Menguji (Lagi) Ketentuan Presidential Threshold, Mungkinkah?
Kolom

Menguji (Lagi) Ketentuan Presidential Threshold, Mungkinkah?

Perlu kejelian dalam merumuskan logika dan argumentasi hukum dalam permohonan.

Bacaan 2 Menit
Fajar Laksono Suroso. Foto: RES
Fajar Laksono Suroso. Foto: RES
RUU Pemilihan Umum mengundang polemik. Bahkan, tanpa menunggu RUU itu absah berlaku, dalam arti belum disahkan Presiden, sudah diajukan ke MK. Partai Demokrat sudah nampak mengambil ancang-ancang. Mungkin juga disusul elemen lainnya. Isunya sentral, yakni soal konstitusionalitas ketentuan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden) sebagaimana dimuat dalam Pasal 222.

Menguji UU ke MK merupakan jalur tepat untuk menyudahi polemik, termasuk terhadap ketentuan presidential threshold (PT). Persoalannya, mengenai PT, MK sudah pernah menjawab melalui sejumlah putusan. Dalam putusan terdahulu MK menegaskan, ketentuan PT merupakan open legal policy. PT merupakan “kebebasan” pembentuk UU yang mendapat delegasi UUD 1945 sesuai dengan pilihan politiknya sendiri, sepanjang UUD 1945 tidak mengatur atau membatasi. Ditegaskan MK, terhadap  norma open legal policy, MK tak dapat  menguji konstitusionalitasnya.

Jika demikian, bagaimana dengan uji materi kembali PT di MK? Akankah dengan mudah dikandaskan, atau adakah wacana yang dapat mempertebal posibilitasnya guna memperoleh hasil berbeda?

Makna Open Legal Policy
Open legal policy diperkenalkan MK melalui putusan-putusannya. Embrionya muncul kali pertama dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-III/2005 dalam pengujian UU Pemda, meskipun tidak eksplisit disebutkan. Putusan itu menjelaskan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pilkada dilaksanakan secara demokratis, tanpa menentukan apakah melalui mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung. Bagi MK, pilihan mekanisme merupakan hak pembentuk UU untuk memilihnya. Apapun yang dipilih dari kedua mekanisme itu, tetap konstitusional.

Selanjutnya, perlu dilacak makna open legal policy menurut MK. Disertasi Mardian Wibowo berjudul “Makna Kebijakan Hukum Terbuka Dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi” di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (2017) bermanfaat besar dalam hal ini. Dalam disertasi itu, makna open legal policy ditemukan dengan mengkaji putusan MK sejak 2004-2017. Dari 940 putusan, sebanyak 77 putusan memuat open legal policy. Dari jumlah itu, 30 putusan di antaranya memuat penjelasan mengenai apa yang disebut open legal policy (2017: 147).

Dari putusan-putusan diketahui adanya variasi makna. Pengertian open legal policy dalam putusan MK mencakup norma UU yang materinya (i) tidak diatur dalam UUD 1945; (ii) merupakan pengaturan tambahan (yang tidak diatur UUD 1945) sebagai konsekuensi dari dilaksanakannya perintah eksplisit UUD 1945; (iii) sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk UU; (iv) tidak terkait dengan konstitusionalitas norma;dan/atau (v) merupakan perintah UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut.

Lebih lanjut, dari putusan-putusan itu didapati, syarat norma hukum dinilai sebagai open legal policy ialah (a) tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD 1945 (seperti prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, prinsip non-diskriminasi); (b) harus memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum; (d) tidak menciderai UUD 1945; (d) menjamin hak warga negara; (e)tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan UUD 1945; (e) logis dan dapat diterima secara hukum; dan (e) memiliki kegunaan atau manfaat.

Menurut MK, open legal policy haruslah dianggap konstitusional sepanjang, (1) tidak melanggar moralitas; (2) tidak melanggar rasionalitas; (3) bukan ketidakadilan yang intolerable, (4) tidak melampaui kewenangan pembentuk UU; (5) bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan; (6) tidak bertentangan dengan UUD 1945, (7) tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD 1945; (8) tidak bertentangan dengan hak politik; (9) tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat; (10) tidak dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur); dan/atau (11) tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir). Jika hal-hal itu dipenuhi, maka norma open legal policy tidak dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Maka secara a contrario, jika hal-hal itu tidak terpenuhi, maka norma itu dapat, bahkan harus diuji MK.

PT dalam Putusan MK
Dari 30 putusan yang mengandung open legal policy, setidaknya ada 3 putusan yang terkait dengan ketentuan threshold, baik dalam pilkada, pemilu legislatif, maupun pilpres, yaitu Putusan Nomor 10/PUU-III/2005, Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009, dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.

Secara umum, dari 3 putusan tersebut dijumpai 4 hal, yaitu(1) penentuan threshold merupakan pilihan kebijakan (legal policy), (2) tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar oleh ketentuan threshold, (3) threshold bukan hal yang melampaui kewenangan pembuat UU; dan (4) menentukan threshold bukanlah penyalahgunaan kewenangan. Keempat hal itu menandakan kebijakan threshold merupakan pilihan legal policy.

Di samping itu, ada penegasan MK, rambu-rambu konstitusi mengenai pemilu sebagaimana ketentuan Pasal 22E UUD 1945 adalah: a) dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali; b) dianutnya asas LUBER; c) apa tujuan Pemilu; d) siapa peserta Pemilu; dan e) siapa penyelenggara Pemilu. Dengan demikian, ketentuan lain selebihnya di luar itu, termasuk soal PT merupakan hal yang didelegasikan oleh UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk mengaturnya dalam UU secara bebas sebagai legal policy. Termasuk mengenai besarnya angka ambang batas, pembentuk UU boleh menentukan pilihannya.

Bahkan lebih terang lagi, dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 mengenai uji materi UU 42/2008 tentang Pilpres, norma PT didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menentukan, ”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang menentukan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Menurut MK, PT sebagai bagian dari tata cara Pemilihan Presiden/Wakil Presiden adalah sah dan konstitusional.

Berdasarkan putusan MK, norma PT merupakan open legal policy. MK tidak mungkin membatalkan norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk UU. Sekalipun isi suatu UU dinilai buruk, MK tidak dapat membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali jika legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Pamungkasnya, dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK kembali menegaskan sifat open legal policy ketentuan PT. Menurut MK, ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat mengajukan pasangan capres/wapres merupakan kewenangan pembentuk UU dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945.

Membalik Arah Argumentasi MK
Jika mengacu pada putusan MK terdahulu, PT merupakan open legal policy. Maka, sudah dapat diprediksi, tanpa maksud mendahului MK, permohonan uji materi norma PT akan kandas. Di luar soal legal standing pemohonnya, permohonan akan ditolak. Alasannya sederhana, karena lagi-lagi MK telah menetapkan norma PT sebagai open legal policy. Dan karenanya pula, MK berketetapan: open legal policy tidak boleh dicampuri oleh MK. Selama memenuhi syarat konstitusionalitas, sebagaimana 11 butir di atas, MK dituntut untuk konsisten. Artinya, ketentuan PT harus dinyatakan sah dan konstitusional.

Meski tidak mustahil, namun agak berat mengharapkan MK membalik arah argumentasinya dari putusan sebelumnya. Tidak mustahil, sebab pembalikan arah argumentasi hukum putusan telah dipraktikkan MK dalam beberapa putusan. Untuk itu, perlu kejelian dalam merumuskan logika dan argumentasi hukum dalam permohonan. Kemungkinan pembalikan arah argumentasi MK bisa diharapkan seandainya pemohon mampu melakukan satu di antara dua hal, atau akan lebih baik jika kedua-duanya, yaitu:

Pertama, membuat uraian logika hukum yang meyakinkan bahwa PT dalam RUU Pemilu mengandung unsur pelanggaran kriteria open legal policy yang ditentukan MK sendiri, sehingga norma tersebut akan dinyatakan inkonstitusional. Ada 11 syarat konstitusionalitas norma open legal policy sebagaimana diuraikan di atas. Jika satu saja kriteria terlanggar, maka norma PT kehilangan syarat sebagai open legal policy. Sebagai contoh, syarat agar norma open legal policy dapat di uji konstitusionalitas oleh MK ialah jika “nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945”(2017: 229).

Maka pemohon harus mendalilkan norma PT itu “nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945”. Perlu digali kuat-kuat mengenai apa yang dimaksud “nyata-nyata” itu. Argumen bisa berpijak dari doktrin the unity of the constitution yang artinya, konstitusi harus dipahami sebagai satu kesatuan. Maksudnya, konstitusi padu bukan hanya dalam memahami isi, melainkan juga tatkala hendak dilaksanakan melalui pembentukan UU.

Lebih lanjut, UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Artinya, ada norma yang tersurat dan ada pula norma yang tersirat dari UUD 1945. Jadi, norma PT terbuka untuk diuji dengan parameter pengujian berupa norma yang tersirat dalam UUD 1945. Misalkan, PTdianggap sebagai bentuk pengingkaran kesempatan atau hak parpol mengajukan capres/wapres yang mencederai filosofi pemilu serentak serta logika sistem presidensiil, yang kesemuanya tak tersurat dalam UUD 1945.

Kedua, ‘men-dekonstruksi’ makna open legal policy yang selama ini dipegang MK, membuat makna baru, lalu mendesakkan hasil itu ke dalam logika pikir hakim MK. Mengenai dekonstruksi ini, sudah pula ditawarkan Mardian Wibowo dalam disertasinya. Tawaran menariknya dimulai dari keganjilan logika, norma open legal policy timbul karena situasi dimana UUD 1945 tidak secara tegas mengatur atau membatasi.

Bersamaan dengan itu, norma open legal policy, sesuai kriteria MK, tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Bagaimana mungkin ada norma yang tidak secara tegas diatur dalam UUD 1945, akan tetapi sekaligus harus menaati dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945? (2017: 401). Logika menggelitiknya, norma PT dikatakan MK sebagai kebebasan pembentuk UU dalam merumuskan suatu norma yang tidak secara tegas mengatur atau membatasi, namun MK juga mengatakan norma itu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Lantas, bagian mana dari UUD 1945 yang dapat menjadi dasar dilakukannya pengujian? (2017:402).

Hasil dekonstruksi makna open legal policy, in casu ketentuan PT, setidaknya dapat ‘mendekonstruksi’ kemapanan logika hakim MK terkait makna open legal policy. Harapannya, hakim MK dapat lebih berhemat menyebut suatu norma UU sebagai open legal policy yang haram baginya untuk dilakukan pengujian konstitusionalitas.

Norma open legal policy boleh jadi ada. Akan tetapi perlu keseksamaan MK dalam  mengkategorikannya. Melalui kekuatan argumentasi hukum dengan dua formulasi di atas, terlepas dari apapun hasil akhirnya kelak, MK perlu ‘dipaksa’ membongkar pagar yang mengungkung dirinya berupa ketakbolehan mencampuri dan tak bisa menguji norma open legal policyJangan sampai terjadi, ketentuan PT, dan tentu juga norma-norma lain yang dikatakan sebagai open legal policy, pada akhirnya berderajat lebih tinggi ketimbang UUD 1945, sebab  seperti dinyatakan oleh MK sendiri norma itu ‘imun’ dari uji konstitusionalitas.

*)Dr. Fajar L. Suroso adalah Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat institusi manapun.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: