Mengupas Legalitas Aturan Sanksi Pidana dalam Perppu
Mengurai Problematika Perppu:

Mengupas Legalitas Aturan Sanksi Pidana dalam Perppu

Karena setingkat UU, Perppu boleh memuat sanksi pidana. Bila UU sudah memuat ketentuan sanksi pidana, sebaiknya Perppu tidak memasukan norma sanksi pidana baru.

Oleh:
Rofiq Hidayat/AID
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan Presiden Joko Widodo belakangan menjadi sorotan masyarakat. Khususnya Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sebabnya, tak hanya membubarkan Ormas secara sepihak, tetapi juga mengatur sanksi pidana terhadap pengurus dan anggota Ormas.

Pengaturan sanksi pidana dalam praktik setiap penerbitan Perppu oleh presiden memang jarang terjadi. Sejak era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo bisa dihitung dengan jari Perppu yang mengatur sanksi pidana dalam Perppu. Sementara di era Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid dan Susilo Bambang Yudhoyono nyaris tak mengatur sanksi pidana dalam Perppu-Perppu yang diterbitkan.

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, ada beberapa Perppu yang memuat sanksi pidana. Yakni, Perppu No. 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank, Perppu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Teranyar, Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas di era Jokowi.

Lantas, bagaimana sebenarnya aturan sanksi pidana dalam materi muatan Perppu? Merujuk UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bagaimana pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk Perppu. Dalam UU 12 Tahun 2011 mengatur ketentuan sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam UU, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, tidak menyebut Perppu.

Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan, “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam : a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Dalam Pasal 15 ayat (1) tidak menyebut Perppu. Namun, lantaran sebagian kalangan berpendapat Perppu dalam sistem peraturan perundang-undangan setara dengan UU.

Pandangan ini merujuk Pasal 7 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundangan. Mulai UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Baca Juga: Perppu Sudah Berkali-Kali Diuji ke MK, Simak Rangkuman Putusannya

Menurut Prof Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar dan Pembentukannya memaparkan bahwa Perppu memiliki hierarki yang setingkat dengan UU. Namun demikian, Maria menilai Perppu terkadang dinilai tidak sama dengan UU lantaran belum disetujui oleh DPR.

Maria menjelaskan proses pembentukan UU dibentuk setelah dilakukan pembahasan dan mendapat pengesahan dari DPR. Sementara Perppu dibentuk Presiden yang otomatis dapat berlaku tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dengan kondisi adanya ihwal kegentingan yang memaksa.

Maria berpendapat berlakunya Perppu pun terbatas. Karenanya, Perppu mesti segera mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi UU. Soalnya, hierarki Perppu setingkat dengan UU dan materi muatannya pun sama seperti UU. Itu sebabnya, kedudukan dan materi muatan UU sama dengan Perppu termasuk pengaturan sanksi pidana.

Mantan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva berpendapat aturan sanksi pidana boleh dimuat dalam Perppu. Sebab, sebagai norma, materi muatan Perppu merupakan UU. Permasalahannya, apakah normanya bertentangan atau tidaknya dengan UUD 1945 adalah persoalan lain yang perlu diuji di MK. “Tapi masalah boleh tidaknya Perppu memuat sanksi pidana, ya boleh saja,” ujarnya kepada Hukumonline di kantornya di Jakarta, Rabu (16/8/2017) pekan lalu.

Boleh memuat sanksi pidana
Menurut Hamdan, meski secara normatif UU No. 12 Tahun 2011 sanksi pidana hanya bisa dimuat dalam UU dan Perda, namun secara teoritik Perppu merupakan setara UU. Makanya, diperbolehkan mengatur muatan materi sanksi pidana dalam Perppu. “Jadi, apapun yang menjadi wilayah norma UU pun dapat diatur dalam Perppu,” ujar Hamdan. Baca Juga: Tafsir ‘Kegentingan yang Memaksa’ Masih Bisa Berubah

Hamdan menambahkan Perppu merupakan UU yang berlaku dalam keadaan darurat negara dan darurat hukum akibat adanya ihwal kegentingan memaksa. Karena itu, norma yang tertuang dalam Perppu seperti halnya dalam UU. “Jadi, karena Perppu itu adalah UU dalam keadaan darurat,” ujar Hamdan yang juga anggota DPR dari Partai Bulan Bintang pada periode 1999-2004 itu.

Pengamat Hukum Tata Negara A Irmanputra Sidin berpendapat aturan sanksi pidana dalam Perppu dimungkinkan terjadi. Seperti, dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang mengatur sanksi pidana. Meski begitu, bisa saja tepat atau tidaknya aturan sanksi pidana dalam Perppu diuji lewat mekanisme persetujuan DPR. Namun bila ternyata tidak memuaskan, maka dapat dilakukan uji materi ke MK. “Yang diharapkan memang MK,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai advokat itu.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Muzakkir berpendapat Perppu memang setingkat dengan UU. Karenanya, Perppu pun boleh memuat sanksi pidana. Menurutnya, sepanjang Perppu diterbitkan dalam keadaan darurat sesuai fakta, maka Perppu pun dapat dinyatakan sah dan diperbolehkan memuat saksi pidana.

“Selagi Perppu diterbitkan keadaan sah, maka boleh memuat sanksi pidana. Tetapi kalau tidak memenuhi syarat penerbitan Perppu, maka tidak boleh menjadi UU. Jadi, Perppunya tidak sah dan sanksi pidananya juga tidak sah,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Anggota tim perumus Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) itu berpendapat selama ini ukuran/parameter kegentingan yang memaksa atau darurat terbitnya Perppu tidak memperhatikan syarat yang termuat dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Menurutnya, sebaiknya ketika UU-nya sudah mengatur norma sanksi pidana, Perppu tak perlu mengatur kembali sanksi pidana. Baca Juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic

“Kalau Perppu mengancam sanksi pidana berat, tidak ada alasan legal formil dan sosiologisnya, apakah situasi itu harus diatasi dengan Perppu?”

Namun, menurutnya aturan sanksi pidana dalam Perppu memungkinkan mengubah norma dalam UU sebelumnya. Hal itu dapat dilakukan sepanjang memenuhi semua persyaratan penerbitan Perppu dalam putusan MK.

Senada, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani punya pandangan serupa. Ia berpendapat karena setingkat dengan UU, maka Perppu diperbolehkan memuat semua materi yang menjadi materi muatan UU. Termasuk pasal yang mengatur pemidanaan. Hal tersebut tidaklah melanggar UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Perppu pun diperbolehkan mengubah norma yang terdapat dalam UU sebelumnya. Hanya saja, kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembungunan (PPP) itu, mesti diperhatikan bila Perppu mengubah atau meniadakan aturan yang sudah diatur UU. “Itu kemudian terjadi tidak disharmonisasi dengan perundangan yang lain. Misalnya, KUHP dan Revisi KUHP,” ujarnya. Baca Juga: Menguji Ketepatan Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas

Sebagaimana diketahui, DPR dan pemerintah sedang merampungkan pembahasan RKUHP. Semestinya, kata Arsul, aturan sanksi pidana dalam Perppu tidak bertentangan dengan KUHP maupun RKUHP. Arsul menunjuk Perppu Ormas sebagai aturan teranyar. “Kenapa kemudian tiba-tiba muncul ketentuan baru yang tidak sesuai dengan yang sudah dibahas di RKUHP,” ujarnya.

Karena itu, menurutnya penerbitan Perppu mestinya bisa segera disikapi secepat mungkin oleh lembaga yang mengujinya. Yakni, DPR meskipun pertimbangannya cenderung bersifat politik. Demikian pula, MK ketika ada pihak yang mengajukan uji materi terhadap Perppu. “UU No. 12 Tahun 2011 tidak menyebut lembaga mana yang dapat menguji Perppu. Tidak jelasnya lembaga yang diamanahi UU, menjadikan DPR dan MK mesti bergerak secepat mungkin. Sebab, terbitnya Perppu bisa menyimpangi UU,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait