Didakwa Perkaya Korporasi, Eks Dirut Keluhkan Nasib PT NKE Tbk
Berita

Didakwa Perkaya Korporasi, Eks Dirut Keluhkan Nasib PT NKE Tbk

Sejak PT NKE Tbk ditetapkan KPK sebagai tersangka, terdakwa menyebut saham perusahaan dibekukan dan tidak lagi mendapat pinjaman bank.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Direktur Utama PT Duta Graha Indah (PT DGI) Dudung Purwadi usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (6/3) lalu.
Direktur Utama PT Duta Graha Indah (PT DGI) Dudung Purwadi usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (6/3) lalu.
Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Duta Graha Indah (DGI) Tbk yang sekarang telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) Tbk, Dudung Purwadi didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam dua proyek pengadaan. Pertama, proyek pembangunan  Rumah Sakit Pendidikan Khusus Infeksi dan Pariwisata (RSPKIP) Universitas Udayana Tahun Anggaran (TA) 2009-2010. Kedua, proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan TA 2010-2011.

Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kresno Anto Wibowo menuturkan, untuk pengadaan pertama,  Dudung selaku Dirut PT DGI Tbk tahun 2009-2010 didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Muhammad Nazarudin dan Made Meregawa dengan melakukan kesepakatan dalam pengaturan proyek pembangunan RSPKIP Universitas Udayana TA 2009-2010 dalam rangka memenangkan PT DGI Tbk sebagai pelaksana atau rekanan.

"(Perbuatan terdakwa bersama-sama sejumlah pihak) Memperkaya PT DGI Tbk pada tahun 2009 setidak-tidaknya sebesar Rp6,78 miliar dan pada tahun 2010 setidak-tidaknya sebesar Rp17,998 miliar, serta memperkaya Nazarudin dan korporasi yang di bawah kendalinya, yakni PT Anak Negeri, PT Anugerah Nusantara, dan Grup Permai sejumlah Rp10,29 miliar," katanya saat membacakan surat dakwaan perkara Dudung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (31/7/2017). Baca Juga: “Taji” KPK Tersangkakan Korporasi dan Konsekuensi Perusahaan Terbuka (Bagian I)

Akibat perbuatan Dudung bersama-sama sejumlah pihak tersebut, keuangan negara dirugikan sebesar Rp25,935 miliar. Penghitungan kerugian negara ini berdasarkan audit  yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: SR-698/D6/01/2016 tanggal 4 Oktober 2016 tentang Laporan Hasil Audit dalam Rangka Audit Perhitungan Kerugian Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pekerjaan Pembangunan RSPKIP Universitas Udayana TA 2009-2010.

Peristiwa itu bermula sekitar awal tahun 2009. Dudung selaku Dirut yang mempunyai tugas memimpin perusahaan, serta menjalankan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), mewakili PT DGI Tbk menghadiri pertemuan dengan beberapa perwakilan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang konstruksi. Antara lain, PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Waskita Karya, dan PT Nindya Karya di kantor Anugerah Grup sebagaimana undangan dari Nazarudin selaku pemilik/pengendali Anugerah Grup.

Dalam pertemuan itu, sambung Kresno, mereka membicarakan, pihak Anugerah Grup sedang mengusahakan anggaran di DPR untuk beberapa proyek konstruksi. Nanti, proyek itu akan diberikan kepada perusahaan yang hadir dalam dalam pertemuan, sehingga para kontraktor BUMN dan PT DGI Tbk diminta saling membantu dalam proses pelelangan, yakni apabila ada salah perusahaan yang telah diarahkan menjadi pemenang, maka perusahaan lainnya harus bersedia menjadi pendamping lelang, begitu pula sebaliknya.

Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya yang dilakukan  Dudung didampingi Manager Marketing PT DGI Tbk Mohammad El Idris menemui Nazarudin di akhir tahun 2009. Ketika itu, Dudung meminta kepada Nazarudin agar PT DGI Tbk dapat mengerjakan beberapa proyek pemerintah TA 2009 dengan kesepakatan PT DGI Tbk akan memberikan sejumlah fee kepada pihak Nazarudin.

Masih di awal tahun 2009, pihak Anugerah Grup, Mindo Rosalina Manulang dan Clara Maureen juga mengadakan pertemuan dengan pihak Universitas Udayana, yaitu Made Meregawa dan I Dewa Putu Sutjana di Hotel Century, Jakarta. Pertemuan itu pada pokoknya membahas proyek pembangunan rumah sakit dan alat-alat kesehatan untuk Universitas Udayana yang sedang diurus anggarannya di DPR oleh Nazarudin.

Kresno mengungkapkan, pertemuan berlanjut di kantor Anugerah Grup. Dari hasil pertemuan disepakati pekerjaan pembangunan RSPKIP Universitas Udayana akan dikerjakan PT DGI Tbk. Karena itu, Rosa sudah memperkenalkan El Idris kepada pihak Universitas Udayana, Made Meregawa dan I Dewa Putu Sudjana saat menjemput mereka di Bandara Soekarno-Hatta.

Setelah mendapat kepastian PT DGI Tbk akan mengerjakan proyek di Universitas Udayana, El Idris menemui Rosa di kantor Anugerah Grup. Rosa menyampaikan pihak Anugerah Grup yang akan mengatur proses lelang, sehingga PT DGI Tbk harus memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai real cost kontrak proyek. Kemudian, El Idris melaporkan permintaan fee kepada Dudung selaku Dirut, dan Dudung pun menyetujuinya.

Alhasil, akibat proses pelelangan yang telah diatur sedemikian rupa, PT DGI Tbk ditetapkan Made Meregawa (Pejabat Pembuat Komitmen) sebagai pemenang proyek pembangunan RSPKIP Universitas Udayana TA 2009 senilai Rp46,745 miliar. PT DGI Tbk mengajukan penawaran paling rendah karena sebelumnya sudah mendapatkan rincian Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dari Konsultan Perencana, PT Arkitek Tim Empat.

Lebih lanjut, Kresno memaparkan, pada 30 Desember 2009 dan 24 Juni 2010, Dudung bersama Made Meregawa menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan I dan II, sehingga terealisasi pembayaran 100 persen dengan jumlah seluruhnya Rp41,22 miliar. Padahal, berdasarkan pemeriksaan ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), pekerjaan itu tidak sesuai dengan realisasi pekerjaan yang sebenarnya, yaitu hanya terealisasi sebesar 67,03 persen.

"Sehingga terdapat kekurangan kerugian keuangan negara dalam proyek ini sebesar Rp7,837 miliar. Setelah PT DGI menerima pembayaran, terdakwa menyetujui pengeluaran uang untuk pemberian fee sesuai kesepakatan sebelumnya dengan Nazarudin melalui perusahaan-perusahaan di bawah kendalinya, yakni kepada PT Anak Negeri sebesar Rp1,183 miliar, PT Anugerah Nusantara Rp2,681 miliar, dan Grup Permai Rp5,409 miliar," terangnya.

Perbuatan serupa juga dilakukan dalam pengadaan RSKPIP Universitas Udayana TA 2010 dengan nilai proyek sebesar Rp91,978 miliar. Nazarudin melalui Rosa meminta fee lebih tinggi, yaitu 22 persen, tetapi El Idris menawar, sehingga fee disepakati hanya sebesar 15 persen. Baca Juga: “Taji” KPK Tersangkakan Korporasi dan Konsekuensi Perusahaan Terbuka (Bagian II)

Setelah PT DGI Tbk menerima pembayaran proyek, Dudung menyetujui pengeluaran uang untuk pemberian fee sesuai kesepakatan dengan Nazarudin dengan cara memberikan cek BCA atas nama PT Bina Bangun Abadi senilai Rp1,016 miliar. Akibat perbuatan terdakwa bersama-sama Nazarudin dan sejumlah pihak tersebut, negara dirugikan sebesar Rp18,116 miliar.

Wisma atlet
Untuk proyek pembangunan Wisma Alet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan TA 2010-2011, Dudung didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Nazarudin dan Rizal Abdullah. Dudung selaku Dirut PT DGI Tbk tahun 2009-2010 disebut melakukan kesepakatan dan pengaturan dalam rangka memenangkan PT DGI Tbk sebagai rekanan proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan TA 2010-2011, serta melakukan subkontrak terhadap pekerjaan utama dalam pelaksanaan proyek tersebut.

Penuntut umum Luki Dwi Nugroho menuturkan perbuatan Dudung bersama-sama sejumlah pihak itu telah memperkaya PT DGI Tbk sebesar Rp42,717 miliar, Nazarudin (Permai Grup) Rp4,675 miliar, serta Rizal Abdullah Rp500 juta. Akibat penyimpangan dalam pengadaan proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan TA 2010-2011, sesuai Laporan Hasil Audit tanggal 17 April 2015 yang dilakukan ahli dari BPKP, kerugian keuangan negara mencapai Rp54,7 miliar.

Dalam perbuatan kedua ini, beberapa nama terpidana dalam kasus suap dan korupsi Wisma Atlet kembali disebut. Bermula sekitar Juli 2010. Rosa memberikan informasi kepada El Idris mengenai adanya proyek Wisma Atlet di Palembang tahun 2010-2011. El Idris melaporkan kepada Dudung, lalu El Idris bersama Dudung menemui Nazarudin di Gedung Permai Grup membicarakan agar PT DGI Tbk dapat memperoleh proyek Wisma Atlet.

Nazarudin meminta PT DGI Tbk menyiapkan fee sebagai imbalan. Setelah Dudung menyetujui, Nazarudin meminta Dudung dan El Idris untuk saling berkoordinasi dengan Rosa. Pada September 2010, Dudung bersama El Idris diajak Rosa menemui Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Wafid Muharam di kantor Kemenpora.

Pada pertemuan itu, Dudung menyampaikan keinginan PT DGI Tbk untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek Wisma Atlet Palembang dan dijawab Wafid, "Ya, silakan saja diurus di daerah". Kemudian, pada 30 Juli 2010, Gubernur Sumatera Selatan membentuk Komite Pembangunan Wisma Atlet Palembang (KPWA) sekaligus menunjuk Rizal Abdullah sebagai Ketua KPWA Provinsi Sumatera Selatan. Rizal bertugas melaksanakan proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan.

"Kongkalingkong" pun terjadi dalam proses pengadaan. Penuntut umum menyebutkan ada beberapa kali pertemuan yang dilakukan pihak PT DGI Tbk selaku calon pelaksana pekerjaan, baik dengan Ketua KPWA, Wafid, Paulus Iwo, Rosa, maupun Ketua Panitia Pengadaan M Arifin.

Dudung memerintahkan El Idris meminta Forest Jieprang (konsultan perencana) untuk membuat gambar kerja arsitektur dan mechanical-electric proyek Wisma Atlet berikut dengan rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB) atau HPS. Selanjutnya, El Idris melalui Wawan Karmawan (Staf Operasional PT DGI Tbk) diminta Dudung untuk menyampaikan kepada pihak KPWA bahwa biaya perencanaan pembuatan RAB atau HPS proyek Wisma Atlet telah ditanggung pihak PT DGI Tbk dan meminta panitia lelang menggunakan gambar kerja arsitektur berikut RAB/HPS untuk proses lelang.

Untuk memenangkan PT DGI Tbk, Rizal Abdullah menerbitkan surat yang ditujukan kepada panitia pengadaan agar mempedomani dokumen yang dibuat Forest Jieprang. Padahal, dokumen itu sudah diberikan sebelumnya oleh Forest Jieprang kepada PT DGI Tbk melalui Wawan.

Akhirnya, sambung Luki, PT DGI Tbk ditetapkan Rizal Abdullah sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp191,672 miliar. "Setelah penandatanganan kontrak, terdakwa memerintahkan El Idris memberikan uang kepada Rizal Abdullah sebesar Rp100 juta," ucapnya sembari menambahkan bahwa PT DGI Tbk juga tidak melakukan pekerjaan utama sendiri, melainkan mengalihkan tanggung jawab atau mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain.

Setelah pembayaran proyek, Dudung kembali menyetujui pemberian fee kepada Rizal Abdullah. Uang masing-masing diserahkan pada Desember 2010 sebesar Rp100 juta dan Januari 2011 sebesar Rp250 juta di kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya Provinsi Sumatera Selatan. Selain uang, ada pula pemberian fasilitas berupa tiket dan hotel ke Singapura dan Australia untuk Rizal Abdullah senilai sekitar Rp50 juta, pembayaran Golf Fee Riverside Club Bogor senilai Rp6 juta, serta akomodasi menginap di Hotel Santika, Jakarta senilai Rp3,7 juta.

"Terdakwa juga memerintahkan El Idris dan Wawan Karmawan memberikan sejumlah uang kepada anggota KPWA Provinsi Sumatera Selatan dan panitia pengadaan karena sudah membantu PT DGI sebagai pemenang lelang yang jumlahnya bervariasi. Pada Februari 2011 sampai Maret 2011, terdakwa juga menyetujui pengeluaran uang untuk pemberian fee kepada Nazarudin sebesar total Rp4,675 miliar dengan cara seolah-olah ada pembayaran pekerjaan yang dikeluarkan PT DGI kepada PT Bina Bangun Abadi dan PT Hastatunggal Persadabhakti yang dibayarkan dalam lima lembar cek. Padahal, sebenarnya, untuk diberikan kepada Nazarudin yang diserahkan oleh El Idris," beber Luki.

Lebih lanjut, Luki melanjutkan, pada 2 Maret 2011, Dudung mendapat laporan dari El Idris yang memberitahukan bahwa Wafid juga meminta sejumlah uang. Permintaan itu awalnya disetujui Dudung hanya sebesar Rp1,6 miliar, tetapi belakangan Dudung menyetujui pemberian dua persen dari nilai kontrak dalam bentuk cek tunai sebesar Rp3,2 miliar. Cek tunai diserahkan El Idris bersama Rosa kepada Wafid di kantor Kemenpora.

Atas perbuatannya dalam proyek pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan TA 2010-2011, Dudung didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara, untuk perbuatan dalam proyek RSKPIP Universitas Udayana TA 2009-2010, Dudung didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

"Curhat" terdakwa
Atas dakwaan penuntut umum, Dudung dan tim pengacaranya tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Walau begitu, Dudung meminta izin majelis hakim untuk menyampaikan tiga hal. Pertama, Dudung mengaku dirinya dan PT NKE Tbk sudah merasa bernasib sebagai tersangka sejak 18 September 2012. Ketika itu, adik Nazarudin yang bernama Hasyim "menyerbu" kantor PT DGI Tbk untuk ketiga kalinya. Hasyim datang dengan membawa ratusan preman dan menuntut pembayaran fee yang tidak pernah diketahui Dudung secara detil. Mengingat perkara El Idris sudah masuk ke ranah pidana, Dudung menolak permintaan Hasyim.

"Hasyim marah-marah dan saya diminta untuk bicara dengan Nazarudin yang ada di (Rumah Tahanan) Cipinang. Waktu itu, Nazaruddin mengancam, 'Pak Dudung, kalau Anda tidak membayar ini, maka Anda akan saya seret seperti saya menyeret Anas (Urbaningrum), juga akan saya seret perusahaan Anda, akan saya seret sampai saudara menangis-nangis'. Saya bilang silakan. Saya tidak pernah merasa punya komitmen. Artinya, saya pribadi tidak pernah bicara komitmen dengan Nazarudin," tuturnya. Baca Juga: “Kunci” KPK Buktikan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Setelah itu, sambung Dudung, Nazarudin, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mengatakan pernah melakukan pertemuan dengan Dudung, Sandiaga Salahuddin Uno (Komisaris PT DGI Tbk saat itu), Anas Urbaningrum di Hotel Rizt Carlton sekitar 2008-2009 untuk membicarakan proyek di Universitas Udayana. Namun, menurut Dudung, pertemuan tersebut tidak pernah terjadi. Dudung merasa heran, mengapa meski tidak pernah melakukan pertemuan untuk membahas proyek Universitas Udayana dan tidak mengenal panitia pengadaan, ia ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Hal kedua yang disampaikan Dudung adalah mengenai Wisma Atlet. Dudung merasa heran, mengapa ia juga ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara ini. Ia menjelaskan, dalam kasus suap Wisma Atlet, sudah ada empat orang terpidana yang divonis bersalah pada tahun 2011-2012, yaitu El Idris, Rosa, Nazarudin, dan Wafid. Semuanya terbukti bersalah, tetapi tidak ada yang satu putusan yang menyebutkan nama Dudung sebagai pihak yang terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana.

Di samping perkara suap Wisma Atlet yang "menyeret" Nazarudin dkk, ada pula perkara korupsi pengadaan Wisma Atlet yang menjerat Rizal Abdullah. Dudung menyatakan, pada 27 November 2015, Rizal Abdullah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor pada tingkat pertama, dimana nama Dudung tidak disebut sebagai pihak yang "bersama-sama". Dudung merasa aneh, mengapa meski tidak disebut bersama-sama, pada 15 Desember 2015, ia dijadikan KPK sebagai tersangka tanpa memperhatikan putusan Rizal Abdullah.

"Mungkin (KPK) menyadari ada kontradiksi (antara putusan dengan status tersangka Dudung), tanggal 5 Januari 2016, pihak KPK membanding putusan pengadilan (Rizal Abdullah) tanggal 27 November 2015, dan meminta agar saya dijadikan tersangka (pelaku) bersama-sama. Namun, hasil putusan banding di Pengadilan Tinggi tanggal 7 Maret 2016, tetap kembali pada putusan Pengadilan Negeri 27 November 2015. Artinya, saya tidak terbukti bersama-sama dengan Rizal Abdullah. Saya heran juga yang mulia," ujarnya.

Terakhir, Dudung menyampaikan keprihatinannya terhadap nasib PT NKE Tbk. Sebab, setelah PT NKE Tbk ditetapkan KPK sebagai tersangka, Dudung melihat, perusahaan yang memiliki 2.500 pegawai dan berdiri sejak tahun 1982 ini harus menanggung akibat yang sangat luar biasa. "Di bursa saham NKE di-freeze (dibekukan) sahamnya. Kemudian, di bank-bank sudah tidak diberikanloan (pinjaman) lagi. Padahal, proyek Nazarudin ini kalau dilihat dari omzetnya, cuma di bawah lima persen dari omzetnya Duta Graha. Tapi, dampaknya," imbuhnya.

Mendengar pernyataan Dudung, Ketua Majelis Hakim Sumpeno berpendapat, semua penyampaian terdakwa sudah masuk dalam materi atau pokok perkara yang masih akan dibuktikan oleh penuntut umum dalam pemeriksaan di persidangan. Dengan demikian, Sumpeno meminta agar semua pernyataan Dudung dapat disampaikan kembali saat pemeriksaan perkara.
Tags:

Berita Terkait