Menggugat Tanggung Jawab Pemerintah dalam Kasus First Travel
Kolom

Menggugat Tanggung Jawab Pemerintah dalam Kasus First Travel

Tanggung jawab Pemerintah dalam kasus First Travel bisa menjadi kredit poin tersendiri di mata rakyatnya. Inilah saatnya, negara hadir bagi warga negaranya!

Oleh:
Roziqin
Bacaan 2 Menit
Menggugat Tanggung Jawab Pemerintah dalam Kasus First Travel
Hukumonline
Keluhan dari puluhan ribu jemaah umrah yang batal diberangkatkan oleh biro umrah First Travel terus mengalir. Nasib mereka terkatung-katung karena pemilik First Travel telah ditangkap Polisi, sementara aset yang tersedia belum bisa menjamin mereka untuk berangkat ke Tanah Suci atau mendapatkan uang kembali.  Beberapa waktu lalu, sebagian jemaah umrah yang batal berangkat mengadu ke DPR dan meminta agar diberangkatkan oleh Pemerintah menggunakan dana haji.

Namun demikian, Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan menolak bertanggung jawab dengan alasan Pemerintah tidak mengurusi umrah, sehingga tanggung jawab umrah menjadi kewajiban biro travel. Alasan Kemenag tersebut sekilas rasional, namun menurut penulis, setidaknya ada lima alasan untuk meminta tanggung jawab Pemerintah dalam kasus umrah sebagai berikut.

Pertama, negara bertanggung jawab menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negaranya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D UUD 1945. Selain itu, sebagaimana disepakati oleh pendiri negara, bahwa Indonesia merupakan negara kesejahteraan (welfare state), dan dinyatakan secara tegas dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa di antara tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta  memajukan kesejahteraan umum. Sebagai negara kesejahteraan, salah satu prinsipnya adalah bahwa negara berkewajiban untuk turut campur, baik secara teknis maupun melalui instrumen perundang-undangan, terhadap terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Konsep negara kesejahteraan demikian harus diterapkan dalam kasus umrah saat ini. Sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2009 (UU 10/2009) tentang Kepariwisataan, Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan hukum kepada wisatawan, dalam hal ini jemaah umrah. Ketentuan umrah tunduk pada UU Pariwisata, mengingat untuk menjadi biro umrah, setidaknya penyelenggara telah terdaftar sebagai biro wisata dua tahun sebelumnya. UU 10/2009 juga digunakan sebagai konsideran dalam pembuatan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 18 Tahun 2015 (PMA 18/2015) tentang Penyelenggaraan Ibadah Umrah.

Kedua, biro travel yang bermasalah adalah biro travel yang terdaftar secara resmi di Kementerian Agama. Pemberian akreditasi oleh Pemerintah kepada First Travel, seharusnya menjadi pengakuan Pemerintah atas kelayakan usaha biro umrah dimaksud. Berdasarkan PMA 18/2015, akreditasi dilakukan mendasarkan pada kualitas pelayanan, sumber daya manusia, finansial, sarana dan prasarana, serta administrasi dan manajemen. Bila ternyata biro umrah tersebut tidak sesuai dengan hasil akreditasi, Pemerintah harus bertanggung jawab dan menjelaskan ke masyarakat mengenai metode akreditasi yang digunakan.

Sebagai sebuah keputusan Pemerintah, akreditasi harus dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan UU No. 30Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menjamin dan bertanggung jawab terhadap setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan. Bagi masyarakat, dengan mendaftar di biro umrah resmi dan telah diakreditasi Pemerintah, menjadi jaminan keberangkatan mereka ke Tanah Suci.

Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut serta mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sementara Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen.

Selain itu, UU 10/2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan Pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan  menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas. Bila biro umrah yang diakreditasi pun tidak dapat dipercaya, kemana lagi masyarakat bisa mendapatkan perlindungan. Bisnis umrah di masa depan pun bisa terancam tanpa kepastian hukum. Tanggung jawab Pemerintah kepada masyarakat sudah ada presedennya, misalnya dalam kasus lumpur Sidoarjo, di mana Pemerintah menanggung sebagian kerugian yang dialami oleh masyarakat melalui mekanisme APBN.

Ketiga, Pemerintah, dalam hal ini Kemenag belum melakukan langkah yang cukup untuk mencegah terjadinya kerugian pada jemaah.Kesalahan bisa jadi tidak murni pada First Travel, karena bukan hanya satu dua jemaah yang tertipu, tetapi puluhan ribu jemaah. Artinya ada sistem yang salah pada penyelenggaraan umrah.

Pada tahun 2015, Kemenag pernah memprogramkan reformasi penyelenggaran umrah, namun dampaknya belum terasa di masyarakat. Misalnya, hingga saat ini, masyarakat tidak mengetahui bagaimana kelayakan biro umrah. Masyarakat tidak mendapat informasi yang cukup mengenai akreditasi biro umrah. Sosialisasi atas kebijakan penyelenggaraan umrah dan akreditasi sebagaimana diwajibkan PMA 18/2015, masih minim dilakukan.

Memang Pemerintah telah membuat Sistem Informasi Manajemen dan Pelaporan Umrah (SIMPU), dan aplikasi Umroh Cerdas berbasis android. Sayangnya, aplikasi tersebut belum banyak diketahui masyarakat. Saat penulis mencoba mengakses, aplikasi tersebut baru 10 ribu diunduh. Kedua aplikasi tersebut tidak aplikatif, karena tidak mencantumkan hasil akreditasi biro umrah. Bahkan dibutuhkan password khusus untuk mengaksesnya.

Demikian pula untuk aplikasi Umroh Cerdas dibutuhkan password untuk akses detail. Padahal informasi mengenai akreditasi biro umrah sangat penting bagi masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan menentukan biro umrah mana yang akan digunakan. Tidak ada gunanya akreditasi, bila masyarakat tidak bisa mengetahui hasilnya. Kemenag seharusnya bisa meniru Kementerian Ristek dan Dikti yang mempublikasikan akreditasi bahkan ranking perguruan tinggi yang ada di bawah binaannya.

Selain itu, Kemenag seharusnya bisa mendeteksi dini permasalahan biro umrah. Berdasarkan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Nomor D/348 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan PMA 18/2015, biro umrah berkewajiban menyampaikan laporan rencana perjalanan umrah kepada Direktorat Pelayanan Haji dan Umrah dan tembusannya kepada Kantor Wilayah sesuai domisili penyelenggara selambat-lambatnya 15 hari sebelum waktu keberangkatan,  dan 15 hari setelah kepulangan. Informasi yang disampaikan antara lain jadwal pemberangkatan dan pemulangan, besar biaya penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah setiap paket, serta laporan kedatangan dan rencana kepulangan kepada Konsulat Jenderal RI Jeddah.

Selain itu, laporan tahunan rutin biro umrah yang diaudit akuntan publik seharusnya bisa jadi alat deteksi dini permasalahan biro umrah. Artinya satu saja rombongan umrah tidak jadi berangkat sesuai yang dijanji, dan adanya kejanggalan dalam besaran biaya umrah dan posisi keuangan biro umrah, Kemenag bisa mengetahui dengan cepat, dan bisa segera mencabut ijin biro umrah dimaksud, sehingga tidak harus menunggu terjadi akumulasi kegagalan keberangkatan hingga puluhan ribu jemaah.

Pemerintah juga ceroboh dalam penentuan bank garansi, yang hanya 200 juta dan tidak sebanding dengan nilai kewajiban First Travel. Bank garansi seharusnya bisa menjadi jaminan pembayaran dari Bank yang diberikan kepada pihak penerima jaminan apabila pihak yang dijamin tidak dapat memenuhi kewajiban atau cidera janji (Wanprestasi). Bila bank garansi memadai, Pemerintah tak perlu repot-repot mencari solusi atas permasalahan First Travel ini.

Keempat, terdapat celah hukum penggunaan dana haji. UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji membolehkan dana haji untuk kegiatan kemaslahatan umat Islam. Dana haji adalah dana umat Islam, sehingga sudah sewajarnya bila Pemerintah juga memperhatikan kepentingan jemaah umrah yang gagal berangkat. Toh tanggung jawab pengelolaan umrah ada pada Kementerian Agama yang membawahi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang mengelola dana haji.

Ganti rugi kepada jemaah umrah yang gagal, baik melalui refund, maupun dengan pemberangkatan, perlu dilakukan dalam rangka menjamin perlindungan dan kepastian hukum. Jaminan tersebut penting sebagaimana nasabah bank dijamin oleh LPS sehingga mereka tenang saat menyetorkan dananya ke bank. Tentu saja, jaminan ini tanpa menghilangkan proses hukum yang sedang berlangsung terhadap pemilik biro umrah yang nakal.

Terakhir, tanggung jawab Pemerintah dalam kasus First Travel bisa menjadi kredit poin tersendiri di mata rakyatnya. Inilah saatnya, negara hadir bagi warga negaranya!

*)Roziqin adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta. Penggiat LBH Pengurus Pusat Ansor. Tulisan adalah pendapat pribadi, tidak mencerminkan pendapat lembaga di mana saya bekerja.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait