‘Menggugat’ Wewenang MK Menguji Perppu
Mengurai Problematika Perppu:

‘Menggugat’ Wewenang MK Menguji Perppu

Ada usulan sebaiknya wewenang MK menguji Perppu dimasukkan dalam revisi UUD Tahun 1945 dan UU MK. Sebaliknya, kewenangan MK menguji Perppu dirasa cukup merujuk putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 sebagai yurisprudensi.

Oleh:
Aida Mardatillah/RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Sejak terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang berlanjut dengan pembubaran Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memunculkan polemik di masyarakat. Sebagian besar masyarakat mengkritik keras terhadap terbitnya materi muatan Perppu Ormas ini, sehingga berbagai elemen masyarakat melayangkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Saat ini, terdapat 7 permohonan pengujian formil dan materil Perppu Ormas yang diajukan beberapa elemen masyarakat yang tengah berproses di MK. Pemohonnya yakni, Afriady Putra (Organisasi Advokat Indonesia/OAI) (1); mantan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto (2); Aliansi Nusantara (3); Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), Sharia Law Institute (4); Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) (5); Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silahturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslim Indonesia (6); Tim Advokasi Cinta Tanah Air (7).  

Saat bersamaan, Perppu pun tengah menunggu proses persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya. Tak hanya Perppu Ormas, belum lama ini MK telah mengadili Perppu No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Permohonan ini tinggal menunggu putusan. Baca Juga: Sejarawan Sebut Pasal Penggusuran Berjiwa Kolonialisme  

Pengujian materi muatan Perppu di MK bukanlah hal baru. Penelusuran Hukumonline, sejak 2009 hingga saat ini, tercatat ada sekitar 27 permohonan - dengan beberapa objek pengujian Perppu yang sama – termasuk didalamnya 8 pengujian Perppu tersebut yang saat ini sedang berproses, terdapat 12 putusan MK terkait pengujian Perppu yang dinyatakan tidak dapat diterima, ditolak, dan gugur. Berikut tabel Putusan Pengujian Perppu di MK:
NoNomor Perkara PerppuMateri PemohonanAmar PutusanPertimbangan HakimKeterangan
1. 138/PUU-VII/2009 Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
Perppu sementara pimpinan KPK Tidak Dapat Diterima MK menyatakan berwenang melakukan pengujian materi muatan Perppu dan mengeluarkan tiga syarat penerbitan Perppu Terdapat dissenting opinion oleh Hakim Konstitusi Muhammad. Alim
2. 54/PUU-VIII/2010 Pasal 83B UU No. 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Perppu UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Kehutanan Penetapan penarikan kembali Pemohon mencabut permohonan ini Ketetapan
3. 27/PUU-X/2012 UU No. 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan
Dalam Kitab UU Hukum Pidana
frasa “dua ratus lima puluh rupiah”
dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal
407 ayat (1)
Tidak dapat diterima Tidak termasuk kewenangan mengadili dan kewajiban MK mengubahnya
4. 90/PUU-XI/2013 Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas
UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK
Pasal I angka 2 Pasal 15 ayat (2) huruf i, ayat (3) huruf f;
angka 7 Pasal 27A ayat (1) dan ayat (7)
Mengabulkan penarikan kembali Pemohon mencabut Permohonan Ketetapan
5. 91/PUU-XI/2013 Sama Meminta Perrpu MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 terkait OTT mantan Ketua MK M. Akil Mochtar Tidak dapat diterima Kehilangan objek -
6. 92/PUU-XI/2013 Sama Sama Tidak dapat diterima Kehilangan objek -
7. 93/PUU-XI/2013 Sama Sama Tidak dapat diterima Kehilangan objek -
8. 94/PUU-XI/2013 Sama Sama Tidak dapat diterima Kehilangan objek -
9. 128/PUU-XII/2014 Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) Perppu Pilkada ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 Gugur Pemohon tidak hadir dalam persidangan meski di panggil secara sah dan patut -
10. 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014 Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Beberapa pasal dalam Perppu ini bertentangan dengan UUD 1945 Tidak dapat diterima Kehilangan objek karena DPR telah menyetujui Perppu Pilkada ini menjadi UU Pilkada -
11. 125/PUU-VII/2009 Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pengujian Pasal 5,
Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 45
Mengabulkan penarikan embali Permohonan pemoho Ketetapan
12. 150/PUU-VII/2009 Sama Pasal 25
ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, dan Pasal 46
Mengabulkan penarikan kembali Permohonan pemohon Ketetapan

Pasca terbitnya Perppu Ormas yang diteken Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 ini seolah kembali memantik problem konstitusional, seperti awal pengujian Perppu KPK yang diajukan sejumlah advokat pada 2009 silam. Meski putusan pengujian Perppu KPK ini tidak dapat diterima, tetapi Mahkamah berpendapat penerbitan Perppu dengan kondisi kegentingan yang memaksa merupakan hak subjektif presiden dengan memberi 3 syarat. Baca Juga: MK Nyatakan Perppu Bisa Di-Judicial Review

Pertama, ada kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.       

Selain itu, putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ini mengandung perdebatan menyangkut kewenangan MK menguji Perppu. Delapan Hakim Konstitusi kala itu menafsirkan Perppu adalah objek kewenangan MK. Sebab, Perppu dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan UU. Norma dalam Perppu, menurut MK dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945 atau tidak. Karena itu, MK berwenang menguji formil dan materil Perppu terhadap UUD 1945 baik sebelum adanya penolakan atau persetujuan maupun setelah ada persetujuan DPR dimana Perppu menjadi UU.

Dalam putusan itu, hanya Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Dia tidak setuju Perppu menjadi objek kewenangan MK. Alim merujuk Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menyebut, “Menguji undang-undang terhadap UUD 1945”. Baca Juga: Perppu Sudah Berkali-Kali Diuji ke MK, Simak Rangkuman Putusannya

Menurut Alim sejarah awal menguji konstitusionalitas Undang-Undang merupakan kewenangan MPR, lalu dialihkan menjadi kewenangan MK melalui rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sebab, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK sebatas diberi kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, tidak menyebutkan Perppu. Hal ini bermakna diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu Perppu pada sidang berikutnya sesuai tafsir Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Setelah disetujui menjadi Undang-Undang barulah dapat diuji ke MK. Karena itu, Perppu bukan objek kewenangan MK.

Meski begitu, Alim berpandangan jika muatan materi Perppu bukan muatan yang seharusnya diatur dalam UU atau materi muatan Perppu di luar kewenangan presiden atau jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Misalnya, presiden mengeluarkan Perppu yang berisi pembekuan atau pembubaran DPR, karena bertentangan dengan Pasal 7C UUD 1945, maka MK berwenang mengadili pengujian Perppu tersebut walaupun belum mendapat persetujuan atau penolakan dari DPR dalam persidangan berikutnya. Sebab, materi Perppu pembubaran DPR ini, sudah tak ada lagi DPR yang akan menyetujui atau menolak Perppu tersebut.

Setelah putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ini, pengujian Perppu baik secara formil maupun materil berikutnya umumnya tidak dapat diterima dengan alasan kehilangan objek atau nebis in idem dan gugur. Seperti, putusan MK No. 91/PUU-XI/2013 terkat uji formil dan materil Perppu No.  1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Alasannya, Perppu ini sudah disetujui menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR. Karenanya, MK menilai permohonan ini telah kehilangan objek permohonan, sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonannya tidak perlu dipertimbangkan.

Dengan begitu, melihat historis data putusan MK tersebut belum ada satupun permohonan pengujian Perppu yang pernah dikabulkan MK baik sebagian maupun seluruhnya. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya, apakah MK benar-benar berwenang menguji Perppu terhadap UUD 1945 baik secara formil ataupun materil.

Saat diwawancarai Hukumonline beberapa waktu lalu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Daniel Yusmic P. Foekh tersirat sependapat dengan pandangan Muhammad Alim bahwa MK sebenarnya tak berwenang menguji Perppu seperti termuat dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Selain kewenangan menguji Perppu tidak diatur dalam UUD 1945 dan UU MK, faktanya MK belum pernah mengabulkan pengujian Perppu.

“Menguji konstitusionalitas Perppu oleh MK tidak tepat. Saya menolak itu, karena saya sudah memaknai Perppu sebagai UU Darurat agar secepatnya Presiden (dengan hak subjektifnya) mengembalikan keadaan darurat menjadi keadaan normal,” ujar Daniel Yusmic.        

Meski begitu, dia mengusulkan agar MK hanya diberi kewenangan menilai keadaan “kegentingan yang memaksa” sesuai tafsir Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945. Hal ini dalam rangka check and balances atas kekuasaan presiden. “Jadi, biarlah ‘kegentingan memaksanya‘ yang dinilai oleh kekuasaan kehakiman, tetapi bukan (materi) Perppu-nya yang dinilai,” saran dia. 

Menurutnya berlakunya sebuah Perppu atau UU Darurat memiliki jangka waktu tertentu. Dalam konvensi ketatanegaraan di dunia keadaan darurat berlaku selama tiga bulan. Lalu, bisa diperpanjang selama enam bulan. Setiap perpanjangan ini harus dengan persetujuan parlemen. “Perlu ditata ulang (revisi) UUD Tahun 1945 bahwa MK berwenang menilai kondisi ‘kegentingan yang memaksa’ atau ‘keadaan darurat’. Jadi, perlu amandemen (Pasal 24C) UUD Tahun 1945 dengan menambah kewenangan itu,” sarannya.

Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis berpendapat MK berwenang menguji Perppu karena materi Perppu sama dengan UU. Namun, sebaiknya kewenangan MK menguji Perppu dimasukkan dalam revisi UU MK. “Bahkan, kalau bisa kewenangan ini diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Margarito.

Putusan MK sebagai yurisprudensi
Hanya saja, Mantan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva tak sependapat dengan pandangan Yusmic. Menurutnya, kewenangan MK menguji Perppu didasarkan pada putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 sebagai yurisprudensi. Alasannya, materi muatan Perppu setingkat/selevel dengan norma UU, sehingga menjadi objek kewenangan MK. Apalagi, Perppu bisa mengubah UU dan bisa mencabut UU yang berimplikasi luas.

“Saya pikir tidak perlu (amandemen UUD Tahun 1945), cukup seperti sekarang saja (wewenang menguji Perppu atas dasar putusan MK),” kata Hamdan saat ditemui Hukumonline di kantornya, Rabu (16/8/2017).

Hamdan menjelaskan sebuah Perppu harus memperoleh persetujuan DPR, tetapi sebelum DPR memberi persetujuan atau menolak, MK memiliki kewenangan menguji Perppu. Misalnya, Perppu bisa saja setelah tiga tahun baru disahkan oleh DPR. Nah, rentang waktu itu berarti Perppu berlaku sebagai UU yang potensi melanggar hak konstitusional warga negara, sehingga bisa dujimaterikan ke MK.

“Bisa dibayangkan jika materi muatan Perppu tidak dikontrol (MK), misalnya MK sedang mengadili pemakzulan presiden, tiba-tiba presiden mengeluarkan Perppu mengubah kewenangan MK, dikurangi atau semacamnya, habislah nanti MK. Kewenangan ini bukan untuk kepentingan MK, tetapi demi menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara,” katanya.

Juru Bicara MK Fajar Laksono berpendapat meski amar putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tidak dapat diterima, tetapi putusan MK tersebut mengubah paradigma hukum. Awalnya MK tidak berwenang menguji Perppu menjadi berwenang menguji Perppu. Sebab, secara teoritis materi muatan Perppu sama dengan UU.

“’Bajunya’ Perppu, tapi substansinya UU. Sebab, sangat mungkin materi muatan Perppu melanggar hak konstitusional warga negara yang menjadi kewenangan MK,” ujarnya di sela-sela acara simposium internasional MK se-Asia dan Lembaga Sejenis di Solo beberapa waktu lalu.

Baginya, tidak menjadi persoalan ketika kewenangan MK menguji Perppu tidak tertulis dalam UU MK dan UUD Tahun 1945. Sebab, dalam perkembangan beberapa putusan MK seringkali tercipta asas-asas hukum yang diterima dalam praktik hukum acara sesuai kebutuhan-kebutuhan hakim konstitusi memutus perkara. “Sehingga, putusan MK ini menjadi yurisprudensi positif,” kata dia. 

Menurut Fajar, ada tiga syarat penerbitan Perppu seperti termuat dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 sebagai pedoman bagi presiden sebelum menetapkan Perppu. Pertama, adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian diselesaikan.

Fajar berpendapat, kegentingan yang memaksa sesuai tafsir Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 mengandung hak subjektivitas presiden untuk menetapkan Perppu. Sebab, subjektivitas presiden ini tidak akan dinilai secara objektif oleh DPR karena pertimbangannya lebih bersifat politis. “Syarat-syarat inilah yang akan diuji di MK. Disinilah MK menilai dari sudut pandang, sebelum atau sesudah disetujui oleh DPR,” katanya.

Merujuk putusan MK itu, kata Fajar, MK berwenang melakukan uji formil dan materil atas sebuah Perppu. Misalnya, pengujian Perppu Ormas ada ketentuan pengurus dan anggota ormas dapat dipidana. Itu sudah masuk uji materi yang menyangkut pokok perkaranya. “Kalau formilnya dikabulkan, berarti Perppu ini sudah batal secara keseluruhan. Tetapi, kalau formilnya ditolak dan materilnya dikabulkan, maka Perppu yang akan diajukan ke DPR adalah Perppu berdasarkan putusan MK itu,” katanya.

Senada, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai MK berwenang menguji Perppu. Sebab, tidak mungkin MK membiarkan produk perundang-undangan (Perppu) yang berdaya laku sama dengan UU bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, menurut Feri, meski secara normatif tidak ada kewenangan MK menguji Perppu, tetapi merujuk putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK berwenang menguji Perppu.

“Walaupun sifatnya sementara, sampai kemudian DPR memberi persetujuan, tetapi proses Perppu menjadi UU bisa dikatakan Perppu itu tetap berlaku. Jadi tidak mungkin MK membiarkan ada Perppu yang bertentangan dengan UUD 1945,” katanya yang dihubungi Hukumonline, Jumat (21/8/2017). Baca Juga: Tafsir ‘Kegentingan yang Memaksa’ Masih Bisa Berubah

Presiden belum taat putusan MK
Feri Amsari menilai baik masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo, putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tidak ditaati oleh keduanya. Misalnya, terbaru saat Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Ormas. Jika dilihat dari unsur “kekosongan hukum” terbitnya Perppu Ormas, tidak ada kekosongan hukum karena sudah ada UU Ormas.  

“Saya melihat pilihan Presiden Jokowi malah menghindari ketentuan UU Ormas. Jadi Perppu Ormas bisa dikatakan menjadi alat (oleh presiden) untuk memaksakan perspektif politiknya dalam penegakkan hukum,” kata Feri.

Tak hanya Jokowi, mantan Presiden SBY pun sama dengan terbitnya Perppu Pilkada dan Perppu KPK yang kemudian melahirkan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. “Meski Perppu merupakan subjektif presiden dalam memaknai hal ikhwal kegentingan yang memaksa, tetapi presiden harus memenuhi ketiga syarat penerbitan Perppu seperti tertuang dalam putusan MK itu,” kata Feri.

Dia berpendapat tidak semestinya putusan MK mengenai penegasan kewenangan menguji Perppu diundangkan. Sebab, putusan MK itu memiliki daya laku final and binding selayaknya UU. Hanya saja, faktanya sering disalahpahami oleh sebagian pihak terkait tafsiran putusan MK.

Hamda Zoelva juga menilai baik Presiden SBY dan Jokowi masih belum menjadikan tiga syarat penerbitan Perppu dalam Putusan MK sebagai pedoman. “Jadi, sebaiknya seperti itu saja, tidak perlu merevisi UU MK atau UUD 1945. Sebab, putusan MK itu sudah menjadi yurisprudensi positif,” tegasnya. 
Tags:

Berita Terkait