Cerita tentang Seorang Begawan Hukum Perdata
Jejak dan Pemikiran J. Satrio:

Cerita tentang Seorang Begawan Hukum Perdata

Warna perjalanan karier Satrio beragam, mulai wajib militer, pegawai perusahaan asuransi, notaris/PPAT hingga akademisi. Baginya, ilmu merupakan oasis untuk kehidupan.

Oleh:
Fathan Qorib/MYS
Bacaan 2 Menit
Juswito Satrio. Foto: FEB
Juswito Satrio. Foto: FEB
Perjalanan hampir lima jam menggunakan kereta api dari Jakarta menuju Purwokerto akhirnya terbalas dengan kepuasan hati bertemu “Sang Begawan” hukum perdata, J. Satrio. Saat menerima kedatangan tim Hukumonline yang terdiri dari Fathan Qorib, Muhammad Yasin dan Febrianto Setiawan di kediamannya, Senin 14 Agustus 2017, kesederhanaan dan rendah hati dari pria kelahiran Purwokerto 23 Juni 1936 itu sangat terasa.

Rumah yang terletak di jantung Ibukota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah tersebut, jauh dari kesan dari mewah. Sederhana, asri, tenang dan jauh dari hiruk pikuk keramaian menyelimuti suasana rumah yang berada di dalam kompleks perumahan strategis di Purwokerto itu. Selain kota wisata, Purwokerto yang dihuni 292.782 jiwa penduduk tersebar di 4 kecamatan dan 27 kelurahan itu juga kerap disebut sebagai kota pensiunan.

Di depan rumah, terdapat jalan setapak yang membelah taman kecil menuju pintu utama. Saat memasuki pintu, aroma damai makin terasa. “Berkatilah Rumah Ini Tuhan” begitu tulisan yang terbungkus pigura terlihat saat memasuki ruang tamu. Sambil mengajak Hukumonline masuk ke dalam rumah dan mempersilakan duduk, Satrio pamit untuk mengganti pakaian. Hangat di dalam kediaman seorang “Begawan” perdata membuat suasana obrolan semakin cair.

Di rumah itu, pria bernama lengkap Juswito Satrio itu hanya tinggal berdua dengan sang istri, Herwanti, yang berusia 76 tahun. Sama seperti sang suami, kesederhanaan juga terlihat dari sosok Herwanti. Dia sendiri yang menyiapkan gethuk dan kue bolu lapis kepada Hukumonline. Di atas meja juga telah tersedia air putih kemasan gelas yang tertata rapi dalam rak.

Monggo silakan dicoba mas,” keramahan Herwanti kepada Hukumonline sambil menunjuk beberapa camilan yang telah dibawanya.

Tak lama, Satrio datang dengan pakaian yang telah diganti dengan batik, bercelana panjang warna coklat dan memakai sandal. Ia meluruskan sapaan dari Hukumonline maupun orang lain kepadanya yang memanggil dengan sebutan profesor. “Saya belum profesor, tapi di semua ketemu dengan dosen, saya selalu dipanggil profesor,” kelakarnya memecah suasana.

Satrio juga sudah tak aktif lagi mengajar sebagai dosen sejak tahun 2005 silam. Ia hanya memberikan diskusi dan konsultasi kepada beberapa law firm di Jakarta dan satu bank yakni Bank Central Asia (BCA). Diskusi dan konsultasi ini yang membuat dirinya tetap merasa bahwa pemikirannya terhadap ilmu hukum keperdataan terus berkembang.

“Saya pokoknya kalau ada orang yang datang cerita hukum, saya senang. Saya merasa punya teman diskusi, itu buat saya suatu kebutuhan,” katanya.

Meski sudah berusia lanjut, passion Satrio untuk terus memperkaya pengetahuannya terus membara. Hal itu ditandai dengan kerinduan dirinya dengan diskusi “hidup” bersama para kolega. Bahkan, ia kerap memancing rekan-rekan diskusinya dengan mengirimkan makalah sepekan dua kali.

Awalnya, para rekan diskusinya itu semangat memberikan pandangannya masing-masing atas makalah yang disampaikan Satrio. Namun setelah Satrio menjawab, belakangan tanggapan dan pandangan diskusi mulai berkurang. Entah karena puas dengan jawaban atau argumentasi Satrio atau tak memiliki pandangan lain.

“Saya mengharapkan ada umpan balik. Cuma, belakangan ini responnya kurang. Jadi, mereka mau nyerap tapi gak berani mengumpan. Jadi mereka senang, tapi di dalam makalah selalu saya tanyakan Anda setuju gak? Tadinya mau, sesudah saya jawab lagi, saya betulkan, lama-lama gak (jawab),” tutur Satrio yang kemudian disambut gelak tawanya.

Salah satu yang membuat ia tertarik ilmu hukum perdata lantaran kurangnya dosen perdata di Indonesia. Satrio mengira, orang-orang sungkan masuk ke perdata lantaran ilmunya yang luas. Hal ini ditandai dengan buku pegangan di keperdataan saat dirinya menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tahun 1955 silam sangatlah beragam, misalnya seri Asser.

(Baca Juga: Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian IV) Oleh: J. Satrio*)

Ia masih ingat sejumlah nama besar di bidang hukum yang satu angkatan dengannya di FH UI. Mulai dari Charles Himawan (mantan Dekan FHUI), Prof. Dahnial Khumarga, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Adnan Buyung Nasution hingga Satjipto Raharjo (Guru Besar FH Undip dan pemikir hukum progresif). “Itu angkatan-angkatan saya dulu tahun 1955,” kenangnya.

Satrio bersyukur dirinya masuk dalam bagian angkatan 1955 di FHUI. Alasannya lantaran saat itu dosen yang mengajar bukan hanya para guru besar dari dalam negeri saja, sejumlah nama hebat di bidang hukum dari negeri Belanda masih menjadi dosen. Ingatannya terhadap para dosennya pun masih terkenang.

Para Guru Besar asal Belanda yang masih diingatnya antara lain, Prof. Bierling, Prof. G.J. Resink dan Prof. Drost. Sedangkan beberapa Guru Besar dari Indonesia yang sempat mengajar dirinya adalah, Prof. Djokosoetono, Prof. Soediman Kartohadiprdojo, Prof. Hazairin, Prof. Supomo, Prof. Rosidi, Prof. Soekardono, Prof. Subekti dan Prof. Satochid Kartanegara.

Wajib Militer
Nama besar J. Satrio di dunia hukum perdata sudah tak bisa dipungkiri lagi. Puluhan buku telah ia terbitkan, bahkan menjadi pegangan bagi mahasiswa yang mengambil jurusan hukum perdata. Namun siapa sangka sebelum menjadi seorang akademisi, Satrio berpengalaman di berbagai profesi. Ada yang erat kaitannya dengan keilmuannya, tapi ada pula yang jauh dari dunia hukum.

Dalam pigura yang terletak di kamar depan rumah, terdapat foto seorang laki-laki muda usia 20-an tahun mengenakan pakaian militer lengkap dengan pangkatnya. Kamar ini merupakan perpustakaan pribadi Satrio berikut tempat bekerja merangkai kata-kata menjadi buku. Foto pemuda berpakaian militer tersebut adalah J. Satrio. Ia mengaku, ikut wajib militer (Wamil) pada tahun 1960-an.

“Itu foto saya waktu ikut Wamil,” tutur Satrio sambil menunjuk foto mudanya berpakaian militer di sudut ruangan.

Satrio mengaku, usai lulus dari FH UI, dirinya pernah ikut wajib militer. Pada tahun tersebut, wajib militer kerap diberlakukan. Saat ikut wajib militer, Satrio mendapat tugas di Manado selama tiga tahun. Wajib militer tersebut berkaitan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Papua Barat yang menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua antara milik Belanda atau Indonesia. Referendum ini akhirnya diadakan pada tahun 1969.

Tepatnya pada tahun 1962, Satrio lulus dari Sekolah Infanteri, Resimen Induk, Komando Daerah Militer VIII, Brawijaya, Malang. Kemudian pada tahun yang sama, ia menjadi Staff Inspektorat Bidang Hukum di Komando Daerah Militer XIII, Manado. Kurang lebih tiga tahun ia bertugas di sana.

Hukumonline.com
Salah satu foto J Satrio saat muda mengenakan seragam militer. Foto: FEB

Usai bertugas dari Wamil, Satrio muda mulai mencari pengalaman dan peruntungannya di dunia kerja yang lain. Tawaran demi tawaran mulai berdatangan. Satrio ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan asuransi swasta. Kesempatan itu pun diambilnya dengan penuh semangat. Sayangnya, tak lama ia bergelut di bidang ini.

“Saya ada kesempatan untuk pelajari tentang asuransi, setelah itu saya keluar. Saya zaman dulu itu yang namanya sarjana berharga, jadi saya masih muda sudah diangkat staf employee kelas satu,” tutur Satrio.

(Baca Juga: Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III) Oleh: J. Satrio*)

Alasan kenapa Satrio tetap berada di Purwokerto hingga saat ini menjadi salah satu pertanyaan yang muncul di Hukumonline. Padahal banyak orang yang dari sisi keilmuwan sekelas J. Satrio sudah hijrah ke Jakarta. Tapi tidak bagi kakek sembilan cucu ini. Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah banyak yang melempar ke dirinya.

“Jawaban saya, kalau saya tinggal di Jakarta, mungkin umurnya ndak sepanjang ini,” katanya sambil tertawa. “Itu lawyer-lawyer suka tanya. Di sini kan (suasana) relatif tenang,” tambah ayah tiga anak ini.

Purwokerto sudah menjadi bagian dari hidupnya. Satrio lahir dan besar di Ibukota Kabupaten Banyumas itu. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Satrio di Purwokerto. Hanya Sekolah Menengah Atas (SMA) saja ia kemudian hijrah ke Semarang, tepatnya di SMA Kolese Loyola. Namun hanya sampai kelas dua SMA. Usai kelas dua SMA Satrio mengikuti ujian untuk langsung masuk ke FHUI.

Notaris dan Akademisi
Lahir dan berkarier di Purwokerto, itulah J. Satrio. Walaupun secara keilmuwan sudah banyak yang menunggunya di Jakarta, namun, kecintaan Satrio terhadap Ibukota Kabupaten Banyumas itu sangat terlihat. Bagi Satrio, Purwokerto adalah segala-galanya. Mulai dari keluarga, berkarya hingga berkarier.

Tahun 1980, Satrio mulai menapaki kariernya sebagai dosen. Awalnya, ia menjadi dosen fakultas hukum di salah satu kampus swasta di Purwokerto, yakni Universitas Wijaya Kusuma (1980). Setahun kemudian, ia juga berkesempatan menjadi dosen FH di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto (1981-1998).

Tahun demi tahun terus ia tapaki menjadi dosen. Mulai dari mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Hukum Perdata I, Hukum Perdata II, Hukum Jaminan, Hukum Perikatan hingga Spesialis Notariat juga pernah diajarkannya. Kecintaan dirinya mengajar terus bertumbuh. Hingga pada 1984, Satrio lulus dari pendidikan notariat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ini menjadi babak baru bagi Satrio. Selain menjadi dosen, ia mulai terjun dalam profesi notaris di Purwokerto (1985-2001). Salah satu hasilnya sebagai notaris adalah membuat Akta No. 5 untuk Yayasan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) pada 28 Februari 1987 silam.

Profesi lainnya yang diemban adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Purwokerto. Mulai tahun 1987 sampai 2001 profesi ini dilakoninya. Hanya saja jika dipaksa memilih, ia lebih senang menjadi dosen. Bagi Satrio, rutinitas di profesi notaris yang membuatnya tak sebetah menjadi dosen.

Satrio menilai, banyak waktu longgar saat dirinya berprofesi notaris, karena setiap ada pekerjaan bikin akta, sudah ada template form-nya. Waktu luang itu pun tak disia-siakan Satrio. Ia kerap membaca buku mengisi waktu luang tersebut. Hal ini menjadi cikal bakal dirinya melahirkan buku.

“Kalau saya baca selalu pakai catatan, lalu uraikan lagi, lama-lama jadi buku,” ujar pria yang telah menulis 23 buku ini.

Dunia dosen bagi dirinya merupakan hal yang sangat dicintai. Tak hanya di Purwokerto, ia mulai merambah daerah lain untuk menjadi dosen. Misalnya pada 1997 hingga 2001, ia menjadi dosen Pendidikan Spesialis Notariat di UGM, Yogyakarta. Tahun 2001-2005, juga menjadi dosen program Magister Kenotariatan di UGM. Pada saat yang sama ia juga membantu memberi kuliah di Pendidikan Notariat di Universitas Hasanuddin, Makassar. Terakhir, pada 2002-2007, ia menjadi dosen pasca sarjana Magister Hukum Business, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

(Baca Juga: Kedudukan Kreditor dalam Hukum Jaminan Lemah)

Selain itu, Satrio kerap bolak balik Jakarta-Purwokerto walau hanya diminta sebagai lawan berdiskusi para lawyer atau tempat konsultasi. Bahkan, menjadi ahli dalam perkara perdata juga pernah dilakoni Satrio. Tak tanggung-tanggung, ia pernah menjadi ahli dari ujung Timur Indonesia, Sorong hingga di Singapura. Namun, sejak kesehatannya menurun, ia membatasi menjadi ahli di pengadilan.

Kecintaan Satrio pada keluarga sangatlah besar. Baginya, keluarga merupakan warisan terpenting dalam hidup yang mesti dijaga. Meski sudah senja, ia bersama istri kerap menjenguk anak dan cucunya di Kutoarjo, begitupun sebaliknya. Bahkan, salah satu anaknya yang kini tinggal di Amerika Serikat, beberapa waktu lalu bersama dua cucunya datang menjenguk Satrio dan istri di Purwokerto.

Satrio dan Herwanti hidup damai di Purwokerto. Hal itu terpancar dari aroma bahagia keduanya. Menurut Satrio, meski sudah berusia lanjut, olahraga tetap harus dilakukan. Salah satu kebiasaan yang dilakukan keduanya adalah menikmati jalan pagi di seputaran kompleks perumahan, dari pagi hari hingga Sang Surya muncul.

Namun Satrio sadar, ia tak lagi lincah seperti dahulu saat muda. Meski begitu, semangatnya membuat perubahan di bidang hukum keperdataan tak pernah padam. Baginya, ilmu merupakan oasis untuk kehidupan.
Tags:

Berita Terkait