APIP Sang Pengawas, Bukan Bagian Mata Rantai Korupsi!
Fokus

APIP Sang Pengawas, Bukan Bagian Mata Rantai Korupsi!

Independensi APIP di daerah dianggap tidak optimal karena kedudukan APIP di bawah kepala daerah. Ada usulan kedudukan APIP ditinjau ulang, sehingga KemenPAN-RB sodorkan tiga opsi.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korupsi. Ilustrasi: BAS
Ilustrasi korupsi. Ilustrasi: BAS
Meski Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Inspektur Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya mendapat cibiran dari sejumlah pihak, ternyata ada beberapa hal menarik yang dapat "dipetik" dari peristiwa OTT tersebut.

Salah satunya mengenai keterlibatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam dugaan penyuapan yang dilakukan Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi bersama-sama Bupati Pamekasan. Dari hasil OTT Rabu (2/8) lalu, Sutijipto dan anak buahnya, Kepala Bagian Inspektur Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin juga ditetapkan sebagai tersangka.

Terkait adanya keterlibatan APIP dalam kasus ini, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sangat menyesalkan. Ia mengatakan, Inspektorat merupakan pengawasan internal pemerintahan daerah. Namun, mengapa orang-orang yang seharusnya bertugas sebagai pengawas internal justru ikut menjadi mata rantai dalam proses penyuapan? Baca Juga: KPK: Praktik Pungli Karena Lemahnya Pengawasan

Untuk diketahui, pengawasan intern Kementerian/Lembaga ataupun pemerintah daerah dilakukan oleh APIP. APIP sendiri terdiri dari Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota.

Sesuai ketentuan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir kali diubah dengan UU No.9 Tahun 2015, kepala daerah wajib melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan itu, kepala daerah dibantu oleh Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota.

Lantas, bagaimana jika APIP bukannya membantu kepala daerah melakukan pengawasan, tetapi ikut terlibat dalam mata rantai korupsi? Terlebih lagi, tindak pidana korupsi dilakukan bersama-sama kepala daerah atau perangkat daerah lain yang seharusnya diawasi? Kasus Pamekasan di atas, salah satu contoh kasus teranyar yang ditangani KPK.

Sebelumnya, pada Mei lalu, KPK juga menangkap seorang APIP Kementerian. KPK menduga Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyuap Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Tidak hanya di KPK. Sekitar Juli 2016, Kejaksaan Negeri Mejayan pernah menetapkan seorang APIP sebagai tersangka kasus korupsi. APIP dimaksud adalah Inspektur Kabupaten Madiun Benny Adiwijaya. Beny diduga menyalahgunakan anggaran Inspektorat Kabupaten Madiun yang sebelumnya bernama Badan Pengawasan pada tahun anggaran 2012-2014.

Akibat perbuatan Benny, keuangan negara diduga dirugikan Rp2 miliar. Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Benny divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair dua bulan kurungan. Benny juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,302 miliar subsidair dua tahun penjara.

Masih di tahun yang sama, pada Mei 2016, Kejaksaan Agung melakukan penahanan terhadap Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkalis Burhanuddin dan Inspektur Kabupaten Bengkalis Mukhlis. Keduanya bersama-sama Bupati Bengkalis periode 2010-2015, Herliyan Saleh diduga melakukan korupsi dalam penyertaan modal pemerintah ke PT Bumi Laksana Jaya (BLJ).

Atas tindak pidana yang dilakukan tiga pejabat Kabupaten Bengkalis dan Komisaris PT BLJ Ribut Susanto tersebut, kerugian keuangan negara ditaksir Rp265 miliar. Alhasil, sesuai putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Herliyan divonis enam tahun penjara, sedangkan Burhanuddin, Mukhlis, dan Ribut, masing-masing divonis tiga tahun empat bulan penjara.

Terkait sejumlah kasus korupsi yang menjerat APIP, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran Prof Nandang Alamsah Deliarnoor berpendapat, kasus-kasus tersebut sebagai fenomena yang positif. Proses hukum terhadap para APIP itu membuktikan bahwa check and balances system telah berjalan.

"APIP juga harus dikontrol, KPK juga harus dikontrol. Ingat, power tend to corrupt, absolut power tend to corrupt absolutely. Persoalannya, ada di mental juga selain sistem," katanya kepada Hukumonline.

Prof Nandang mengungkapkan, menurut Peter Carey, praktik Inggris terbebas dari korupsi setelah melewati empat movement secara simultan. Pertama, mendorong kemitraan pemerintah dengan publik-swasta. Kedua, membentuk komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara. Ketiga, meningkatkan upah pegawai negeri sipil termasuk hakim, dan keempat, revolusi mental.

"Di Inggris semangat agama Protestan dan mazhab utilitarianisme yang sangat berpengaruh," imbuhnya.

Walau begitu, ironis, mungkin kata yang tepat jika melihat kasus-kasus korupsi yang menjerat para APIP. Padahal, pembentukan APIP sebagaimana amanat Pasal 58 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Amanat ini dijawantahkan dalam Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pasal 48 ayat (2) PP No.60 Tahun 2008 menyebutkan, APIP melakukan pengawasan intern melalui : a. audit; b. reviu; c. evaluasi; d. pemantauan; dan e. kegiatan pengawasan lainnya.
Pasal 49 PP No.60 Tahun 2008
(1) Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas : a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota.
(2) BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi : a. kegiatan yang bersifat lintas sektoral; b. kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan c. kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
(4) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(5) Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
(6) Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

Kemudian, Pasal 16 ayat (2) PP No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menegaskan, APIP melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan prinsip-prinsip profesional, independen, objektif, serta berorientasi pada perbaikan dan peringatan dini.

Tiga Opsi Kedudukan APIP
Sebagaimana diatur Pasal 1 PP No.60 Tahun 2008, BPKP merupakan APIP yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sedangkan Inspektorat Jenderal atau pengawas intern lembaga bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga. Begitu pula dengan Inspektorat di daerah. Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota, masing-masing bertanggung jawab langsung kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.

Mengingat struktur pertanggungjawaban APIP, sudah barang tentu kedudukan APIP berada di bawah pimpinan negara, pimpinan Kementerian/Lembaga, atau pimpinan daerah. Khusus untuk APIP di daerah, posisi dan kedudukan APIP yang berada di bawah kepala daerah dianggap berpotensi mengurangi independensi APIP.

Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendayaangunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Sekretaris Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan KemenPAN-RB Didid Noordiatmoko menyatakan, peran dan fungsi APIP di daerah, terutama dalam memberikan peringatan (early warning system) masih kurang optimal.

Salah satunya disebabkan oleh kedudukan dan peran APIP yang setara dengan kepala dinas lainnya. Bahkan, kedudukan APIP yang berada di bawah Sekretaris Daerah membuat peran APIP hanya sebagai pelengkap semata. Saat ini, APIP hanya bertanggung jawab kepada kepala daerah. Hal ini tentu membuat independensi APIP menjadi tidak optimal.

Karena itu, sambung Didid, KemenPAN-RB tengah melakukan upaya untuk memperbaiki kebijakan tentang pengawasan, terutana terkait penguatan peran APIP. "Kami akan mencoba memperbaiki kebijakan yang memungkinkan kedudukan APIP lebih baik dan optimal,” ujarnya sebagaimana dikutip dari situs KemenPAN-RB.

Lebih lanjut, Didid mengungkapkan, terdapat beberapa opsi dalam rangka memperkuat peran APIP. Pertama, APIP di daerah akan bertanggung jawab langsung kepada APIP pusat, sehinggga setiap potensi penyimpangan dapat segera terdeteksi dan segera dilaporkan ke pusat. Dengan demikian, langkah-langkah koreksi dapat secepatnya dilakukan.

Kedua, APIP menyampaikan laporan tidak hanya kepada kepala daerah, tetapi juga kepada APIP pusat. Kedua opsi ini membutuhkan persyaratan agar penempatan pimpinan APIP di masing-masing daerah, selain ditetapkan oleh kepala daerah, harus disetujui pula oleh APIP nasional dengan mengacu pada beberapa persyaratan profesional. Ketiga, opsi yang juga merupakan usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama KPK adalah APIP di Provinsi diangkat oleh Mendagri, sedangkan di kabupaten/kota oleh Gubernur.

“Dari ketiga opsi tersebut, memang kami akan menempatkan APIP untuk dapat melakukan pengawasan  kepada Kepala Daerah secara langsung. Kami sedang mengkaji berbagai opsi tersebut, mana yang paling efektif untuk meningkatkan peran APIP,” imbuh Didid.

Di lain pihak, KPK juga telah melakukan koordinasi dan supervisi dalam rangka penguatan APIP. Pada Mei 2017 lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mendatangi KPK untuk berkoordinasi terkait penguatan APIP. Tjahjo berharap agar independensi, sumber daya manusia, dan tata kelola birokrasi APIP di daerah dapat ditingkatkan.

Dikutip dari Laporan Tahunan KPK 2016, KPK telah memberikan rekomendasi atas hasil koordinasi dan supervisi yang mereka lakukan. Salah satu sektor yang dianggap harus dibenahi adalah penguatan APIP. Sebab, selama ini, peran APIP yang seharusnya independen dan bisa menjadi pengawas pemerintah daerah justru tidak berjalan.

Sebaliknya, APIP seolah-olah berada pada posisi “melindungi” jika pemerintah daerah melakukan penyelewengan. Faktanya, hingga kini, KPK belum pernah menerima laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi dari APIP. Padahal, sebagai pengawas, harusnya APIP yang terlebih dahulu mengetahui indikasi tersebut.

Pada tahap awal penguatan APIP, KPK memberikan pelatihan bagi dua orang auditor dari setiap inspektorat kabupaten/kota dan provinsi. Tujuannya, agar para peserta nantinya bisa melakukan audit berdasarkan modul yang dibuat BPK terkait penggunaan dana desa, proses pengadaan barang dan jasa, dan pengantar audit investigasi.

Rekapitulasi Implementasi Rencana Aksi Program Koordinasi & Supervisi Bidang Pencegahan & Penindakan Terintegrasi di 10 Provinsi:
No Pemprov Penguatan APIP
1 Sumatera Utara 50%
2 Riau 50%
3 Banten Selesai
4 Aceh Selesai
5 Papua 50%
6 Papua Bara 50%
7 Jawa Tengah Selesai
8 Nusa Tenggara Timur -
9 Bengkulu -
10 Sulawesi Tengah -
Sumber : Laporan Tahunan KPK 2016

Terkait penguatan APIP, Ketua Ombudsman periode 2011-2016, Danang Girindrawardana pernah mengusulkan pembentukan "Kementerian Pengawasan", menggantikan KemenPAN-RB. Kementerian ini akan mengangkat dan bertanggung jawab terhadap fungsi inspektorat di seluruh Kementerian/Lembaga dan daerah, sehingga APIP pun akan lebih independen jika berhadapan dengan kekuasaan pimpinan Kementerian/Lembaga dan daerah.

Namun, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Arief Mulya Edie berpendapat, terlepas dari kasus dugaan korupsi yang terjadi beberapa waktu lalu di Pamekasan, kedudukan APIP yang ada sekarang sudah ideal. Ia mengatakan, meski berada dalam struktur Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah, Inspektorat diberikan kewenangan untuk bersikap independen.

"Nah, kalau untuk berdiri sendiri, APIP itu banyak ya. Pengawas itu tidak hanya dari Inspektorat. Ada Polri, ada Kejaksaan, ada juga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengawasi kinerja lembaga pemerintah. Ya sebenarnya sudah ideal menurut saya karena kewenangan Inspektorat itu juga independen. Dia tidak tidak terpengaruh oleh kepala daerah," tuturnya.

Menurut Arief, dengan independensi yang diberikan kepada APIP, APIP dapat melakukan pencegahan sejak dini terhadap potensi penyimpangan penggunaan anggaran. Salah satunya dengan cara pendampingan. "Dalam artian, mengecek anggaran di mana penyimpangannya, di mana kesalahan administrasinya. Kan ada APIP yang selalu mengecek. Tugas Inspektorat itu kan membina, membetulkan yang salah," imbuhnya.

Peningkatan Kapabilitas APIP
Melihat fenomena keterlibatan APIP dalam "mata rantai" korupsi, Kepala Biro Hukum dan Humas BPKP Syaifudin Tagamal mengatakan, pimpinan Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah merupakan shareholders APIP. Jadi, untuk meningkatkan kapabilitas APIP, diperlukan dukungan dan komitmen dari seluruh shareholders, serta pimpinan APIP itu sendiri.

"Mengingat terdapat tiga variabel utama yang mempengaruhi kapabilitas APIP, yaitu aktivitas audit internal, lingkungan organisasi di mana unit audit internal bernaung, dan lingkungan sektor publik di suatu negara/pemerintahan, kalau ternyata ada oknum APIP yang melakukan perbuatan yang dilarang hukum, berarti APIP tersebut belum konsisten menerapkan lingkungan pengendalian sebagai salah satu unsur SPIP," terangnya kepada Hukumonline.

Sebagaimana diketahui, Kepala BPKP telah menerbitkan Peraturan No.6 Tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan Kapabilitas Aparat Pengawas Intern Pemerintah Tahun 2015-2019. Peningkatan kapabilitas APIP itu sesuai dengan arahan Presiden dan untuk memenuhi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Dikutip dari Lampiran Peraturan Kepala BPKP No.6 Tahun 2015, pemerintah melalui RPJMN 2015-2019 telah mentargetkan kapabilitas APIP di tahun 2019 berada pada level 3 dari skor level 1-5 sesuai kriteria penilaian internasional. Sementara, kondisi tingkat kapabilitas APIP peraturan ini dibuat sebagian besar masih berada pada level 1.

Pada level demikian, terdapat risiko APIP tidak dapat secara optimal memberikan nilai tambah dari kontribusi di bidang pengawasan intern bagi keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Begitu juga dengan hasil penilaian tingkat kapabilitas 474 APIP pada K/L/D yang dilakukan oleh BPK per 31 Desember 2014, menunjukan sebanyak 404 APIP atau 85,23 persen berada pada level 1, 69 APIP atau 14,56% berada pada level 2, dan baru satu APIP atau 0,21% yang berada pada level 3.

Demi mewujudkan kapabilitas APIP yang berkelas dunia, setidaknya kapabilitas APIP berada pada level 3 pada 2019. Hal ini selaras dengan Visi Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025 (Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010) yang menghendaki terwujudnya pemerintahan berkelas dunia, di mana perubahan pada area pengawasan bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menuju clean government.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahan di era Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 Tahun2017 tentang Kebijakan Pengawasan di Lingkungan Kemendagri dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahun 2017. Peraturan ini menggariskan empat tujuan kebijakan pengawasan di lingkungan Kemendagri dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah tahun 2017. Baca Juga: Kemendagri KPK Bahas Penguatan Inspektorat Daerah

Pasal 3 Permendagri No. 76 Tahun 2017 menyebutkan, "tujuan Kebijakan Pengawasan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2017 untuk:
a. Meningkatkan kualitas pengawasan internal di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;
b. Mensinergikan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah;dan
c. Meningkatkan penjaminanmutu atas penyelenggaraan pemerintahan; dan
d. Meningkatkan kepercayaan masyarakat atas pengawasan APIP."
Tags:

Berita Terkait