Menelusuri Parameter Pengesahan Perppu di Parlemen
Mengurai Problematika Perppu:

Menelusuri Parameter Pengesahan Perppu di Parlemen

Karena masuk arena politik, semuanya pertimbangannya politik. Ada usulan keberadaan Perppu dihapus dalam konsitusi karena parameter dalam putusan MK diabaikan. Tetapi, sebagian berpendapat keberadaan Perppu tetap diperlukan dengan kontrol ketat oleh DPR dan MK.

Oleh:
Rofiq Hidayat/AID
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Terbitnya dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terakhir di era pemerintahan Joko Widodo menimbulkan kritik dari sebagian kalangan. Tak hanya ukuran ihwal “kegentingan memaksa”, tiga syarat ukuran objektif seperti termuat putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 seolah diabaikan dalam menerbitkan Perppu. Meski penerbitan Perppu menjadi hak presiden seperti tertuang dalam Pasal 22 UUD Tahun 1945.

Sebenarnya secara normatif-historis praktik pembentukan Perppu sudah sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno - kala itu ada yang menyebut istilah UU Darurat – hingga Presiden Joko Widodo. Perppu ini memang menjadi hak presiden yang dititahkan Pasal 22 UUD 1945 baik sebelum maupun setelah amandemen. Praktiknya, Perppu yang diterbitkan dikirimkan ke DPR, umumnya disetujui menjadi UU, hanya hitungan jari Perppu yang ditolak DPR.

Berdasarkan penelusuran data yang diperoleh Hukumonline, sejak era pemerintahan Soekarno hingga Joko Widodo per Juli 2017, setidaknya terdapat 214 Perppu yang diterbitkan. Namun, umumnya atau mayoritas Perppu yang diterbitkan mendapatkan persetujuan dari DPR. Hanya terdapat dua Perppu yang ditolak oleh DPR di era pemerintahan BJ Habibie. Baca Juga: Inilah Daftar Perppu di Era Presiden SBY

Berikut ini beberapa contoh Perppu yang terbit di era masing-masing pemerintahan:
Nomor PerppuTentang
Era Soekarno
No.6 Tahun 1950
No.1 Tahun 1959
No.11 Tahun 1959
No.21 Tahun 1959

No.6 Tahun 1964

Pajak Dalam Daerah Pulihan
Pembentukan Bank Umum Negara
Pajak Hasil Bumi
Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi
Badan Pemeriksa Keuangan

Era Soeharto
No.1  Tahun 1969
No.1 Tahun 1984
No.1 Tahun 1992

No.1 Tahun 1997

No.1 Tahun 1998
No.2 Tahun 1998
No.3 Tahun 1998 

Bentuk-Bentuk Usaha Negara
Penangguhan Mulai Berlakunya UU Pajak Pertambahan Nilai.
Penangguhan Mulai Berlakunya UU No.14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Penanguhan Mulai Berlakunya UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Perubahan UU tentang Kepailitan.
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Pencabutan Perppu No.2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Era BJ Habibie
No.1 Tahun 1999

Pengadilan Hak Asasi Manusia
Era Abdurrahman Wahid
No.1 Tahun 2000
No.2 Tahun 2000
No. 3 Tahun 2000


Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Perubahan UU No.11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya UU No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
Era Megawati Soekarnoputri
No.1 Tahun 2002
No.2 Tahun 2002



No.1 Tahun 2004
No.2 Tahun 2004


Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pemberlakuan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali Tanggal 12 Oktober 2002
Perubahan atas UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Perubahan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR , DPD dan DPRD
Era Susilo Bambang Yudhoyono
No. 1 Tahun 2005

No.1 Tahun 2006



No. 3 Tahun 2007


No. 3 Tahun 2008

No.2 Tahun 2009

No.4 Tahun 2009

No.1 Tahun 2013

No 1 Tahun 2014


Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003.
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada).
Era Joko Widodo
No.1 Tahun 2015

No.1 Tahun 2016

No.1 Tahun 2017
No.2 Tahun 2007

Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sumber diolah dari www.ditjenpp.kemenkumham.go.id

Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, berpendapat berlakunya Perppu memiliki waktu terbatas (sementara). Sebab, cepat atau lambat, Perppu mesti dimintakan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Persetujuan DPR amatlah penting. Sebab, DPR sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan membentuk UU harus menilai secara obyektif ada tidaknya kondisi kegentingan yang memaksa.

Merujuk UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tidak memberikan batasan pengertian Perppu. Namun, secara prinsip, Perppu sudah dapat berlaku dan mengikat sejak diterbitkan. Bahkan memiliki kedudukan setingkat dengan UU seperti tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

Secara prosedural, terbitnya Perppu oleh presiden, kemudian diajukan ke DPR pada masa persidangan berikutnya untuk memperoleh persetujuan. Pengajuan Perppu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU seperti diatur Pasal 52 UU No.12 Tahun 2011. Pemberian persetujuan atau penolakan sebuah Perppu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR sebagai forum rapat tertinggi di parlemen.

Lantas, apa yang menjadi parameter normatif bagi parlemen dalam memberikan persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap Perppu yang diterbitkan presiden? Faktanya, syarat ihwal kegentingan memaksa kerapkali ditafsirkan berbeda-beda oleh  masing-masing presiden yang berkuasa. Bisa jadi, keadaan mendesak terjadi “tanpa permisi”. Sehingga, presiden yang berkuasa menafsirkan keadaan genting yang memaksa secara subjektif sesuai perpektifnya masing-masing.

Ketiadaan batasan parameter ihwal kegentingan memaksa itulah dibutuhkan pengawasan ketat dari DPR. Sebab, secara normatif, Perppu yang sudah diterbitkan pemerintah serta merta berlaku, meski belum mendapat persetujuan dari DPR. Peran DPR dalam menyetujui atau menolak Perppu perlu ketelitian dan kritis terhadap berbagai persyaratan, khususnya ihwal kegentingan memaksa yang dijadikan syarat utama pemerintah menerbitkan Perppu.

Sayangnya, kewenangan DPR dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan praktiknya hanya sebatas memberikan persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap Perppu yang diajukan pemerintah. Persoalan ini diamini Mantan anggota DPR dari Fraksi-PPP  di era Orde Baru hingga era reformasi, Zain Badjeber. Zain menilai ihwal kegentingan yang memaksa sejak era sebelum reformasi hingga saat ini tidak mengalami perubahan.

“Sejak ‘kembalinya UUD 1945’ (Dekrit Presiden 5 Juli 1959) hingga 1999 sebelum amandemen UUD 1945, ataupun setelah amandemen UUD 1945 tidak mengalami perubahan. Sebab, Pasal 22 UUD 1945 tidak diubah,” ujar Zain kepada Hukumonline di kantornya, Jumat (11/8) pekan lalu. Baca Juga: Tafsir ‘Kegentingan yang Memaksa’ Masih Bisa Berubah

Dia berpendapat tafsir “kegentingan yang memaksa” selama ini lebih pada permasalahan kebutuhan pemerintahan. Praktiknya, syarat kegentingan yang memaksa menjadi subjektivitas presiden sebagai kepala pemerintahan dalam menerbitkan Perppu. Saat proses amandemen konstitusi (1999-2002), kata dia, MPR pernah berupaya memberi batasan parameter terhadap presiden ketika menerbitkan Perppu.

Hanya saja, MPR dan pemerintah tidak mendapat kesepakatan terkait usulan batasan parameter bagi presiden terkait ‘ihwal kegentingan memaksa’ dalam menerbitkan Perppu. “MPR pada saat pembahasan (amandemen konstitusi, red) memang ingin memberikan batasan, cuma tidak ada kesepakatan dengan pemerintah, bagaimana bentuknya,” katanya.

Ketiadaan batasan parameter ihwal kegentingan memaksa itulah, kata Zain, penerbitan Perppu menjadi subjektivitas presiden. Karena itu, MK melalui putusannya memberi petunjuk perihal parameter ‘ihwal kegentingan memaksa’ dalam menerbitkan Perppu dengan tiga kondisi tertentu sebagaimana diamanatkan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.

Tiga parameter ‘kegentingan memaksa’  
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menerangkan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 memberikan tiga parameter perihal ‘ihwal kegentingan memaksa’ bagi presiden dalam menerbitkan Perppu. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada. Sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Ketiga, adanya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa. Sebab bakal  memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Jadi bukan hanya kondisi darurat negara, tetapi darurat hukum. Darurat negara itu negara dalam keadaan kacau. Kalau darurat hukum, hukumnya tidak ada, sementara ada suatu kebijakan yang harus segera diambil,” ujar saat ditemui di kantornya, Rabu (16/8/2017).

Hamdan menerangkan parameter yang diamanatkan putusan MK itu kemudian menjadi alat ukur menguji formalitas dan prosedural terbitnya Perppu. Menurutnya, bila Perppu yang diterbitkan tidak memenuhi parameter sesuai putusan MK itu, seharusnya lembaga konstitusi baik DPR maupun MK menolak terbitkannya Perppu yang bersangkutan. Baca Juga: Perppu Sudah Berkali-Kali Diuji ke MK, Simak Rangkuman Putusannya

Pengamat Hukum Tata Negara A Irmanputra Sidin punya pandangan lain. Ia berpendapat makna ‘kegentingan memaksa’ sebagaimana dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yakni ketika fungsi-fungsi negara tak berjalan sebagaimana mestinya. Tak hanya itu, terjadinya kekosongan hukum berakibat pada kegentingan memaksa. Karena itu, dibutuhkan tindakan segera dari pemegang kekuasaan yakni presiden.

“Karena kekosongan hukum ‘kawin’ dengan fungsi negara yang tidak jelas (kacau), maka bisa menjadi kegentingan memaksa. Dan tidak bisa menunggu lama, harus cepat (ambil tindakan, red),” ujarnya.

Menurutnya, subjektivitas presiden dalam menerbitkan Perppu mesti dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Nah, ukuran konstitusional itulah mesti dijadikan parameter bagi DPR ketika memberi persetujuan atau tidak terhadap Perppu yang diterbitkan presiden.

Cenderung politis
Sebagai orang yang pernah duduk di parlemen pasca reformasi dari Fraksi Partai Bulan Bintang itu, Hamdan paham betul mekanisme DPR dalam memberi persetujuan atau tidak terhadap sebuah Perppu. Hamdan berpendapat pertimbangan persetujuan yang diberikan DPR terhadap Perppu yang diterbitkan pemerintah cenderung politis. “Bagi saya hampir semua itu adalah politik, persetujuan politik,” lanjutnya.

Hamdan mengungkapkan pemerintah dahulu ketika akan menerbitkan Perppu melakukan lobi-lobi terlebih dahulu dengan DPR. Sehingga ketika pemerintah mengajukan Perppu, prosesnya menjadi sederhana di parlemen. Namun, ia tidak mengetahui era pemerintahan Joko Widodo ini. “Tapi tidak tahu sekarang, tanpa lobi, bisa langsung keluar (Perppu),” kata dia.

Dia menegaskan Perppu yang diterbitkan pemerintah dan disetujui oleh DPR pada praktiknya murni politik. Karena itu, MK memberi petunjuk atau parameter bagi parlemen dalam memberi persetujuan atau penolakan terhadap terbitnya sebuah Perppu. “Untuk tidak terlalu politik, ini loh koridornya (putusan MK), karena negara ini negara hukum. Sebab, produk Perppu itu menunjukan absolutisme presiden dalam keadaan sementara,” katanya.

Zain Badjeber mengamini pandangan Hamdan. Menurutnya praktik pemberian persetujuan atau tidak di parlemen nyaris berjalan mulus sejak era Soeharto. Terlebih, parlemen dikuasai oleh partai pendukung pemerintah. Setidaknya di era Orde Barru, parlemen kerap distigmatisasi sebagai “tukang cap”.

“Yaa, akhirnya lebih pada pertimbangan politisnya. Artinya kalau kita dukung pemerintah, kita cari alasan pembenar,” kata mantan politisi senior partai berlambang Kabah ini.

Anggota komisi III DPR Daenk Muhammad mengatakan MK telah memberi petunjuk dalam penerbitan Perppu oleh presiden. Begitu pula parlemen dalam memberikan persetujuan terhadap Perppu mesti mengacu pada putusan MK. Pemberian persetujuan DPR yang dilakukan pada masa sidang berikutnya, artinya dilakukan setelah masa reses. Baca Juga: Yusril: Tidak Ada ‘Kegentingan Memaksa’ Terbitnya Perppu Ormas

Karena itu, DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan mestinya mengevaluasi mekanisme persetujuan atau penolakan terbitnya Perppu oleh presiden. Sayangnya, praktiknya cenderung lebih pada pertimbangan politis. “Pada kenyataanya, secara praktik selama ini jarang sekali ada evaluasi terhadap Perppu. Sehingga cenderung lebih pada pertimbangan politis dibanding persoalan lain,” kata Daenk.

Irman mengamini pandangan Hamdan, Zain dan Daenk. Irman berharap parameter sebagaimana dalam putusan MK mesti dijadikan ukuran DPR dalam memberi persetujuan atau sebaliknya terhadap Perppu. Dengan begitu, penilaian atau evaluasi DPR menjadi lebih objektif. Hanya saja, kata Irman, praktik yang terjadi Perppu ketika masuk ke DPR cenderung politis.

“Rata-rata politis. Jadi liar. Jadi suatu saat tidak perlu ada DPR sebagai pemegang kekuasaan pembuat UU. Presiden keluarkan Perppu saja, kan RUU-nya (pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU) yang sedang berlaku,” ujarnya.

Menurut Irman, Perppu yang masuk DPR seperti halnya memasuki ring politik. Sebab, DPR ketika memberi persetujuan menggunakan instrumen politik. Sehingga, petunjuk yang diberikan MK pun sering tak dipatuhi parlemen ketika memberi persetujuan terhadap Perppu. “DPR Menggunakan instrumen politik. (Padahal), parameternya sudah ada di putusan MK itu,” katanya.

Usul hapus Perppu
Irman menilai ketika putusan MK diabaikan oleh pembuat kebijakan (pemerintah dan DPR), maka keberadaan Perppu diusulkan dihapus dalam konstitusi. Sebab, ketika Perppu diterbitkan hanya dengan parameter politis begitu pula di parlemen, maka bakal menjadi alat kekuasaan semata.

“Ke depan yang namanya Perppu dihapus saja, tidak perlu ada yang namanya Perppu itu dalam konstitusi. Ini agar presiden tidak menggunakan kekuasaannya. Tentu dengan melakukan amandemen konstitusi, tetapi ini tidak mudah dan membutuhkan perjuangan panjang,” kata pria yang berprofesi sebagai advokat konstitusi ini. Baca Juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic

Beda dengan Irman, Hamdan Zoelva justru menilai keberadaan Perppu tetap dibutuhkan dalam sistem pemerintahan. Namun, setiap penerbitan Perppu tetap harus dikontrol ketat terutama oleh DPR dan MK sebagai benteng terakhir. “Masalahanya, ketika sebelum disetujui DPR, presiden bisa melakukan apa saja berdasarkan norma Perppu dan itu sah,” katanya.

Sementara Daeng yang juga politisi Partai Amanat Nasional itu pun menilai Perppu tetap dibutuhkan. Sebab Perppu merupakan bagian dari sejarah konstitusi negara. Yang pasti, seraya mewanti-wanti, ketika adanya peristiwa hukum dan ternyata ketiadaan aturan hukum, maka presiden harus cermat dan hati-hati ketika menerbitkan Perppu. “Tetapi kalau sudah diatur dalam UU, ngapain juga dikeluarkan Perppu,” tutupnya.  
Tags:

Berita Terkait