Problematika Konstitusionalitas ‘Pengujian’ Perppu (Ormas)
Mengurai Problematika Perppu:

Problematika Konstitusionalitas ‘Pengujian’ Perppu (Ormas)

Mencoba mengurai persoalan hukum dan kontitusionalitas serta seluk beluk penerbitan Perppu. Apakah putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menjadi rujukan utama dalam menerbitkan Perppu?

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai polemik. Terutama saat Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Akal persoalannya, sejumlah kalangan, terutama DPR sebagai lembaga yang berwenang memberi persetujuan Perppu menjadi Undang-Undang (UU), mempertanyakan syarat “kegentingan yang memaksa” yang sudah digariskan Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945. Beleid itu menyebutkan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Baca Juga:DPR Pertanyakan ‘Ihwal Kegentingan Memaksa’ Terbitnya Perppu No. 1/2017

Misalnya saja, saat Perppu No. 1 Tahun 2017 terbit pada pertengahan Mei lalu, sebagian anggota Komisi XI DPR sempat mempertanyakan syarat “kegentingan yang memaksa” keluarnya Perppu ini. Sebab, terbitnya Perppu ini seolah hanya didasarkan karena terikat dengan perjanjian internasional tentang pertukaran informasi keuangan otomatis antar negara dalam rangka memerangi penggelapan pajak.  

Bahkan, Perppu yang memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) mengakses informasi keuangan di lembaga jasa keuangan, seperti perbankan, perasuransian, dan entitas jasa keuangan lain ini dinilai “menabrak” prinsip kerahasiaan bank. Meski akhirnya, Perppu Akses Informasi Perpajakan ini disetujui DPR menjadi UU dalam rapat paripurna pada akhir Juli lalu.

Demikian pula, saat terbitnya Perppu Ormas pada 10 Juli 2017, yang kemudian dilanjutkan dengan pembubaran Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui penetapan pencabutan status badan hukum oleh Kemenkumham. Sebagian pihak mendukung terbitnya Perppu ini sebagai bentuk upaya pemerintah mencegah ormas yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila. Tapi, sebagian besar kalangan justru mengkritik keras terbitnya Perppu ini. Alhasil, berbagai elemen masyarakat menguji formil dan materi Perppu ini di MK (judicial review). Baca Juga: Ormas dan Komunitas Advokat Ini Juga Persoalkan Perppu Ormas

Alasan utama terbitnya Perppu Ormas ini secara formil atau prosedural dinilai tak memenuhi frasa “kegentingan yang memaksa” dan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang memuat 3 syarat. Pertama, ada kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Baca Juga: MK Nyatakan Perppu Bisa Di-Judicial Review

Jika menengok ke belakang, sebenarnya penerbitan sebuah Perppu juga dikeluarkan pada masa presiden-presiden sebelumnya dengan alasan dan sebab yang beragam serta bersifat subjektif. Saat diwawancarai Hukumonline beberapa waktu lalu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Daniel Yusmic P. Foekh menyebut istilah Perppu efektif digunakan sejak tahun 1971. Meski istilah Perppu sebenarnya sudah dipakai sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi, totalnya sekitar 214 Perppu yang diterbitkan. 

Rinciannya: era Pemerintahan Presiden Soekarno telah menerbitkan 143 Perppu (1945-1967); Penjabat Presiden Juanda 24 Perppu; Penjabat Presiden Mr Assat 6 Perppu; Pemerintahan Soeharto menerbitkan 8 Perppu (1967-1998); Pemerintahan BJ Habibie menerbitkan 3 Perppu (1998-1999); Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerbitkan 3 Perppu (1999-2002); Pemerintahan Megawati Soekanoputri menerbitkan 4 Perppu (2002-2004); Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan 19 Perppu (2004-2014); Pemerintahan Jokowi menerbitkan 4 Perppu (2014-2019).

Menurut Yusmic, istilah Perppu sebenarnya sudah muncul sejak perumusan UUD 1945 oleh tim kecil yang diketuai Soepomo bersama Ahmad Soebadjo dan AA Maramis (BPUPKI) meski namanya tidak sama persis. Lalu, saat Soepomo dipercaya merumuskan Konstitusi RIS 1949, dia tidak menggunakan nomenklatur/istilah Perppu, tetapi “Undang-Undang Darurat”.

Selanjutnya, istilah UU Darurat ini pun digunakan saat berlakunya UUDS 1950. Dasarnya, kelaziman yang dipakai negara-negara dunia sampai sekarang. Alhasil, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang salah satu isinya “kembali ke UUD 1945”. Artinya, acuan bernegara dalam konteks ini kembali memakai istilah Perppu yang juga diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 (asli).

Peraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia (2005) yang desertasinya fokus pada kajian penerbitan Perppu di Indonesia ini menilai pemaknaan “kegentingan yang memaksa” atau “keadaan darurat negara” baru mulai tertata setelah Pemilu 1971 dengan terbentuknya MPR dan DPR yang legitimate. Sebelumnya, sejak tahun 1945 hingga 1971 tidak ada lembaga negara resmi berdasarkan UUD 1945 yang dipilih langsung oleh rakyat. Presiden pun dipilih secara aklamasi. Kalaupun ada, MPRS, DPRGR, DPAS hanya bersifat sementara.

Belakangan penerbitan Perppu yang dikeluarkan saat era Pemerintahan Presiden Jokowi itu memunculkan perdebatan hukum dan problem konstitusional terutama pasca terbitnya Perppu Ormas. Karenanya, secara umum, muncul sejumlah pertanyaan mendasar terkait seluk beluk penerbitan sebuah Perppu baik sisi normatif, istilah, filosofis, historis, maupun praktik ketatanegaraan termasuk pengujian (judicial review) Perppu di MK.

Pertama, bagaimana cerita munculnya Perppu dalam sejarah praktik ketatanegaraan Indonesia dihubungkan dengan istilah produk UU Darurat pada masa era Presiden Soekarno terutama saat berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan UUDS Tahun 1950. Kedua, bagaimana praktik penerbitan Perppu sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi baik sebelum maupun setelah amandemen UUD 1945 dihubungkan dengan tafsir kontitusional frasa “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Ketiga, ukuran/paramater yang digunakan DPR sejak masa Pemerintahan Soeharto hingga Jokowi saat "menguji" Perppu yang diajukan presiden yang umumnya disetujui menjadi UU. Keempat, saat masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014) dan Jokowi (2014-2019) apa tiga syarat dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 kerap dijadikan ukuran/syarat obyektif untuk menerbitkan Perppu. Baca Juga: Akhirnya, Perppu Akses Informasi Perpajakan Disetujui Jadi UU

Kelima, sebenarnya berwenangkah MK mengadili dan memutus pengujian Perppu. Sebab, sejatinya sesuai Pasal 24C UUD Tahun 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 disebutkan salah satu kewenangan MK menguji UU, bukan Perppu. Namun, faktanya, sejak 2009 hingga saat ini, ada sekitar 27 permohonan - dengan beberapa objek pengujian Perppu yang sama termasuk pengujian Perppu Ormas - dengan 12 putusan pengujian Perppu.   

Keenam, mengacu beberapa putusan MK itu, secara praktik, sebenarnya apa yang menjadi dasar pengujian Perppu di MK? Ketujuh, sebenarnya bolehkah materi muatan Perppu memuat sanksi pidana. Sebab, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada klausul yang menyebut sanksi pidana dimuat dalam UU dan Peraturan Daerah (Perda), bukan Perppu.     

Kini, ada dua Perppu yang tengah menjadi objek pengujian. Pertama, permohonan pengujian Perppu No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya yang tinggal menunggu putusan. Kedua, ada sekitar 7 permohonan pengujian Perppu Ormas yang diajukan beberapa elemen masyarakat. Saat bersamaan, Perppu Ormas ini juga dibahas Komisi II DPR melalui Panitia Kerja (Panja). Selanjutnya, proses pengambilan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu Ormas ini akan diambil dalam Rapat Paripurna DPR.    
Tags:

Berita Terkait