Kinerja DPR Seharusnya Diukur dari Persepsi Publik
Berita

Kinerja DPR Seharusnya Diukur dari Persepsi Publik

Selain ukuran kuantitas UU yang dihasilkan DPR, juga harus diukur dengan fungsi anggaran dan pengawasan yang diukur dari penilaian publik secara keseluruhan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio (tengah) bersama Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam diskusi di Gedung DPR, Selasa (8/8). Foto: RFQ
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio (tengah) bersama Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam diskusi di Gedung DPR, Selasa (8/8). Foto: RFQ
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasuki masa reses. Ratusan anggota dewan pun ‘libur’. Sebagian, kembali ke daerah pemilihan masing-masing dalam rangka melakukan aktivitas bersama para konstituennya menyerap aspirasi. Di sela-sela reses lazimnya selama dua pekan ini, kinerja DPR kembali menjadi sorotan publik khususnya di bidang legislasi (target penyusunan UU) yang ditetapkan dalam Prolegnas tahunan yang dinilai tidak sesuai target.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan penilaian kinerja DPR semestinya tidak melulu didasarkan terhadap penyelesaian bidang legislasi yang dilakukan DPR. Sebab, selain fungsi legislasi, DPR memiliki fungsi pengawasan dan anggaran. Baginya, beban penyelesaian dan pembahasan sebuah RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas tak hanya menjadi tanggung jawab DPR, tetapi juga Pemerintah. Meski konstitusi memberi kuasa pembuat UU tetap berada di tangan DPR.

Penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) memang harus disepakati antara DPR bersama Pemerintah. Prolegnas 2017 misalnya, terdapat 50 RUU yang menjadi target untuk dapat diselesaikan pembahasannya dan disahkan menjadi UU. Sayangnya, hingga Agustus 2017, DPR dan pemerintah baru menyelesaikan pembahasan sekitar 5 RUU menjadi UU. Yakni UU tentang Jasa Konstruksi, UU tentang Perbukuan, UU tentang Kebudayaan, UU tentang Arsitek dan UU tentang Pemilu.

“Jadi, saya rasa penting untuk menekankan hal ini karena memang legislasi ini sering menjadi dasar (ukuran) paling penting masyarakat untuk melihat Kinerja DPR,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (9/8). Baca Juga: Performa Buruk, DPR Tak Hasilkan UU Selama Masa Sidang Ketiga

Berbeda dengan kebanyakan negara maju, mereka sudah banyak memiliki perangkat peraturan perundang-undangan. Sedangkan di Indonesia, kata Fahri, masih terdapat banyak produk legislasi yang diperlukan untuk mengatur banyak hal. Akibatnya, masyarakat menganggap legislasi menjadi ukuran kinerja DPR. Bahkan, kinerja legislasi diukur dari jumlah kuantitas.

“Misalnya ada yang menganggap DPR tahun ini baru menyelesaikan beberapa UU, (dituduh) malas kerja dan seterusnya. Padahal faktanya, pertama-tama undang-undang itu, kalau saya menghitung baik dalam budgeting maupun legislasi, kuasa eksekutif masih besar,” ujarnya.

Mantan anggota Komisi III DPR periode 2009-2014 itu mengklaim usulan RUU jauh lebih banyak yang berasal dari pemerintah ketimbang DPR. Pemerintah umumnya ketika menyodorkan draf RUU jauh lebih matang dan mapan. Sebab, sumber daya manusia dan tim ahli yang dimiliki pemerintah berasal dari semua kementerian/lembaga. Sedangkan DPR, tak sebanyak SDM atau ahli yang dimiliki pemerintah.

Terlebih, ada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang dibangun sebagai “mesin” pembuat UU. Faktanya, BPHN memiliki jaringan kuat dari berbagai kampus. Bahkan tak jarang, dirjen-dirjen tersebut berasal dari kalangan universitas. Dengan begitu, kinerja eksekutif jauh lebih efektif ketimbang legislative dalam merancang UU.

Menurutnya, apabila patokan target jumlah UU yang dihasilkan, eksekutif jauh lebih mandiri ketimbang DPR. Sebab, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

“Sementara DPR tidak bisa. Jadi itulah fakta sebenarnya, kenapa Prolegnas itu kalau menurut saya, kalau kita terlalu terpaku pada ukuran jumlah kita jadi misleading,” ujarnya.

Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan penilaian publik dengan mendasarkan atas kinerja legislasi dengan kuantitas yang dihasilkan DPR adalah nyata. Sebab, anggota dewan kerap menjadikan kuantitas penyelesaian RUU menjadi UU sebagai ukuran keberhasilan. Menjadi tidak salah ketika masyarakat menjadikan kinerja legislasi sebagai ukuran keberhasilan DPR.

“Jadi memang yang paling mudah itu kan ukuran kuantitas. Kalau kemudian Pak Fahri bilang jangan mau main kuantitas, tetapi kualitas, agak susah kualitas diukurnya,” kata dia dalam kesempatan yang sama. Baca Juga: DPR Terkorup dalam Survei Persepsi Masyarakat 2017

Hendri berpendapat kinerja DPR sebaiknya diukur berdasarkan kepercayaan publik. Misalnya ketika pasca dilantik sebagai anggota dewan, perlu diukur tingkat kepercayaan publik terhadap anggota DPR. Setelah itu setiap tahun mesti adanya evaluasi. Bila kepercayaan publik naik misalnya, maka adanya apresiasi masyarakat terhadap kinerja DPR.

“Sehingga hitungannya tidak kuantitatif saja. Kan tidak hanya satu fungsi saja, tetapi ada fungsi lain yang sebetulnya harus diukur. Artinya anggota DPR juga tidak tersandera harus menyelesaikan jumlah UU dalam satu periode, tetapi ada ukuran lain yang harus diperhatikan DPR, misalnya aspirasi publik, dan itu bisa juga dijadikan ukuran kinerja. Jadi, tidak selalu hitung-hitungannya adalah kuantitas,” katanya.
Tags:

Berita Terkait