Ekstrateritorialitas Penegakan Hukum Persaingan Usaha Sebuah Keniscayaan
Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Ekstrateritorialitas Penegakan Hukum Persaingan Usaha Sebuah Keniscayaan

Penerapan prinsip ini pernah terjadi dalam beberapa kasus persaingan usaha yang ditangani KPPU, seperti kasus Temasek dan kasus VLCC.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW
Definisi Pelaku Usaha yang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi salah satu poin krusial dalam pembahasan revisi UU tersebut. Pasal 1 huruf e UU No. 5/1999, mengatur ketentuan pelaku usaha yang menjadi obyek UU No.5/1999 adalah pelaku usaha yang didirikan serta berkedudukan atau sepanjang melakukan aktifitasnya di dalam wilayah Indonesia.

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi“.

Definisi Pelaku Usaha di atas dianggap cukup menghambat penegakan hukum persaingan usaha, khususnya terhadap praktik anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berdomisili hukum di luar wilayah Indonesia, di mana praktik tersebut memiliki dampak bagi pasar dan perekonomian Indonesia.

Naskah Akademik rancangan Revisi UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diperoleh hukumonline menyebutkan, alasan untuk meninjau dan menyempurnakan UU No. 5/1999 dikarenakan banyaknya perosalan dalam implementasi UU tersebut. Persoalan yang dialami dalam implementasi UU No.5 Tahun 1999 di antaranya adalah berkaitan dengan cakupan atau definisi pelaku usaha.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU FHUI) yang juga merupakan salah satu perumus Naskah Akademik RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Dita Wiradiputra, mengatakan Indonesia telah memasuki masyarakat pasar bebas, sehingga cakupan praktik pasar dan perekonomian pasti melibatkan masyarakat regional maupun internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen pengaturan yang bisa mengakomodir kebutuhan tersebut.

Draft amandemen UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara spesifik memuat penambahan pengaturan terhadap pelaku usaha yang didirikan dan berkedudukan di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang dalam menjalankan praktik anti persaingannya memiliki dampak terhadap perekonomian Indonesia.
Pasal 1 Angka 5 RUU Persaingan Usaha:

“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan baik di dalam maupun di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang mempunyai dampak terhadap perekonomian Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha di bidang ekonomi.”

Ekstrateritorialitas penegakan hukum persaingan usaha merupakan keniscayaan dari kondisi perekonomian Indonesia yang makin terintegrasi dengan ekonomi internasional. Seperti diketahui, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai operator dari UU No.5/1999, juga terlibat dalam berbagai perundingan kerjasama perdagangan Indonesia dengan beberapa negara atau organisasi internasional seperti dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, ASEAN, OPEC dan sebagainya.

(Baca Juga: Berharap ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lebih Bertaji)

“Bila kita hanya terfokus kepada pelaku usaha dalam negeri sementara ke depan ini pasar ASEAN menjadi satu, mungkin praktik anti persaingan tidak dilakukan di Indonesia, tapi dilakukan di Singapura, di Malaysia atau negara ASEAN lainnya,” ujar Dita kepada hukumonline setelah menjadi pembicara dalam Diskusi Panel mengenai Urgensi Revisi UU No 5 Tahun 1999, di Kampus Pascasarja Universitas Indonesia, Salemba.

Untuk itu, poin krusial dari ekstrateritorialitas penegakan hukum persaingan usaha adalah perluasan yurisdiksi sehingga hukum persaingan usaha, dalam hal ini UU No. 5 Tahun 1999 dan segenap peraturan pelaksanaannya, dapat diberlakukan pula bagi pihak-pihak atau pelaku-pelaku usaha yang berada di negara lain namun tindakannya memiliki dampak anti persaingan terhadap pasar dan kondisi perekonomian di Indonesia.

Namun, meskipun UU No. 5/1999 tidak menganut prinsip ekstrateritotialitas, penerapan prinsip ini pernah terjadi dalam beberapa kasus persaingan usaha yang ditangani KPPU.

Penegakan Prinsip Ekstrateritorialitas
Setelah lahirnya UU No 5/1999, sebenarnya penerapan ekstrateritorialitas terhadap pelaku usaha yang berada di negara lain dan didirikan berdasarkan hukum negara yang bersangkutan pernah dilakukan terhadap dua kasus yaitu, dalam Perkara Very Large Crude Carrier (VLCC) lewat Putusan No. 07/KPPU-L/2004 dan Perkara Temasek lewat Putusan No. 07/KPPU-L/2007.

“Sebelumnya KPPU menangani sejumlah perkara yang melibatkan pelaku usaha asing, seperti Temasek dan kasus VLCC, beberapa perusahaan pembiayaan internasional yang posisinya berada di luar negeri,” terang Dita

Dalam Perkara VLCC, KPPU memutus bahwa Goldman Sach Pte. (Singapura), Frontline Ltd. (Kepulauan Bermuda), dan PT Equinox telah bersekongkol dengan PT Pertamina dalam penjualan tanker VLCC kepada Frontline Ltd.

Dalam Perkara VLCC ini, meskipun baik Goldman Sach Pte. dan Frontline Ltd. dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999, keduanya tetap dihukum, di mana Goldman Sach Pte. diputus terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Frontline Ltd. melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.
Pasal 19 Huruf d:

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dana tau persaingan usaha tidak sehat berupa:

d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pasal 22:

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Meskipun keduanya adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan yurisdiksi hukum negara lain (Singapura dan Bermuda) keduanya terlibat dalam tender yang dilakukan oleh PT Pertamina dimana tender tersebut dilakukan di Indonesia dan dianggap memiliki dampak yang dapat merugikan negara hingga AS$ 54 juta.

(Baca Juga: Upaya Hukum Temasek Holdings Limited Berakhir)

Selain itu, KPPU juga pernah menangani perkara Temasek. Kelompok Usaha Temasek, lewat anak perusahaannya STT dan Singtel, memiliki saham pada dua perusahaan jasa telekomunikasi selular Indonesia yang saling bersaing yaitu PT Indosat dan PT Telkomsel.

Kepemilikan STT sebesar 41,94 persen pada PT Indosat dan Singtel sebesar 35 persen pada PT Telkomsel, dianggap KPPU telah melanggar Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 tentang kepemilikan silang. Temasek Holding Pte. Ltd. juga dianggap melanggar Pasal 17 ayat (1) karena melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehingga bersifat anti persaingan.
Pasal 17 ayat 1:

(1)Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Pasal 27 huruf a:

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:

a.    satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;

Dalam pembelaannya, kelompok Temasek mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksa karena perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam kelompok Temasek bukanlah didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak beraktivitas secara langsung di Indonesia.

KPPU menepis pembelaan kelompok Temasek tersebut dengan menyatakan bahwa kelompok Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur ‘setiap orang’ atau ‘badan usaha’ dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 yang berdasarkan prinsip entitas ekonomi tunggal (single economic entity doctrine) dinyatakan dalam relasi induk-anak perusahaan, perusahaan anak tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan.

Konsekuensinya adalah pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh perusahaan lain dalam satu entitas ekonomi, dalam hal ini kelompok Temasek, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga sifat ekstrateritorialitas dari penegakan hukum persaingan usaha dapat terpenuhi.

Kesulitan Pengawasan Merger
Ekstrateritorialitas penegakan hukum persaingan usaha juga ditemukan dalam pengawasan merger di Indonesia. Hal tersebut berkenaan dengan yurisdiksi KPPU dalam memeriksa merger yang dianggap berpotensi anti persaingan.

Dalam Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPPU No. 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan bahwa nilai ambang batas aset maupun penjualan yang dihitung sehingga sebuah merger wajib dilaporkan kepada KPPU adalah nilai aset dan nilai penjualan di wilayah Indonesia (tidak termasuk ekspor), baik yang berasal dari dalam maupun penjualan yang bersumber dari luar wilayah Indonesia.

Pada prinsipnya, KPPU berwenang untuk mengendalikan merger yang mempengaruhi kondisi persaingan usaha pada pasar domestik Indonesia. Merger asing yang terjadi di luar wilayah yurisdiksi Indonesia tidak menjadi perhatian KPPU selama tidak mempengaruhi kondisi persaingan domestik. Namun, KPPU memiliki wewenang dan akan melaksanakan kewenangannya terhadap merger tersebut apabila dalam aktifitasnya mempengaruhi pasar domestik Indonesia dengan memperhatikan efektifitas pelaksanaan kewenangan yag dimiliki oleh KPPU.

Bila melihat ke dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2013, KPPU hanya berwenang untuk menwajibkan pelaku usaha merger melakukan notifikasi dan memberikan hak konsultasi. KPPU tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan kegiatan merger asing yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dalam pasar domestik. Hal ini karena tidak berlakunya prinsip ekstrateritorial dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Dalam Jurnal yang dikeluarkan oleh Fakultas Hukum UI, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Kegiatan Ekonomi, dengan judul Dampak Prinsip EKstrateritorialitas terhadap Regulasi Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, yang ditulis oleh Ahmad Alfa Oktaviano dan Dita Wiradiputra menyebutkan, adanya pengaturan merger dengan prinsip territorial seperti dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat menimbulkan kesulitan bagi KPPU untuk mengendalikan kegiatan Merger.

Kesulitan ini semakin terasa apabila perusahaan asing tersebut tidak memiliki subsidiary/system company di Indonesia, karena meskipun KPPU mendapatkan kewenangan untuk mengendalikan merger asing berdasarkan Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2013, KPPU pada dasarnya tidak memiliki kewenangan ekstrateritorial untuk membatalkan kegiatan merger yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dalam pasar domestik.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengakui perspektif akuisisi dan merger yang selama ini sudah diterapkan di Indonesia perlu diubah. Akuisisi dan merger yang dilakukan setelah proses merger terjadi dinilai kurang efektif untuk meminimalisasi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Syarkawi berpendapat perlu ada kontrol dan pengawasan serta notifikasi dalam melakukan merger. “Jika tidak, posisi dominan dapat berpotensi ke penyalahgunaan posisi dominan atau monopoli di pasar. Otoritas persaingan memiliki peran dalam hal ini,” kata Syarkawi.

Ekstrateritorialitas dalam Sejarah
Risalah Naskah Akademik Amandemen UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memaparkan penerapan prinsip ekstrateritorialitas negara-negara di dunia dalam penegakan hukum persaingan usaha. Amerika Serikat telah sejak lama menerapkan ekstrateritorialitas.

Sebuah kasus hukum persaingan usaha tertua dan sering dianggap sebagai cause celebre dari penegakan hukum persaingan usaha, Standard Oil Company of New Jersey v. United States, Pengadilan di Amerika Serikat menghukum perusahaan minyak yang berbasis di Kanada, Imperial Oil, untuk mendivestasikan sahamnya di Standard Oil karena monopoli yang dilakukan Standard Oil lewat konstruksi trust-nya dianggap membahayakan perekonomian Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan The Foreign Trade Antitrust Improvements Act pada tahun 1976 yang intinya adalah legitimasi tegas untuk hukum persaingan usaha Amerika Serikat agar dapat diterapkan pada tindakan-tindakan yang terjadi di luar Amerika Serikat namun secara langsung dan substansial mempengaruhi perdagangan di Amerika Serikat.

Selain Amerika Serikat, Uni Eropa juga memberlakukan prinsip ekstrateritori dalam hukum persaingan usahanya. Dalam sebuah perkara, lima perusahaan Jepang yang memproduksi Gas Insulated Swtichgear (GIS) terbukti telah melakukan praktik kartel bersama-sama dengan beberapa perusahaan di Eropa dengan salah satunya melakukan pembagian pasar di Eropa.

Kemungkinan penerapan hukum persaingan usaha Uni Eropa salah satunya mendapatkan legitimasi lewat Pasal 101 Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU). Dalam pasal ini dinyatakan bahwa siapa saja pelaku usaha, di mana terdapat perjanjian antara mereka, keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh asosiasi para pelaku usaha atau tindakan secara bersamaan yang dapat mempengaruhi atau mendistorsi pasar Uni Eropa dapat diperiksa oleh European Commission (EC).

Hakim-hakim di Uni Eropa yang memeriksa perkara persaingan usaha yang terdapat di dalamnya unsur ekstrateritorialitas sering menafsirkan pasal tersebut sebagai legitimasi keberlakuan hukum persaingan usaha Uni Eropa kepada pelaku usaha yang tidak termasuk negara di Uni Eropa karena pasal tersebut tidak membatasi negara domisili dari pelaku usaha yang tengah diperiksa.

Layaknya Amerika Serikat dan Uni Eropa, terdapat negara-negara lain yang juga memberlakukan ekstrateritorialitas penegakan hukum persaingan usaha-nya. Sebagai contoh, Australia, dalam Bagian IV Trade Practices Act, menyatakan bahwa tindakan-tindakan anti persaingan bagi pelaku usaha yang berdomisili di luar Australia namun dalam menjalankan aktifitas bisnisnya berhubungan dengan teritori Australia dapat dinilai dengan hukum persaingan usaha Australia.

Jepang, dalam Antimonopoly Act-nya menyatakan bahwa sebuah perjanjian yang dibuat di luar Jepang dapat dinilai berdasarkan Antimonopoly Act selama tindakan tersebut mempengaruhi pasar dalam negeri Jepang. Antimonopoly Act Jepang juga melarang pelaku-pelaku usaha di Jepang membuat perjanjian internasional dengan pihak luar negeri selama perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang mencantumkan hambatan perdagangan secara “tidak masuk akal” atau tindakan-tindakan anti persaingan lainnya.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait