Regulasi Labil Ganggu Iklim Investasi di Sektor EBT
Berita

Regulasi Labil Ganggu Iklim Investasi di Sektor EBT

Hanya dalam waktu empat bulan, dua Permen ESDM yang baru terbit langsung direvisi.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: DAN
Foto: DAN
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyampaikan sejumlah capaian kinerja untuk Semester-I tahun 2017 yang meliputi sub sektor minyak dan gas bumi (migas), sub sektor mineral dan batubara (minerba), sub sektor ketenagalistrikan dan sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Pertanyaannya, apakah capaian Kementerian ESDM Semester-1 tersebut telah sesuai dengan target ideal dari program Kementerian ESDM maupun pencapaian rencana pembangunan Pemerintah?

“Yang menjadi perhatian disini, khusus mengenai pengembangan EBT adalah iklim investasi. Salah satu efek dari membuat peraturan dalam tempo cepat dan prosesnya yang tertutup adalah iklim investasi Indonesia untuk energi terbarukan itu semakin menurun,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, Rabu, (15/8), di Jakarta.

Fabby menyebutkan pada Oktober 2016, peringkat Indonesia dalam indeks Energi Baru Terbarukan (EBT) berada pada peringkat 38 dari 40 Negara. Kemudian di bulan Mei 2017, Indonesia tidak lagi terdapat dalam indeks 40 Negara tersebut.

“Kemudian kita lihat beberapa indeks yang lain menunjukkan persepsi investor terhadap investasi EBT di Indoensia tidak terlalu baik. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan dan ada sense bahwa Pemerintah tidak berpihak terhadap pengembangan EBT walaupun ada target yang cukup ambisius,” ujarnya. (Baca Juga: Insentif untuk Energi Terbarukan Dinilai Mendesak)

Fabby mencontohkan keberadaan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.10 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.12 Tahun 2017, yang kemudian direvisi dengan Permen ESDM No.48 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.50 Tahun 2017. Menurut Fabby. nasib Permen ESDM No.10 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.12 Tahun 2017 tersebut hanya 4 bulan sampai kemudian direvisi.

”Kalau kita lihat, pangkal dari pada revisi ini adalah laporan dari banyak pihak kepada Presiden. Baru kemudian examp point nya disampaikan oleh presiden dalam rapat kabinet. Pasca ditegurnya itu, dalam waktu 2 minggu, revisinya keluar,” katanya.

Juga yang penting untuk dilihat adalah jumlah pasokan EBT. Target Renstra Kementrian ESDM, di tahun 2019 adalah 17. “Yang perlu dilihat disini, dikontribusikan oleh PLTH dan PLTMH itu yang diharapkan bertambah. Dan pembangkit listrik tenaga panas bumi mencapai 3,2 GW. Kalau kita lihat sekarang, 1,6 GW. Kalau kita bandingkan denga RUPTL PLN, sampai dengan 2017 itu hanya nambah kira-kira 800-an MW. Jadi kalau kita tambah angka sekarang 1,6 tambah 800, pasti dibawah target 3,2 GW itu,” ujar Fabby.

Perhatian berikutnya, dalam Renstra Kementerian ESDM, ada indikator Rasio Elektrifikasi. Bila melihat rasio elektrifikasi, target yang mesti dicapai Kementrian ESDM di tahun 2019 adalah 96,6%. Sejauh ini sebagaimana yang dilaporkan Kementerian ESDM, sudah mencapai 92,8%. (Baca Juga: Pemerintah Diminta Tegas Jalankan PP Kebijakan Energi Nasional)

“Nah dibandingkan dengan renstra, targetnya 2019 adalah 96,6%. Jadi kita lihat dalam jangka waktu 2 tahun, sudah mencapai 92,8% dan untuk mencapai tahun 2019 masih dibutuhkan 4 %,” terang Fabby.

Bila melihat kecepatan pencapaian rasio elektrifikasi seperti saat ini, Fabby menilai ditahun 2019, rasio elektrifikasi akan mencapai target sebagaimana yang dicanakan dalam renstra Kementerian ESDM.

“Saya lihat rasio elektrifikasi memang agak cepat dan saya lihat sejak tahun ini ada percepatan untuk program listrik 2500 desa yang sama sekali belum berlistrik itu. Ada upaya-upaya akselerasi yang juga dikatakan dalam RUPTL PLN dan sudah dieksekusi sejak pertengahan tahun ini,” ujarnya.

Fabby juga menerangkan mengenai program Kementerian ESDM yang akan menerangi 2.500 desa dengan listrik. Ia menilai Kementerian ESDM banyak melakukan akselerasi untuk merealisasikan program tersebut.

Selain itu, Fabby menyinggung rancana Kementerian ESDM yang akan merealisasikan 80.000 pembangkit listrik tenaga surya yang akan dibagikan ke 260.000 rumah. Di tahun 2017 sendiri, Pemerintah akan membagikan kepada 80.000 rumah. “Dalam rencana ESDM program ini disebut pra elektrifikasi. Artinya ini dilakukan ke desa-desa yang pada tiga tahun mendatang belum mendapatkan listrik,” terang Fabby. (Baca Juga: Pemerintah Lanjutkan Upaya Luruskan Berbagai Kebijakan Energi)

Target yang lain dari Kementerian ESDM di sektor listrik adalah kapasitas pembangkit. Target di 2019 sebesar 86,6 GW. Saat ini yang telah tercapai sebesar 59 GW. Oleh karena itu, untuk mencapai target, masih harus ditambah sebanyak 27 GW. Fabby memprediksi, untuk mengejar target kapasitas pembangkit di tahun 2019 tidak akan tercapai.

“Ini saya kira agak berat untuk di tambah 27 GW di 2019 karena dari program 35.000 MW saja bisa diperkirakan yang akan masuk 2019/2020 itu 18-19.000 MW. Jadi dari sisi target dalam hal kapasitas pembangkit listrik itu tidak akan tercapai,” ujar Fabby.

Perundingan dengan Freeport
Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmi Radhy, di saat yang sama memberikan catatan kinerja Kementerian ESDM dari sudut perundingan dengan Freeport.

“Kalau indikator yang digunakan untuk menilai kinerja Kementrian ESDM adalah hasil perundingan sementara dengan Freeport, tidak diragukan lagi kinerja Kementrian ESDM cenderung jeblog. Bargaining positioning tim perundingan Kementrian ESDM merosot, sedangkan posisi Freeport semakin menguat,” ujarnya.

Fahmy menilai kemerosotan bargaining position itu lebih banyak disebabkan oleh beberapa keputusan blunder kementerian ESDM di tengah perundingan yang sedang berlangsung. Salah satunya adalah keputusan memberikan izin sementaran bagi Freeport untuk ekspor konsentrat yang nyata-nyata melemahkan posisi Indonesia.

Demikian juga dengan isyarat perpanjangan kontrak Freeport selama 10 tahun yang bisa diperpanjang 2 kali 10 tahun semakin melemahkan bargaining position Indonesia yang menempatkan posisi Freeport di atas angin.

Dengan demikian, Freeport diperkirakan akan tetap menolak keras semua tuntutan Indonesia. Fahmy menilai, kendati izin ekspor konsentrat masih sementara, Freeport merasa sangat percaya diri bahwa Perintah Indoenesia akan selalu mengijinkan Freeport untuk ekspor konsentrat tanpa harus bersusah payah membangun smelter.

Diperkirakan Freepot tidak akan pernah melepas kepemilikan saham mayoritas dengan divestasi 51% karena hanya mau divestasi maksimal 30%. Freeport juga akan tetap memaksakan penggunaan rezim pajak nail down ketimbang menerima prevailing.

Fahmy menilai agar hasil perundingan lebih menguntungka negara, izin ekspor konsentrat sementara harus dihentikan. Kemudian saat berakhir di September 2017, jangan pernah mengizinkan kembali. Kenapa demikian? Menurut Fahmy, izin sementara ekspor konsentrat selain melanggar UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, juga melemahkan posisi Indonesia dalam perundingan dengan Freeport.

Oleh karena itu, Fahmy mendesak dalam perundingan itu, Pemerintah harus tetap mempertahankan semua tuntutan: Perubahan KK menjadi IUPK, beserta seluruh persyaratan menyangkut smelterisasi, divestasi saham 51%, dan tax rezim prevailing.

“Kali ini Pemerintah harus berani memutuskan izin ekspor konsentrat hingga tuntutan Indonesia dipenuhi oleh Freeport. Pemerintah juga harus berani mengatakan kepada Freeport take it or leave it,” pungkas Fahmy.

Tags:

Berita Terkait