Meninjau Kembali PP “Sapu Jagat” Implementasi UU Penyandang Disabilitas Oleh: Fajri Nursyamsi*)
Kolom

Meninjau Kembali PP “Sapu Jagat” Implementasi UU Penyandang Disabilitas Oleh: Fajri Nursyamsi*)

Kebijakan 1 PP “sapu jagat” justru akan semakin memangkas kesempatan untuk menumbuhkan pemahaman dan keberpihakan masing-masing K/L terkait terhadap isu disabilitas.

Bacaan 2 Menit
Fajri Nursyamsi. Foto: pshk.or.id
Fajri Nursyamsi. Foto: pshk.or.id
Pemerintah berencana membentuk satu Peraturan Pemerintah (PP) “sapu jagat” untuk melaksanakan 15 ketentuan PP yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas). Keputusan Pemerintah itu mendapat penolakan dari masyarakat penyandang disabilitas yang berasal dari berbagai organisasi penyandang disabilitas maupun organisasi lain yang aktif dalam advokasi isu disabilitas.

Penolakan itu didasarkan kepada argumentasi bahwa PP “sapu jagat” merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU Penyandang Disabilitas dan prinsip dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of People with Disabilities – CRPD); lemahnya kepemimpinan dalam Pemerintah untuk mengimplementasikan UU Penyandang Disabilitas; serta bentuk penyimpangan dari komitmen implementasi UU Penyandang Disabilitas.

Perwakilan Pemerintah dalam kegiatan Konsultasi Nasional yang diselenggarakan di Jogjakarta pada 25-27 Juli 2017, Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Koordinator Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan (KemenkoPMK), menyampaikan bahwa keputusan PP “sapu jagat” didasari oleh tiga alasan utama, yaitu Pertama, kebijakan deregulasi yang sedang digariskan oleh Presiden Joko Widodo; Kedua, ketiadaan anggaran yang disediakan oleh Kemeterian/Lembaga (K/L) untuk pembentukan PP selain dari Kementerian Sosial; dan Ketiga, percepatan proses pembentukan PP sehingga target pengesahan pada 2018 dapat tercapai.

Ketiga argumentasi ini menggambarkan pemahaman dan keberpihakan yang lemah dari Pemerintah terhadap implementasi UU Penyandang Disabilitas. Pemerintah hanya fokus bagaimana menggugurkan kewajiban yang diberikan UU, yaitu memenuhi amanat pembentukan peraturan pelaksanaan paling lambat 3 tahun setelah UU disahkan, yang jatuh pada April 2018. Dalam kondisi itu, Pemerintah seakan lupa terhadap komitmen yang sudah dibangun pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas, yaitu meletakan disabilitas sebagai isu multisektor dan menempatkannya sebagai isu Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan perubahan cara pandang terhadap disabilitas menjadi isu HAM adalah komitmen Presiden Joko Widodo yang digagas sejak masa kampanye 2014.

Perubahan Cara Pandang diBalik Pembentukan PP yang Beragam
Dalam pelaksanaannya, kebijakan deregulasi peraturan perundang-undangan seharusnya melihat juga pada materi muatan dan tujuan dari pengaturannya, tidak sekadar pada jumlah peraturan yang harus dibatasi. Dalam UU Penyandang Disabilitas ada 15 ketentuan pembentukan PP sebagai peraturan pelaksanaan. Rumusan norma yang mengatur pembentukan 15 PP ini seluruhnya menggunakan frasa “diatur dengan”, kecuali satu ketentuan dalam Pasal 96 yang menggunakan frasa “diatur dalam”.

Berdasarkan kajian bahasa peraturan perundang-undangan, frasa “diatur dengan” bermakna bahwa ketentuan harus diatur dalam satu peraturan perundang-undangan tersendiri. Sedangkan untuk frasa “diatur dalam” pengaturannya dapat digabung dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pemisahan pembentukan PP menjadi lebih dari satu peraturan juga bukan tanpa tujuan. Ketentuan itu erat kaitannya dengan perubahan cara pandang terhadap isu disabilitas yang dibangun dalam UU Penyandang Disabilitas, dan hal itulah yang menjadi inti dari pembentukan UU Penyandang Disabilitas. 15 ketentuan PP yang diamantkan UU Penyandang Disabilitas mencakup 7 sektor pemerintahan yang berebeda-beda, dan masing-masing sektor berkaitan dengan tugas dan fungsi K/L yang berbeda pula.

Adapun 7 sektor atau tugas dan fungsi K/L yang terkait, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional untuk pengaturan tentang perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi; Kementerian Pendidikan untuk pengaturan pendidikan inklusif; Kementerian Sosial untuk pengaturan rehabilitas sosial; Kementerian Hukum dan HAM untuk pengaturan akses penyandang disabilitas dalam penegakan hukum; Kemeneterian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk pengaturan pelayanan publik bagi disabilitas; Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk pengaturan pemenuhan hak atas pekerjaan dan insentif bagi pemberi kerja bagi disabilitas; dan Kementerian Keuangan untuk pengaturan konsesi dan insentif  bagi pemberi konsesi.

Penyederahaan 15 ketentuan PP menjadi 1 PP “sapu jagat” menunjukan bahwa Pemerintah masih memandang disabilitas hanya sebagai isu rehabilitasi sosial semata, yang dalam implementasinya hanya ditangani oleh Kementerian Sosial. Hal itu jelas tidak selaras dengan semangat pembentukan UU Penyandang Disabilitas yang dengan tegas dalam pengaturannya sudah memasukan berbagai sektor pemerintahan. Selain itu, cara pandang Pemerintah itu bertentangan dengan janji Presiden pada masa kampanye lalu, yang kemudian dituangkan dalam Piagam Soeharso yang ditandatangan diatas materai oleh Joko Widodo sendiri.

Bukan Tidak Ada Anggaran Tetapi Tidak Ada Keberpihakan
Ketidakadaan alokasi anggaran pada K/L untuk membentuk PP implementasi UU Penyandang Disabilitas menjadi salah satu alasan yang digunakan Pemerintah untuk menggagas PP “sapu jagat”. Dalam hal ini perlu dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahwa alokasi anggaran yang dimiliki oleh K/L adalah usulan dari K/L itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa ketiadaan anggaran tidak bisa dipandang sebagai aspek administratif belaka, tetapi juga tidak adanya keberpihakan atau bahkan political will Pemerintah terhadap isu disabilitas. Padahal pembentukan PP ini adalah amanat UU Penyandang Disabilitas kepada masing-masing K/L terkait.

Perubahan cara pandang terhadap disabilitas, dari sektor tunggal menjadi multi sektor, ini yang masih menjadi masalah besar dalam birokrasi di Indonesia saat ini. Pasca satu tahun UU Penyandang Disabilitas disahkan tidak terlihat kemajuan dalam perubahan cara pandang ini. Disabilitas masih tetap menjadi isu sektor sosial yang menjadi domain Kementerian Sosial, dan apabila ada kontribusi K/L lain adalah dalam lingkup isu kemiskinan. Padahal disabilitas bukan hanya sekadar isu kemiskinan, tetapi sudah masuk dalam isu pemenuhan HAM warga negara yang implementasinya perlu dilakukan lintas K/L.

Kondisi tersebut terlihat dari berbagai Rapat Koordinasi atau forum-forum lainnya yang diselenggarakan oleh Kemensos atau KemenkoPMK terkait dengan isu disabilitas, yang hadir dalam kegiatan itu terbatas yang memiliki keterkaitan dengan isu kemiskinan. Selain itu, pihak yang hadir bukanlah pemegang kebijakan. Kondisi semakin rumit ketika di Kemensos struktur yang fokus memegang isu disabilitas berada pada level Direktorat, dibawah Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. Disinilah struktur yang selalu diandalkan oleh K/L untuk mengatasi permasalahan disabilitas yang sangat beragam dan lintas sektor.

Patut untuk direnungkan bersama bahwa menjadikan disabilitas sebagai isu lintas sektor, sehingga perlu dilakukan pengarusutamaan di semua K/L bukanlah berlebihan. Dalam hal kasus konkret, apakah sesuai dengan tugas dan fungsinya Kemensos untuk memenuhi kebutuhan akan lantai pemandu (guiding block) pada fasilitas umum trotoar.

Tentu hal itu adalah tugas dan fungsi dari Kementerian Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat, atau Pemerintah Daerah. Lalu bagaimana dengan kasus suatu maskapai penerbangan yang memakasa seorang pengguna kursi roda untuk keluar dari pesawat dengan alasan kedisabilitasannya, tentu bukanlah tugas dan fungsi Kemensos untuk melakukan tindak lanjut. Hal itu menjadi lingkup kerja dari Kementerian Perhubungan.

Pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas sudut pandang Pemerintah harus berubah, dari pendekatan belas kasih, menjadi pendekatan pemenuhan hak warga negara secara umum. Pemerintah harus melihat penyandang disabilitas sebagai warga negara pada umumnya, yang pemenuhan haknya dijamin dalam konstitusi. Tidak selalu memasukan disabilitas dalam program kemiskinan, karena yang dibutuhkan adalah terbukanya kesempatan yang sama dan akeseibilitas, terutama dalam pelayanan dan fasilitas umum.

PP “Sapu Jagat” Tidak Akan Mempercepat Pembentukan
UU Penyandang Disabilitas mengatur bahwa seluruh peraturan pelaksanaan harus dibentuk paling lambat tiga tahun setelah UU ini disahkan, yang berarti batas waktu pembentukan peraturan pelaksanaan itu adalah pada April 2018. Dengan kata lain, Pemerintah hanya memiliki waktu kurang dari satu tahun untuk membentuk 15 ketentuan PP yang diamanatkan dalam UU Penyandang Disabilitas. Hal inilah yang sebenarnya menjadi kekhawatiran Pemerintah paling besar saat ini, sehingga kemudian berdampak kepada rencana pembentukan PP “sapu jagat”.

Pembentukan PP “sapu jagat” dianggap akan mampu mempercepat proses pembentukannya, dibanding apabila harus membentuk 15 PP terpisah. Apabila dilihat hanya dengan angka, logika yang digunakan benar adanya. Namun permasalahan dibalik pembentukan PP implementasi UU Penyandang Disabilitas ini lebih kompleks dari itu. Ada satu variabel lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu belum adanya keberpihakan dan pemahaman K/L terkait terhadap isu disabilitas.

Pembentukan 1 atau 15 PP tetap akan melibatkan beragam K/L yang tugas dan fungsinya terkait dengan isu disabilitas. Seperti telah dijabarkan sebelumnya bahwa paling sedikit ada 7 K/L yang perlu dilibatkan, sehingga apabila urgensi dan keberpihakan terhadap isu disabilitas belum berhasil dibangun, maka PP yang akan dihasilkan bisa dipastikan tidak utuh. Bahkan sangat berpotensi hanya didominasi oleh K/L tertentu yang tidak paham isu dari sektor lainnya.

Kebijakan 1 PP “sapu jagat” justru akan semakin memangkas kesempatan untuk menumbuhkan pemahaman dan keberpihakan masing-masing K/L terkait terhadap isu disabilitas. Dengan disatukan dalam 1 PP, maka akan hanya ada 1 K/L sebagai inisiator pula. Pada saat itulah pengabaian dan ketidakpedulian K/L lain terhadap isu disabilitas akan semakin kuat. Berbeda apabila PP dibentuk secara terpisah, sehingga inisiator dari pembentukan PP itu akan juga tersebar di berbagai K/L yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan materi muatan PP yang akan dibentuk. Dengan metode pembentukan yang paralel, maka waktu pembentukan 1 atau lebih PP akan sama saja.

Kuncinya Ada Pada Pelibatan Kelompok Masyarakat Disabilitas
Kehadiran UU Penyandang Disabilitas adalah bentuk komitmen negara untuk ikut hadir dalam mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak orang dengan disabilitas. Dalam komitmen itu, Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas untuk memastikannya berjalan sesuai amanat UU. Peran Pemerintah dan pemerintah daerah tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada dukungan dari masyarakat, terutama dari masyarakat penyandang disabilitas yang kesehariannya bergelut dengan hambatan-hambatan dalam beraktivitas yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat dapat menjadi kunci untuk menyelesaikan kekhawatiran Pemerintah dalam pembentukan PP sebagai implementasi dari UU Penyandang Disabilitas.

Penolakan masyarakat penyandang disabilitas atas kebijakan PP “sapu jagat” ini sangat dipengaruhi oleh tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan kebijakan. Bahkan tidak ada sosialisasi, melainkan langsung dihadapkan kepada proses pembentukan PP tersebut. Proses pembentukan kebijakan ini jelas hanya menempatkan masyarakat penyandang disabilitas sebagai obyek, dan minim pelibatan. Padahal dalam proses pembentukan kebijakan sebelumnya, seperti pembentukan Rancangan Peraturan Presiden tentang Komisi Nasional Disabilitas atau Rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang Kartu Penyandang Disabilitas, masyarakat dilibatkan dan secara sukarela melibatkan diri serta berusaha maksimal berkontribusi dalam setiap kesempatan, bahkan sampai berkolaborasi dalam pembentukan draft peraturan terkait.

Pelibatan kelompok masyarakat disabilitas ini juga dapat menjadi kunci percepatan pembentukan PP. Minimnya pemahaman substansi mengenai isu disabilitas pada K/L dapat didukung oleh pengetahuan dan pengalaman kelompok penyandang disabilitas. Bahkan, di berbagai kesempatan dalam berkolaborasi dengan Pemerintah atau pemerintah daerah, pelibatan kelompok masyarakat disabilitas juga mampu mendukung pendanaan yang dibutuhkan. Dengan kolaborasi yang baik antara masyarakat penyandang disabilitas dan Pemerintah/pemerintah daerah maka diharapkan mampu menghasilkan berbagai PP yang tepat guna.

Terkait dengan pembentukan PP implementasi UU Penyandang Disabilitas, masyarakat penyandang disabilitas mengharapkan Pemerintah untuk meninjau ulang keputusannya untuk menyusun PP “sapu jagat” dan terus mengupayakan agar PP dibentuk secara terpisah, serta dibentuk oleh masing-masing K/L sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal pembentukannya, masyarakat penyandang disabilitas siap untuk berkolaborasi dengan Pemerintah, terutama untuk memberikan pemahaman atau urgensi dari masing-masing PP, sampai berkontribusi dalam penyusunan draft rancangan PP atau kajian-kajian yang mendukung.

*)Fajri Nursyamsi, SH,.MH. adalah Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dan Anggota Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: