut Syarif pemerintah harus memperkuat pengawasan guna mengatasi masalah tersebut. Tak kalah penting, masalah ketimpangan kepemilikan lahan yang ada selama ini membuat persoalan itu muncul. Masyarakat yang tidak memiliki lahan jumlahnya sangat banyak dan berupaya mencari kerja. Akibatnya, jumlah pencari kerja lebih banyak daripada lapangan kerja yang ada.

(Baca juga: STHI Jentera Tanda Tangani Program Magang dengan 12 Lembaga).

Untuk penyelesaian jangka panjang Syarif mengusulkan kepada pemerintah untuk membenahi tata kelola lahan. Sehingga masyarakat bisa mengolah lahan untuk penghasilan mereka dan tidak melulu mencari kerja di industri yang saat ini jumlahnya terbatas.
Tags:

Berita Terkait