Memperkuat ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lewat Aturan Penyalahgunaan Posisi Tawar Dominan
Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Memperkuat ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lewat Aturan Penyalahgunaan Posisi Tawar Dominan

Dalam draft revisi Rancangan UU Persaingan Usaha, KPPU akan diberikan kewenangan untuk mendapatkan dokumen, termasuk terkait dokumen kontrak yang ditengarai menyebabkan adanya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Akademisi Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kurnia Toha. Foto: RES
Akademisi Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kurnia Toha. Foto: RES
Dalam dunia bisnis, posisi dominan yang dikuasai oleh satu perusahaan rentan disalahgunakan oleh pelaku usaha untuk mencari keuntungan dari kerjasama kedua belah pihak, terutama jika kerja sama tersebut dilakukan dengan pelaku usaha kecil. Praktik-praktik kontrak yang kerap merugikan satu belah pihak, bukan hal baru lagi di dunia usaha. Bahkan, tak hanya terjadi antar pelaku usaha saja. Konsumen pun, sudah dilindungi hak berkontraknya dalam tentang Perlindungan Konsumen.   Berbicara tentang persaingan usaha yang sehat, kontrak yang tidak berimbang akan berimbas kepada persaingan usaha yang tidak sehat. Patutnya, sebuah kontrak mengedepankan asas keadilan. Jika merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1320, terdapat empat syarat sah-nya suatu perjanjian/kontrak. Jika ada paksaan maka perjanjian dinyatakan tidak sah (Pasal 1321-1325).

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: 2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: 3.    Suatu hal tertentu: 4.    Suatu sebab yang halal.
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.

Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi dengan dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Paksaan yang dilakukan oleh orang yang membuat perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya sebuah perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.
Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin, dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.
Paksaan membuat batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang melakukan perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.
Meski telah diatur dalam KUHPer, syarat sah sebuah perjanjian kerap tak terpenuhi, misal adanya unsur paksaan dalam sebuah perjanjian. Terutama, bagi pihak yang memiliki pangsa pasar yang lebih besar ketimbang pihak yang memiliki pangsa pasar kecil. Hal-hal tersebut harus dihindari guna menciptakan persaingan yang sehat dalam dunia bisnis, dan ekonomi Indonesia secara skala nasional.     Lalu pertanyaannya, seberapa pentingkah keterlibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi kontrak yang dilakukan pelaku usaha? Akademisi Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kurnia Toha, punya pandangan tersendiri.   Menurut Kurnia, posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha bisa saja digunakan untuk memaksakan kehendak, terutama kepada pihak yang lebih lemah. Apalagi, banyak pihak yang berkontrak, salah satunya tidak memahami hukum kontrak atau perjanjian sehingga terjadi sebuah keterpaksaan dalam berkontrak.   Agar tak terjadi dari posisi tawar, Kurnia menilai aturan penyalahgunaan posisi tawar yang dominan harus dimasukkan ke dalam RUU Persaingan Usaha, di mana KPPU memiliki kewenangan untuk mengawasi isi kontrak yang dilakukan oleh pelaku usaha. Kewenangan ini memang sudah diatur dalam tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), namun tetap diperlukan dalam RUU Persaingan Usaha.   “Nah makanya supaya jangan terjadi dari posisi tawar yang besar itu, KPPU di sini bisa bertindak sebagai pengawas maupun , tadi saya juga mengusulkan supaya KPPU kedepan bisa menjadi tempat orang bertanya terkait kontrak atau perjanjian. Jadi kalau ada konsep kontrak bisa bertanya (ke KPPU), oh ini boleh atau ,” kata Kurnia kepada , Selasa (1/8).   Jika kontrak telah terjadi dan KPPU menemukan adanya pelanggaran di mana pihak dominan melakukan penekanan terhadap pihak yang lemah, lanjut Kurnia, maka KPPU diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi karena bertentangan dengan hukum persaingan usaha.   “Kalau di Jepang dan Korea, pihak-pihak yang memang memiliki posisi tawar yang besar itu tidak boleh menyalahgunakan kewenangan dia kepada pihak yang lemah. Secara hukum dia ‘kan kontrak, oh dikatakan dia sudah setuju koq, tapi ini ‘kan terpaksa, dan jadinya tidak ” tambahnya.   Komisioner KPPU, Sukarmi, menjelaskan bahwa pengawasan terhadap kontrak yang dilakukan oleh pelaku usaha memang sudah diatur dalam UU UMKM. Namun, penegasan di dalam RUU Persaingan Usaha diperlukan untuk memperkuat posisi KPPU dalam mengawasi kontrak-kontrak yang cenderung melanggar hukum persaingan usaha.   Dijelaskan Sukarmi bahwa tujuan dari aturan penyalahgunaan posisi tawar dominan tersebut adalah untuk memberikan pembinaan sekaligus perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dalam kemitraan.     Seringkali, lanjutnya, prinsip-prinsip kerjasama atau kemitraan dilanggar oleh pelaku usaha besar dan merugikan pelaku usaha kecil. Di sinilah posisi KPPU, yaitu untuk memastikan bahwa prinsip kerja sama menguntungkan kedua belah pihak, memberikan rasa percaya kepada kedua belah pihak, dan memberikan penguatan di antara kedua belah pihak yang bermitra.   “Jangan ada terjadi yang satu untung yang satu buntung, nah makanya penting klausul penyalahgunaan posisi tawar yang dominan dimasukkan ke RUU (Persaingan Usaha) ini,” tegasnya.   Selain bersifat pencegahan, Sukarmi menjelaskan bahwa aturan penyalahagunaan posisi tawar dominan ini juga berhubungan dengan penegakan hukum. Jika di dalam proses pelaksanan perjanjian itu terdapat penyimpangan dari prinsip-prinsip kontrak, makapenegakan hukum akan dilakukan dengan cara diberikan sanksi.   Di dalam salinan draft RUU Persaingan Usaha yang dimiliki , aturan penyalahgunaan posisi tawar dominan diatur dalam Pasal 33, dan pengenaan sanksi diatur dalam Pasal 34.

(1) Pelaku Usaha dilarang menggunakan posisi tawar yang dominan untuk disalahgunakan dalam Perjanjian kemitraan dengan Pelaku Usaha lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyalahgunaan posisi tawar yang dominan pada Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(1) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan Pasal 33 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pembatalan Perjanjian; b. penghentian penyalahgunaan Posisi Dominan; c. penghentian penyalahgunaan posisi tawar yang dominan; d. pengenaan denda paling rendah 5% (lima persen) atau paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai penjualan dari Pelaku Usaha pelanggar dalam kurun waktu pelanggaran; e. rekomendasi pencabutan izin usaha kepada lembaga yang menerbitkan izin usaha; f. publikasi para pihak dalam daftar hitam Pelaku Usaha; dan/atau g. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Jika pada akhirnya RUU Persaingan disahkan, bagaimanakah idealnya sebuah pengawasan yang dilakukan oleh KPPU terhadap isi kontrak atau perjanjian kemitraan?  Sukarmi mengatakan bahwa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh KPPU terhadap kontrak atau perjanjian dan kemitraan yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, adalanya laporan penyalahgunaan posisi tawar dominan dalam sebuah kontrak, dan kedua berasal dari inisiatif dari KPPU.   Mengingat pengawasan kontrak dan perjanjian kemitraan menjadi bagian dari penegakan hukum, lanjutnya, maka isi perjanjian/kontrak merupakan salah satu bukti untuk melakukan investigasi. Maka dalam hal ini, KPPU memiliki kewenangan untuk melihat isi kontrak, apakah susah sesuai dengan prinsip kerjasama atau justru terdapat pelanggaran di dalamnya.     “Iya punya (kewenangan melihat isi kontrak), justru dari sana kita bisa lihat apakah hak kewajiban itu seimbang atau tidak antara kedua belah pihak dengan prinsip kerjasama itu,” tuturnya.   Sementara itu Kurnia berpendapat bahwa memberikan dokumen salinan kontrak kepada KPPU sebagai bentuk pengawasan, tidak dapat diwajibkan kepada pelaku usaha karena dinilai dapat melanggar hak pihak yang berkontrak. Jika dimungkinkan, lanjutnya, KPPU bisa mengadopsi bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Thailand dan Singapura. Dua negara tetangga ini mewajibkan adanya laporan isi kontrak hanya untuk kontrak yang bersifat internasional.   “Kalau di Indonesia, mungkin kewajiban melaporkan kontrak hanya kepada industri-industri tertentu, misalnya inustri pangan dan papan bisa saja diwajibkan,” tuturnya.   Namun demikian, meskipun tak ada kewajiban namun pihak yang berkontrak harus secara suka rela membuka isi kontrak jika KPPU membutuhkan. Kewenangan meminta berkas perjanjian atau kontrak memang belum diatur dalam UU Persaingan Usaha, sehingga saat ini KPPU tidak bisa memaksa pihak untuk menyerahkan dokumen dan bukti-bukti. Kewenangan tersebut perlu dimasukkan dalam RUU Persaingan Usaha.   “Saya tadi mengusulkan KPPU bisa minta kepada pengadilan bahwa KPPU boleh untuk mendapatkan dokumen itu, jadi kalau diminta secara sukarela mau itu bisa minta kepada pengadilan, tapi kalau sudah di pengadilan bisa juga, maka itu bisa diberi sanksi. Itu belum ada ketentuan di Indonesia. Praktik di berbagai negara sudah seperti itu,” pungkasnya.   Berikut Pasal-Pasal yang mengatur mengenai Tugas, Fungsi, dan Wewenang KPPU dalam RUU Persaingan Usaha.

(1) KPPU mempunyai tugas mengawasi dan menegakkan hukum larangan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
(2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, KPPU mempunyai fungsi:
a. pencegahan dan pengawasan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; b. penegakan hukum larangan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; c. penilaian atas rencana penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; dan d. pemberian saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pengawasan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, KPPU berwenang:
a. melakukan pengkajian dan pemantauan terhadap Pelaku Usaha atau kelompok Pelaku Usaha yang menguasai Pangsa Pasar dalam jumlah tertentu yang berpotensi mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; b. meminta dan mendapatkan data dan informasi mengenai struktur industri dan kinerja industri dari instansi pemerintah dan/atau Pelaku Usaha; c. menetapkan sistem pelaporan terhadap kinerja industri dan/atau Pelaku Usaha yang dimonitor; d. melakukan penelitian tentang kegiatan usaha dan/atau tindakan Pelaku\ Usaha yang berpotensi mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; e. menyelenggarakan sosialisasi dan diseminasi berkaitan dengan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat; f. melakukan kerjasama dengan lembaga negara dan instansi terkait baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pencegahan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; dan g. menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang ini.
(1) Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b, KPPU berwenang:
a. menerima laporan dari masyarakat atau Pelaku Usaha tentang dugaan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; b. melakukan investigasi dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilaporkan oleh masyarakat, Pelaku Usaha, atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil dari penelitian; c. menyimpulkan hasil investigasi atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat; d. memanggil Pelaku Usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; e. memanggil dan menghadirkan saksi, ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan Pelaku Usaha, saksi, ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf d dan huruf e yang tidak memenuhi panggilan; g. meminta keterangan dari instansi pemerintah berkaitan dengan investigasi atau pemeriksaan terhadap Pelaku Usaha yang diduga melanggar ketentuan Undang-Undang ini;
i. memberikan perintah penghentian sementara Perjanjian dan/atau kegiatan dan/atau penyalahgunaan Posisi Dominan yang berdampak pada Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat;
j. menjatuhkan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; dan
k. menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini.

(2) Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disampaikan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tertulis dengan mencantumkan uraian dugaan pelanggaran atas Undang-Undang ini.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia langsung menindaklanjuti permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

UU No.8 Tahun 1999


Pasal 1320


Pasal 1321Pasal 1322Pasal 1323Pasal 1324Pasal 1325

(Baca Juga: Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence)





abuse UU No.20 Tahun 2008

abusesuperviseenggakhukumonline



fair,





(Baca Juga: Berharap ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lebih Bertaji)







hukumonline
Pasal 33Pasal 34





Pengawasan KPPU




(Baca Juga: Ekstrateritorialitas Penegakan Hukum Persaingan Usaha Sebuah Keniscayaan)









enggakenggak

Pasal 36Pasal 37


Pasal 38





Pasal 39






h. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna investigasi atau pemeriksaan;
Tags:

Berita Terkait