Sejarah Munculnya Istilah Perppu dan ‘Cermin’ Subjektivitas Presiden
Fokus

Sejarah Munculnya Istilah Perppu dan ‘Cermin’ Subjektivitas Presiden

Istilah Perppu ternyata sudah ada dalam Rancangan UUD yang dibuat oleh Soepomo dkk tahun 1942. Makna "kegentingan yang memaksa" dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 bergantung pada subjektivitas masing-masing presiden. Untuk itu, perlu adanya pembatasan agar kewenangan tersebut tidak berujung pada penyalahgunaan wewenang.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Sejak diundangkan pada Juli 2017 lalu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) masih menjadi polemik di sejumlah kalangan. Bahkan, beberapa Ormas mencoba menguji Perppu itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Baca Juga: Yusril: Tidak Ada ‘Kegentingan Memaksa’ Terbitnya Perppu Ormas.

Sejak era pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui telah mengeluarkan empat Perppu. Pertama, Perppu No.1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengatur pengangkatan pimpinan sementara KPK pasca penetapan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai tersangka.

Kedua, Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Perppu Kebiri". Ketiga, Perppu No.1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Terakhir adalah "Perppu Ormas" yang kini ramai-ramai diuji ke MK.

Bila melihat dasar penerbitan keempat Perppu tersebut, tentu semuanya mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Begitu pula dengan Perppu-Perppu sebelumnya. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".

Nah, sebelum masuk pada bahasan "ihwal kegentingan memaksa", bagaimana awal mula munculnya istilah Perppu dalam urutan perundang-undangan? Kalau menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Katholik Atma Jaya Daniel Yusmic P Foekh, pemikiran soal Perppu sebenarnya sudah ada sejak sebelum 1945.

"Itu pemikiran Soepomo tentang Perppu itu. Tahun 1942, Soepomo, Soebardjo, dan Maramis melahirkan (draf) UUD. Itu dalam Pasal 5 draf (UUD) tentang Kepresidenan. Sementara, kita lihat dalam UUD 1945 pada waktu pembahanan di BPUPKI yang Panitia Kecil-nya juga Soepomo, justru Soepomo memasukan Pasal 5 itu ke dalam Pasal 22 di dalam Bab DPR," katanya. Baca Juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic

Lantas, hukumonline mencoba menelusuri sejumlah literatur klasik untuk mencari draf UUD Prof Dr Mr Soepomo, Mr A Soebardjo, dan Mr AA Maramis yang dibuat tahun 1942. Ternyata draf itu dilampirkan dalam buku "Naskah Persiapan UUD 1945 disiarkan dengan dibubuhi catatan oleh Prof Mr H Muhammad Yamin" (1959, Penerbit : Jajasan Prapantja).

Draf UUD yang disusun Soepomo, Soebardjo, dan Maramis tanggal4 April 1942 seperti diperoleh dalam naskah peninggalan Prof Dr Mr R Soepomo itu diberi nama "Rantjangan Permulaan dari Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia". Rancangan tersebut terdiri dari 11 BAB dan 74 Pasal, termasuk aturan-aturan perantaraan (overgangs bepalingen). Berikut rumusan Pasal 5:
Rantjangan Permulaan dari Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia
Pasal 5
Djika ada keperluan mendesak untuk mendjaga keselamatan umum atau mentjegah kekatjauan umum dan djika Dewan Perwakilan Rakjat tidak bersidang, Kepala Negeri jang membuat aturan-aturanPemerintah sebagai gantinja undang-undang.
Aturan-aturanpemerintah sematjam itu harus diserahkan sebelum waktu persidangan jang berikut dari DPR dan djika badan ini tidak menjetudjui aturan-aturanitu, maka pemerintah harus menerangkan bahwaaturan-aturantadi tidak berlaku untuk waktu jang akan datang.
Sumber : "Naskah Persiapan UUD 1945 disiarkan dengan dibubuhi catatan oleh Prof Mr H Muhammad Yamin"

Tak hanya Pasal 5 yang bunyinya hampir sama dengan Pasal 22 UUD 1945. Ada juga rumusan Pasal 11 "Rantjangan Permulaan dari Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia" yang hampir serupa dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 tentang kewenangan Presiden untuk menetapkan keadaan bahaya.

Rumusan Pasal 11 dimaksud adalah "Kepala Negeri menetapkan keadaan negeri dalam perang. Sjarat-sjarat dan akibat-akibat dari keadaan perang harus ditetapkan setjara undang-undang". Sementara, bunyi Pasal 12 UUD 1945 : "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syaratdan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang".

Selain Soepomo, Muhammad Yamin, dalam lampiran "Naskah Persiapan UUD 1945 disiarkan dengan dibubuhi catatan oleh Prof Mr H Muhammad Yamin", tercatat pernah menyampaikan "Rantjangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia" yang belum dibubuhi nomor pasal dan angka dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945.

Meski begitu, tidak disebutkan secara spesifik apakah rumusan dalam "Rantjangan Permulaan dari Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia" Soepomo dkk atau rancangan Muhammad Yamin itulah yang diadopsi dalam rancangan UUD saat pembahasan di rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Namun, berdasarkan Buku I Edisi Revisi: Naskah Komperhensif Perubahan UUD 1945 (2010, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK) Prof Dr Mr R Soepomo memang ditunjuk sebagai pimpinan Panitia Kecil oleh Panitia Hukum Dasar untuk memperlancar penyelesaian tugas-tugasnya, antara lain merumuskan materi hukum UUD.

Sebagaimana diketahui, pada April 1945, pemerintahan pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai. BPUPKI dipimpin oleh Dr KRT Radjiman Wediodiningrat. BPUPKI ini juga mempersiapkan rancangan UUD Republik Indonesia (RI).

BPUPKI membentuk Panitia Hukum Dasar yang diketuai oleh Ir Soekarno untuk menyusun rancangan batang tubuh UUD. Panitia Hukum Dasar ini pun kembali membentuk Panitia Kecil yang dipimpin Prof Dr Mr Soepomo, serta beranggotakan Mr Wongsonagoro, Mr A Soebardjo, Mr AA Maramis, Mr R Pandji Singgih, H Agoes Salim, dan Dr Soekiman.

Hukumonline mencoba menelusuri kumpulan "Risalah Sidang BPUPKI-PPKI tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945" yang diterbitkan Sekretariat Negara RI pada tahun 1995. Berdasarkan risalah tersebut, Prof Dr Mr Soepomo yang merupakan Ketua Panitia Kecil mengajukan laporannya dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 13 Agustus 1945.

Pasca laporan Prof Dr Mr Soepomo, terjadi perdebatan mengenai beberapa rumusan pasal dalam "Hukum Dasar" (kemudian diganti Soepomo menjadi UUD), sampai akhirnya disepakati sebuah rancangan UUD. Rancangan UUD ini dilampirkan kepada Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Djajadiningrat, Salim, dan Soepomo.

Dalam rancangan UUD tersebut, rumusan mengenai Perppu dan keadaan bahaya tertuang dalam Pasal 23 dan Pasal 10. Berikut rumusannya:
Rancangan UUD dalam Rapat Panitia Perancangan UUD tanggal 13 Agustus 1945
Pasal 23
(1) Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut
(3) Jika persetujuan tidak terdapat, peraturan pemerintah itu harus dicabut
Pasal 10
Presiden menyatakan "staat van beleg". Syarat-syaratdan akibat staat van beleg ditetapkan dengan undang-undang.
Sumber : "Risalah Sidang BPUPKI-PPKI tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945"

Setelah melalui Panitia Penghalus Bahasa, rancangan UUD itu dibahas dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945. Kala itu, Prof Dr Mr Soepomo mengubah istilah "Hukum Dasar" menjadi UUD. Pada 16 Juli 1945, BPUPKI kembali menggelar rapat besar untuk melanjutkan pembahasan rancangan UUD. Naskah rancangan UUD pun diterima oleh Rapat BPUPKI.

Mengingat tugas BPUPK telah selesai, pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI. Masih dalam kumpulan "Risalah Sidang BPUPKI-PPKI tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945", sehari pasca pembacaan Proklamasi Republik Indonesia, PPKI menggelar rapat besar pada 18 Agustus 1945 yang dipimpin Soekarno.

Soekarno "melempar" pasal per pasal rancangan UUD untuk dibahas dalam rapat besar tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rancangan UUD itu, tata letak Pasal 23 dan 10 telah berubah menjadi Pasal 22 dan 12. Istilah Belanda "staat van beleg" yang digunakan dalam Pasal 10 juga telah diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi "keadaan bahaya".

Dalam pembahasan, muncul perdebatan di beberapa pasal. Namun, tidak dengan Pasal 12. Pasal yang mengatur kewenangan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya itu langsung disepakati oleh anggota rapat. Adapun Pasal 22 yang mengatur tentang Perppu, sempat mendapat tanggapan dari R Otto Iskandardinata.

"Jadi, peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam sidangnya. Dalam praktiknya, presiden akan ditunjuk. Nanti presiden harus mengadakan peraturan yang harus disahkan oleh Dewan Perwakilan yang belum kita bentuk. bagaimana dengan hal ini?" tanya Otto yang dijawab Soepomo, "Itu sudah termasuk dalam peraturan peralihan", demikian dikutip dari "Risalah Sidang BPUPKI-PPKI tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945".

Selanjutnya, tidak ada lagi tanggapan mengenai Pasal 22. Setelah semua rumusan pasal dan masukan-masukan peserta rapat disepakati, rapat besar PPKI tanggal 18 Agustus 1945 memutuskan untuk menetapkan UUD Negara Republik Indonesia, serta memilih Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Berikut rumusan Pasal 22 dan 12 dalam UUD Negara Republik Indonesia yang ditetapkan dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 :
UUD 1945
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPRdalam persidangan yang berikut
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syaratdan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang
Sumber : "Risalah Sidang BPUPKI-PPKI tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945"

Sejak pertama kali ditetapkan menjadi UUD, rumusan Pasal 22 dan 12 tidak mengalami perubahan. Padahal, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Beberapa kalangan sempat memberikan masukan terhadap Pasal 22 dan 12 saat pembahasan amandemen UUD 1945 tahun 1999-2000. Namun, hingga kini, bunyi kedua pasal masih dipertahankan.

Kendati demikian, patut diketahui bahwa istilah Perppu sempat hilang dalam konstitusi Indonesia. Sebab, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 tidak mengenal istilah Perppu, melainkan UU Darurat. Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Indonesia kembali kepada UUD 1945 dan istilah Perppu kembali digunakan.

Kedudukan Perppu dan "kegentingan memaksa"
Dalam kondisi terkini tata urutan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan Perppu memang disejajarkan dengan UU. Namun, mengacu hasil kajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 2010, Perppu pernah ditempatkan di bawah UU.

Tak hanya di bawah UU, pada masa tertentu, ternyata Perppu pernah "didudukan" di bawah Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR (Gotong Royong) tanggal 20 Agustus 1959 Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara. Setelah masa itu berlalu, posisi Perppu kembali disejajarkan dengan UU, meski pernah pada tahun 2000 ditempatkan kembali di bawah UU.

Walau secara formal Perppu diposisikan sejajar dengan UU, Daniel Yusmic P Foekh berpendapat, Perppu tidak dapat disejajarkan dengan UU. Hal itu pulalah yang menyebabkan Daniel tidak sepakat jika MK dapat menguji Perppu. Ia memandang Perppu dengan menggunakan perspektif UU Darurat. Dalam konteks ini, ada perbedaan antara hukum tata negara normal dan hukum tata negara darurat.

"Yang namanya keadaan darurat, dia fungsinya satu, bagaimana mengembalikan keadaan genting atau darurat segera menjadi keadaan normal. Setelah itu, Perppu itu sudah tidak perlu lagi, UU Darurat itu tidak perlu lagi. Tapi, karena kelaziman kita bahwa dia disetujui jadi undang-undang, nah itu yang celaka sebetulnya," katanya kepada Hukumonline.

Daniel menjelaskan, bentuk tanda negara darurat terbagi atas dua, yaitu Pasal 22 dan 12 UUD 1945. Pasal 22 mengatur tentang hak presiden mengeluarkan Perppu jika terdapat "kegentingan memaksa", sedangkan Pasal 12 mengatur tentang kewenangan presiden untuk menetapkan "keadaan bahaya". Kedua pasal itu tidak dapat dipisahkan. Secara harfiah pun, kata "genting" artinya "berbahaya" dalam bahasa Melayu.

Karena itu, ia menilai, tingkatan "kegentingan memaksa" lebih tinggi dari bahaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya Perppu yang melanggar UUD 1945. Sebagai contoh, Perppu No.2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.

Perppu tersebut terbit pada 18 Oktober 2002, sedangkan peristiwa bom Bali terjadi pada 12 Oktober 2002. Apabila mengacu Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun adalah "hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (rekroaktif)". Namun, Perppu No.2 Tahun 2002 justru memberlakukan asas retroaktif.

Nah, jika presiden boleh menerbitkan Perppu yang melanggar (menerobos) UU, bahkan UUD, bagaimana cara mengukurnya? Daniel memberikan satu indikator utama mengapa presiden boleh melanggar UU. Indikator dimaksud adalah asas "salus populi suprema lex" yang menempatkan keselamatan rakyat/kepentingan umum sebagai hukum tertinggi.

"Jadi, itu sebenarnya harus dimaknai sebagai hukum. Bisa tertulis, bisa tidak tertulis, dan itu bisa dimaknai konstitusi. Di beberapa negara, atas dasar keadaan darurat, konstitusi pun bisa disimpangi. Kalau di beberapa negara seperti itu, terutama yang menganut hukum tata negara darurat subjektif," ujarnya.

Dalam bukunya "Hukum Tata Negara Darurat (1996, Penerbit : Djambatan), (Alm) Prof Mr Herman Sihombing juga menyinggung soal "kegentingan memaksa". Menurutnya, maksud dari "kegentingan yang memaksa" dan "bahaya" adalah sama. Bahkan, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 itu lebih genting dan amat terpaksa, sehingga tanpa menunggu syarat-syarat dalam suatu pembentukan UU, presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya atau darurat.

Sifat genting ini tertuang dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945 : "Pasal ini mengenai "Noodverordeningsrecht" Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini yang kekuatannya sama dengan UU harus disahkan pula oleh DPR".

Walau begitu, Prof Herman berpendapat, sebaiknya Perppu itu diajukan kepada DPR setelah bahaya atau ancaman bahaya sudah dapat dihadapi dengan upaya biasa (normal). Bukan ketika bahaya tersebut sedang menjadi-jadi dan masih nyata dihadapi oleh pemerintah. Sebab, pada umumnya, dalam kegentingan yang memaksa tidak mungkin diadakan persidangan DPR dan sudah dapat dipastikan bahwa persidangan DPR berikutnya diadakan setelah bahaya atau ancaman bahaya itu sudah berkurang/hilang. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan terhadap wewenang luar biasa presiden tetap dapat dilakukan DPR sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.

Mengingat kewenangan Presiden tersebut, Prof Herman memberikan sedikit catatan. Ia meminta agar harus ada keseimbangan antara bahaya yang mengancam dengan upaya/pranata dan wewenang luar biasa yang diberikan kepada penguasa bahaya (presiden). Kalau tidak, ia khawatir terjadi potensi besar penyalahgunaan kekuasaan, seperti yang dilakukan pemerintahan Nazi (Hitler) di Jerman.

Sementara, mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie dalam bukunya "Hukum Tata Negara Darurat" (2007, Penerbit : PT RajaGrafindo Persada) berpandangan, kegentingan memaksa yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tidak identik dengan keadaan bahaya yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Boleh jadi keadaan bahaya termasuk kategori keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa. Akan tetapi, alasan kegentingan yang memaksa tidak selalu merupakan keadaan bahaya.

"Artinya keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya daripada keadaan bahaya menurut Pasal 12. Dalam setiap keadaan bahaya, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang," demikian pendapat Prof Jimly. 

Subjektivitas presiden di berbagai era
Memang, kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu tidak meniadakan fungsi kontrol DPR. Sebab, Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan, Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Namun, sebelum sidang DPR, Perppu itu sudah berlaku dan memiliki akibat hukum.

Lantas, apa yang menjadi parameter presiden dalam menilai "hal ihwal kegentingan yang memaksa"? Pasalnya, sejauh ini, belum ada parameter yang baku mengenai "kegentingan memaksa" tersebut. Adapun tiga syarat Perppu yang diberikan MK dalam putusan uji materi Nomor 138/PUU-VII/2009, tidak bersifat mengikat karena tidak terdapat dalam amar, melainkan pertimbangan putusan.

MK dalam pertimbangannya telah memberi tiga syarat penerbitan Perppu. Pertama, apabila ada keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, apabila UU yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU, tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama. Sementara, ada keadaan mendesak yang memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

Prof Jimly, dalam bukunya mengatakan, ketika Perppu ditetapkan oleh presiden berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, penentuan adanya "hal ihwal kegentingan yang memaksa" semata-mata didasarkan atas penilaian subjektif, yaitu berdasarkan subjektivitas Presiden. Penilaian mengenai "hal ihwal kegentingan yang memaksa" baru menjadi objektif setelah dinilai atau mendapat persetujuan DPR.

Hal senada disampaikan oleh Daniel Yusmic P Foekh. Ia melihat, selama ini, Indonesia menganut hukum tata negara darurat subjektif, sehingga ukuran presiden dalam menetapkan "kegentingan memaksa" juga sangat subjektif. Namun, sesubjektif apapun, satu hal paling mendasar adalah adanya kepentingan negara. Baca Juga: Inilah Daftar Perppu di Era Presiden SBY 

Meski sulit menentukan parameter yang digunakan masing-masing presiden untuk menetapkan "ihwal kegentingan yang memaksa", setidaknya subjektivitas Presiden di berbagai era pemerintahan dapat terlihat dari tren Perppu yang mereka terbitkan. Daniel mengungkapkan, total Perppu yang diterbitkan sejak era Presiden Soekarno hingga Jokowi berjumlah 214 Perppu.

Jumlah Perppu itu sudah termasuk Perppu yang dikeluarkan oleh Pejabat Presiden Ir Juanda dan Mr Assaat. Apabila dirinci, masing-masing, Soekarno menerbitkan 143 Perppu, Juanda 24 Perppu, Assaat 6 Perppu, Soeharto 8 Perppu, BJ Habibie 3 Perppu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 3 Perppu, Megawati Soekarnoputri 4 Perppu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 19 Perppu, dan Jokowi 4 Perppu.

Berikut sebagian Perppu yang pernah diterbitkan Presiden dan Pejabat Presiden dari masa ke masa :
Tags:

Berita Terkait