Pemerintah ‘Kebut’ Penyusunan Permen Kominfo tentang Safe Harbor Policy
Utama

Pemerintah ‘Kebut’ Penyusunan Permen Kominfo tentang Safe Harbor Policy

Nantinya, Permen Kominfo akan menyempurnakan aturan yang sudah sebelumnya yakni Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk User Generated Content.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menyusun aturan mengenai batasan dan tanggungjawab penyedia platform dan pedagang (merchant) perdagangan melalui sistem elektronik atau yang lebih dikenal dengan sebutan Safe Harbor Policy. Dalam waktu yang tidak lama lagi, Peraturan Menteri Kominfo (Permen Kominfo) tersebut diharapkan terbit.

Direktur e-Business pada Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo, Azhar Hasyim, mengatakan bahwa Permen Kominfo tentang Safe Harbor Policy menjadi salah satu regulasi yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Sejauh ini Kominfo masih intens membahas di internal serta meminta masukan dengan beberapa pihak termasuk asosiasi pelaku usaha berbasis elektronik (e-Commerce) sehingga draf aturan tersebut masih dapat berubah.

“Kita segerakan, satu-dua bulan paling lama. Ini target yang harus kita selesaikan,” kata Azhar kepada hukumonline di Jakarta, Rabu (23/8).

Azhar menambahkan, penyusunan Permen Kominfo tentang Safe Harbor Policy merupakan penyempurnaan dari aturan yang sebelumnya yakni Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk User Generated Content. Sehingga substansinya tidak jauh berbeda lantaran draf Permen Kominfo tersebut akan mengadopsi substansi Surat Edaran Menteri Kominfo tersebut. 

(Baca Juga: Kemenkeu Masih Kaji Level Playing Field Platform e-Commerce)

Sekedar mengingatkan, Surat Edaran Menteri Nomor 5 Tahun 2016 secara prinsip dibuat untuk memberikan perlindungan hukum bagi penyedia platform, merchant, dan konsumen dengan memastikan batasan dan tanggung jawab masing-masing dalam melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik. Selain itu, surat edaran tersebut disusun dengan tujuan agar penyelenggaraan sistem elektronik dapat dilakukan secara aman, andal, dan bertanggung jawab sehingga menumbuhkan ekosistem perdagangan melalui sistem elektronik.

“Yang utama adalah bagaimana perlindungan terhadap pelaku dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, misalnya memasukan konten (negatif). Orang yang berbuat kesalahan, dia yang dikenakan dampak hukum tetapi platform juga ada tanggungjawab. Di situ lebih spesifik tanggungjawabnya akan seperti apa,” kata Azhar menjelaskan.

Patut dicatat, penyedia platform e-Commerce merupakan subjek hukum dari ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yakni sebagai Penyelenggara Sistem Elektroni sehingga bertanggungjawab atas penyelenggaraan sistem elektroniknya. Pada kondisi ini, penyedia platform e-Commerce rentan terhadap penyalahgunaan oleh pemilik akun dari aktivitas atau kegiatan yang dilarang yang dilakukan oleh merchant ataupun pengguna sehingga penyedia platform dipersepsikan terlibat atas perbuatan yang melanggar hukum tersebut. 

(Baca Juga: ‘Aturan Turunan’ Road Map e-Commerce Jangan Sampai Hambat Pelaku Usaha

Sebagai contoh, beberapa waktu silam, seorang pengguna akun memasang iklan penjualan bayi pada salah satu platform e-Commerce. Tanpa ada Safe Harbor Policy, maka penyedia platform dapat dicekal atau diblokir pemerintah lantaran memuat konten yang dilarang atau dilanggar. Padahal, bisa saja pengguna akun punya tujuan untuk ‘mematikan’ platform e-commerce tertentu dengan cara mengupload foto atau konten yang masuk dalam daftar konten negatif.

Dikatakan Azhar, kedepan akan diterapan aturan yang mewajibkan pelaku e-Commerce melakukan registrasi. Yang dimaksud pelaku di sini terdiri dari pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektornik (PTPMSE) dan penyelenggara sarana perantara. Kata Azhar, latar belakang kewajiban registrasi tersebut dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat misalnya apabila tindak penipuan yang dilakukan oleh merchant atau tindakan pelanggaran hukum lainnya.

“Pelaku e-Commerce harus diregistrasi dan masyarakat bisa lihat bahwa sudah terdaftar. Bila ada penipuan dan lain-lain, kalau terjadi, kan bisa ditelusuri. Pelaku e-Commerce juga dilindungi, jangan sampai yang lakukan pelanggaran tapi yang kena adalah penyedia platform,” kata Azhar.

Di tempat yang sama, Ketua Bidang SDM, Pendidikan dan Perlindungan Konsumen Asosisasi e-Commerce Indonesia (idEA), Even Alex Chandra mengatakan bahwa pihaknya juga turut dimintai masukannya oleh pemerintah terkait penyusunan Permen Kominfo tentang Safe Harbor Policy. Pada prinsipnya, idEA menilai substansi yang sebelumnya diatur dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 sudah cukup baik memberikan batasan tanggung jawab antara masing-masing pihak dalam perdagangan elektronik.

(Baca Juga: Mengintip Isi RPP E-Commerce)

“Biar clear tanggungjawabnya. Sebelumnya ada SE (Surat Edara) ini, kan susah bedain kalau misalnya ada iklan penipuan atau ilegal, siapa yang harus tanggungjawab. Tapi begitu ada SE dan nanti akan dibikin dengan Permen, nanti akan clear. Tanggung jawab platform apa, merchant apa, penggunanya apa,” kata Even.

Sekedar informasi, Presiden Joko Widodo baru saja merilis Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019. Dari aturan tersebut, sejumlah Kementerian/Lembaga diminta segera menyusun aturan teknis untuk pelaksanaan binsis online tersebut. Ketua Umum idEA, AuIia E. Marinto mengatakan bahwa pihaknya sangat menyambut baik dan mengapresiasi terbitnya Road Map e-Commerce atau selanjutnya disebut SPNBE 2017-2019.

Menurutnya, peta jalan itu merupakan panduan dasar bagi ekosistem ekonomi digital yang mana terdapat total 31 inisiatif yang merupakan cikal terwujudnya iklim industri yang lebih baik terutama percepatan pengembangan e-Commerce, pelaku start-up, dan percepatan Iogistik di tanah air. SPNBE 2017-2019, kata Aulia, masih bersifat umum sehingga masih perlu diterjemahkan skala prioritasnya. Ada dua hal penting yang jadi perhatian, pertama regulasi jangan sampai tumpang tindih sehingga proses harmoniasi harus dilaksanakan agar seluruhnya berjalan paralel. Kedua, jangan sampai aturan tersebut gagal disusun oleh kementerian/lembaga terkait karena akan berdampak kepada industri ekonomi digital.

“Pemerintah terus mengawal pelaksanaan Perpres Peta Jalan e-Commerce agar upaya yang dilakukan setiap pemangku kepentingan ekonomi digital sejalan dan dapat mempercepat pengembangan potensi ekonomi,” kata Aulia di Jakarta, Rabu (16/8).

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum idEA, Sari Kacaribu mengatakan, pemerintah jangan hanya terfokus pada upaya menyelesaikan sejumlah regulasi turunan namun harus memastikan regulasi itu nantinya tidak menghambat pelaku usaha yang sedang berjuang untuk tumbuh terutama pelaku start-up. Menurutnya, perkembangan suatu industri tidak selalu diikuti dengan regulasi baru bahkan ia lebih mendorong dilakukan deregulasi.

Saya yakin Presiden bukan bermaksud buat regulasi. Industri yang masih muda ini akan cepat maju kalau tidak banyak regulasi,” kata Sari.

Sari melanjutkan, beberapa mandat aturan yang tertuang dalam Lampiran Perpres Nomor 74 Tahun 2017 pernah dibahas pemerintah dan ada pula yang sudah terbit aturannya. Satu aturan yang sudah terbit yakni terkait pengaturan National Payment Gateway (NPG) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Sementara, aturan lain yang sudah dibahas pemerintah sejak beberapa tahun belakangan ini salah satunya terkiat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau lebih dikenal dengan RPP e-Commerce.

Ambil contoh dari RPP e-Commerce misalnya, aturan tersebut hingga saat ini masih belum disahkan lantaran masih ada sejumlah hal yang menjadi perdebatan antara pemerintah dengan pelaku usaha. Kata Sari, idEA sendiri masih keberatan soal kewajiban pendaftaran pelaku e-Commerce. Dalam draf RPPe-Commerce, dikenal tiga jenis pelaku usaha yakni pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektornik (PTPMSE) dan penyelenggara sarana perantara. Masing-masing diwajibkan mendaftarkan diri kepada pemerintah.

“Kalau mau ada pendaftaran, kita ingin tahu tujuannya apa. Kalau misalnya, industri sudah atur yang tujuannya sama, kita merasa ngga perlu diatur lagi. Contoh, pendaftaran merchant misalnya untuk perlindungan konsumen,” kata Sari. 
Tags:

Berita Terkait