ICLA: Durasi Penanganan Keberatan Putusan KPPU di Pengadilan Negeri Terlalu Cepat
Berita

ICLA: Durasi Penanganan Keberatan Putusan KPPU di Pengadilan Negeri Terlalu Cepat

Seharusnya proses di Pengadilan Negeri memberi ruang kepada terlapor dan kuasa hukumnya untuk menguji kembali keputusan yang telah dikeluarkan oleh KPPU.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengatur ketentuan penanganan upaya hukum keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di tingkat Pengadilan Negeri selama 30 hari. Kemudian draft perubahan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan tambahan waktu penangan menjadi 45 hari.

“Itu artinya tidak memberikan ruang yang cukup bagi hakim untuk memeriksa perkara ini dengan waktu yang harusnya sangat luas apalagi ketika perkaranya melibatkan banyak pihak.” ujar Ketua Umum Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), Asep Ridwan, dalam diskusi mengenai Perubahan Undang-Undang Persaingan Usaha, Senin (4/9), di Jakarta.

Menurut Asep, jangka waktu yang ada saat ini, berikut jangka waktu yang diatur dalam draft perubahan UU sangatlah singkat. Hal tersebut tidak memberikan kesempatan yang luas bagi pihak terlapor yang diputus bersalah oleh KPPU untuk men-challenge keputusan tersebut lewat upaya hukum keberatan di Pengadilan Negeri. “Tidak ada ruang waktu yang cukup,” ujarnya.

Durasi waktu yang sedemikian singkat, menurut Asep, kerap menjadi penghambat bagi advokat untuk mengajukan bukti-bukti baru di Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, advokat hanya bisa mengajukan memori alasan keberatannya di hadapan Pengadilan Negeri. Seharusnya, upaya hukum keberatan yang diajukan oleh terlapor di Pengadilan Negeri bisa menjadi ajang pembuktian baru dengan menghadirkan dokumen, saksi ahli dan sebagainya.

Asep menyampaikan, selama ini pengajuan dokumen dan berkas-berkas di Pengadilan Negeri untuk pemeriksaan hanya merupakan dokumen dan berkas yang berasal dari KPPU. Ia tidak menampik bahwa dokumen yang berasal dari KPPU tersebut juga merupakan dokumen yang berasal dari terlapor saat diperiksa oleh investigator. (Baca Juga Liputan Khusus: Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha)

Namun yang menjadi kendala, bisa saja dokumen yang dihadirkan sudah dipilih terlebih dahulu sesuai kebutuhan KPPU. Sedangkan dalam proses di Pengadilan, seringkali terlapor ingin mengajukan hal-hal baru yang tidak terdapat dalam persidangan di KPPU.  

“Benar dokumen-dokumen itu dari para terlapor tapi kan dokumen (yang dihadirkan di pengadilan) lebih pada dokumen yang KPPU menemukan ingin seperti apa. Sedangkan setelah diputuskan, seringkali teradapat hal baru yang bahkan kadang-kadang tidak ada dalam proses persidangan,” ujar Asep.

Menurut Asep, seharusnya proses di Pengadilan Negeri memberi ruang kepada terlapor dan kuasa hukumnya untuk menguji kembali putusan yang telah dikeluarkan oleh KPPU. Mengacu ke best practice di luar negeri, proses pemeriksaan di Pengadilan memberi kesempatan untuk diuji secara menyeluruh keputusan komisi. 

“Pihak yang mengajukan complain harus diberikan keleluasaan untuk mengajukan berbagai dokumen, berbagai bukti, berbagai saksi-saksi, untuk menguji apakah KPPU itu putusannya sudah tepat atau tidak. Tidak dibatasi dengan jangka waktu seperti sekarang ini dan tidak dibatasi dengan kita tidak boleh mengajukan dokumen,” terang Asep.

Asep menambahkan bahwa dokumen yang dihadirkan dalam proses di Pengadilan adalah dokumen yang diminta oleh majelis hakim Pengadilan Negeri, bukan dokumen yang dihadirkan berdasarkan inisiatif terlapor dan kuasa hukumnya. Hal ini resisten terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh KPPU. Sebagai lembaga yang di dalamnya melekan kewenangan memeriksa, menuntut, dan memutus perkara, Asep menilai ada kemungkinan konflik kepentingan di dalamnya. (Baca Juga: Berharap ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lebih Bertaji)

“Apakah dia bisa memutus secara fair ketika dia juga adalah lembaga penuntut? Walaupun sekarang ada pemeriksaan antara investigator dengan komisioner. Yah itu kan tetap satu lembaga, jadi susah,” ujar Asep.

Selanjutnya, Asep mengatakan apabila status KPPU merupakan lembaga negara, seharusnya putusan KPPU dapat diperlakukan layaknya putusan lembaga negara. Maksudnya adalah, terhadap putusan KPPU, terbuka kesempatan untuk diajukan keberatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena menurut Asep, proses pemeriksaan di PTUN lebih luas secara waktu.

“Jangka waktunya juga bisa 6 bulan bahkan bisa sesuai dengan kebutuhan acara, sesuai dengan banyak saksi-saksi, bukti-bukti, ahli, dan macam-macamnya,” terangnya.

Di acara yang sama, Komisioner KPPU Chandra Setiawan mengatakan tujuan dari waktu pemeriksaan di Pengadilan yang hanya 30 hari adalah agar iklim usaha segera mendapatkan kepastian hukum atas keberadaan sebuah perkara yang tengah berjalan. Namun dengan adanya masukan seperti ini maka terkait persoalan durasi pemeriksaan keberatan di Pengadilan, bisa dibahas lebih jauh di DPR.

Menanggapi hal tersebut, Asep menilai persoalan kepastian hukum tidak akan ada pengaruhnya selama suatu keputusan KPPU belum memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga pelaksanaan terhadap putusan tersebut masih menunggu proses keberatan tersebut selesai di Mahkamah Agung.

“Putusan yang belum inkracth kan belum bisa dilaksanakan jadi tetap gak ada masalah masih harus menunggu putusannya BHT (berkekuatan hukum tetap) juga kan,” kata Asep.

Menurut Asep, hal yang lebih penting dari proses di Pengadilan adalah tercapainya keadilan. Oleh karena itu ia menilai kecepatan durasi penyelesaian keberatan terhadap putusan KPPU di Pengadilan mestinya bukan menjadi prioritas apabila malah menimbulkan ketidakadilan.

“Karena bukan hanya sekedar hari, kita pengen punya keleluasaan untuk menguji secara penuh termasuk bukti, dokumen, saksi ahli dan semacamnya, untuk memastikan apakah putusan ini sudah tetap atau tidak. Biarlah pengadilan yang memutus sebagai pihak ketiga karena kalau KPPU bisa saja terdapat kecurigaan yah,” terangnya. 

Selain masukan terhadap aspek materiil, Asep juga memberi catatan untuk aspek formil dari perubahan UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut Asep, ketentuan mengenai diskriminasi seharusnya diletakkan dalam ketentuan Posisi Dominan. Karena menurut dia, hanya pelaku usaha yang memiliki posisi dominan lah yang memiliki kemampuan untuk melakukan diskriminasi.

Oleh karena itu, Asep menyarankan untuk pengaturan ketentuan diskriminasi yang saat ini menjadi domain hal-hal yang dilarang sebaiknya diubah menjadi domain posisi dominan.

“Pengusaha kecil yang tidak ada pengaruh di pasar, walau dia melakukan predatory of pricing gak akan berpengaruh di pasar. Dampak efek sampingnya juga tak akan besar. Di sistematika yang ada saat ini dimungkinkan, pelaku usaha kecil bisa dianggap diskriminasi karena memenuhi alasan itu dan dalam konteks pelaku usaha itu mempunyai posisi dominan di pasar. Kalau posisi dominan di mana semuanya bergantung kepada kita tentu akan berpengaruh,” pungkas Asep.

Tags:

Berita Terkait