Berbatasan dengan 10 Negara, Indonesia Perlu Perkuat Basis Hukum Visi Poros Maritim
Berita

Berbatasan dengan 10 Negara, Indonesia Perlu Perkuat Basis Hukum Visi Poros Maritim

Harmonisasi peraturan perundang-undangan masih sangat diperlukan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi laut batas dengan darat dan nelayan Indonesia. Laut di salah satu wiayah di Belitung. Foto: MYS
Ilustrasi laut batas dengan darat dan nelayan Indonesia. Laut di salah satu wiayah di Belitung. Foto: MYS
Poros Maritim Dunia yang diwacanakan Presiden Joko Widodo telah dituangkan secara khusus dalam Peraturan Presiden (Perpres)  No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Rencana Aksi Kebijakan Kelautan pun sudah dilampirkan dalam Perpres tersebut. Namun hingga kini implementasi sejumlah rencana aksi masih terkendala. Karena itu Pemerintah diminta berhati-hati menjalankan rencana berdasarkan skala prioritas.

Deputi Bidang Kedaulatan Kemaritiman Kemenko Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno mengakui masih banyak aspek yang harus dikerjakan Pemerintah untuk mewujudkan visi maritim. “Yang paling utama sih pemerataan masalah logistil. Indonesia Timur seharusnya tidak membayar terlalu tinggi. (Ada juga masalah) penyediaan kapal, pembangunan infrastruktur pelabuhan,” katanya saat diwawancarai hukumonline Selasa (08/8) lalu usai acara Maritime Talk di Aula Apung Universitas Indonesia, Depok.

Menurut Havas,  tantangan pengelolaan kelautan Indonesia yang harus dihadapi antara lain mengetahui secara utuh peta sumber daya laut untuk diksploitasi secara bertanggung jawab. Indonesia juga perlu memahami ancaman kedaulatan di wilayah perairan seperti dijadikan lalu lintas narkotika. Selain itu, tantangannya bagaimana mempertahankan keamanan, dan memproyeksikan kepentingan strategis nasional untuk ditempuh dalam berbagai jalur diplomasi internasional.

(Baca juga: Pengamat Hukum Internasional: Pemerintah Perlu Perhatikan Potensi Konflik Perbatasan).

Sebenarnya ada 78 strategi program implementasi kebijakan kelautan yang dibagi dalam 5 kluster program prioritas. Priotitas pertama mengenai batas maritim, tata ruang laut, dan diplomasi maritime. Kedua, industri maritim dan konektivitas laut. Ketiga, industri sumber daya alam dan jasa kelautan serta pengelolaan lingkungan laut. Keempa, pertahanan dan keamanan laut. Kelima, budaya bahari.

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Melda Kamil Ariadno menilai ada persoalan serius untuk ditegaskan terkait batas wilayah yurisdiksi laut Indonesia. Misalnya, meskipun sudah begitu banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan kelautan Indonesia saat ini, implementasi regulasi tersebut masih lemah. “Kalau bicara undang-undang kelautan wah luar biasa semua diatur, tetapi implementasinya yang belum,” ujarnya kepada hukumonline.

Menurutnya, wilayah yurisdiksi perlu segera diamankan. Sebab, banyak masalah muncul lantaran Indonesia tak mengamankan wilayah yurisdiksinya dengan baik, Masalah wilayah yurisdiksi yang perlu penanganan segera adalah penegasan batas wilayah laut. Batas laut ini penting agar bisa dijalankan penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan.

(Baca juga: Prof. Melda Kamil Ariadno: Menuju Kejayaan Indonesia Menjadi Negara Poros Maritim Dunia).

Berkaitan dengan landas kontinen, Indonesia sebenarnya telah berhasil mendorong revisi konvensi hukum laut internasional tahun 1982, yang dikenal sebagai UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea). Berdasarkan UNCLOS 1982, landas kontinen sebagai bagian dari wilayah laut Indonesia telah bertambah luas. Sayangnya hukum nasional yang mengatur landas kontinen Indonesia yaitu UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen masih mengacu UNCLOS 1958. Sebagai negara hukum, menurut Melda sudah seharusnya Pemerintah merevisi UU Landas Kontinen mengingat undang-undang tersebut sudah tidak relevan karena menggunakan acuan UNCLOS 1958.

Meskipun Indonesia sudah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 dan tunduk pada rezim UNCLOS 1982, perlu diingat bahwa undang-undang tersebut hanya memuat tentang landas kontinen secara umum. Artinya hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara terperinci mengatur tentang Landas Kontinen Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur landas kontinen di wilayahnya.

Kejelasan landas kontinen sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi (jurisdictional clarity and certainty) dalam hak eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya maritim hayati atau non-hayati. Begitu pula mengenai tindak lanjut atas pengakuan zona tambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dalam UNCLOS 1982. “Padahal mulai zona tambahan kita sudah bisa enforce the law, zona tambahan kan baru kita klaim melalui UU Kelautan,” lanjutnya.

Sejak UNCLOS 1982, Indonesia telah mendapatkan pengakuan tegas sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) yang memperluas wilayah laut Indonesia, termasuk zona tambahan dan ZEE. Sayangnya, kata Prof. Melda, Indonesia belum melakukan harmonisasi ketentuan mengenai zona tambahan dan ZEE baik dalam berbagai undang-undang maupun perjanjian bilateral dengan negara-negara tetangga untuk menegaskan ulang batas wilayah lautnya.

Melda mencontohkan bahwa dalam kaitannya dengan usaha nelayan-nelayan lokal yang de facto melaut di wilayah ZEE, namun secara de jure wilayah itu belum diratifikasi perjanjian bilateral perbatasan lautnya dengan Australia. “Ini merugikan nelayan kan, karena kalau dia menangkap teripang, dia akan ditangkap oleh Australia, karena di bawahnya itu adalah landas kontinen milik Australia sementara di atasnya ZEE belum clear dimana batasnya?,” pungkas Melda.

Wilayah Indonesia rawan karena berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Posisi tersebut membuat Indonesia rawan bersengketa dengan negara tetangga. Dalam batas wilayah laut yang mana tidak terdapat tanda batas secara fisik sebagaimana batas darat ini tentu harus mendapatkan perhatian serius jika visi Poros Maritim Dunia benar-benar ingin terwujud.
Tags:

Berita Terkait