Aturan Baru Controlled Foreign Company, Korporasi Dipersulit ‘Pecah-Pecah’ Saham
Berita

Aturan Baru Controlled Foreign Company, Korporasi Dipersulit ‘Pecah-Pecah’ Saham

Aturan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 256/PMK.03/2008 tersebut memuat enam pokok-pokok perubahan yang mengadopsi rekomendasi Final Report Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan 3.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Acara konferensi pers Ditjen Pajak, Senin (4/9). Foto: NNP
Acara konferensi pers Ditjen Pajak, Senin (4/9). Foto: NNP
Direktorat Jenderal Pajak pada Kementerian Keuangan semakin memperketat ‘ruang gerak’ korporasi penghindar pajak yang masih melakukan pengalihan penghasilan (profit shifting) kepada anak perusahaannya di luar negeri. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan revisi ketentuan terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki Wajib Pajak (WP) Indonesia atau dikenal Controlled Foreign Company (CFC).

Direktur Perpajakan Internasional pada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, P.M John L Hutagaol mengatakan bahwa praktik penghindaran pajak masih lazim terjadi lantaran regulasi yang ada selama ini belum sempurna dari segi substansi aturannya.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Keuangan akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107/PMK.03/2017 Tahun 2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.

“Aturan ini (PMK 107 Tahun 2017) penyempurnaan dari PMK Nomor 256/PMK.03/2008 Tahun 2008 yang menurut kita sudah harus segera disempurnakan agar menyesuaikan dengan kondisi,” kata John dalam konfernsi pers di Jakarta Senin (4/9).

John menambahkan, revisi aturan tersebut sejalan dengan berbagai inisiatif global seperti yang diinsiasi oleh G-20 kepada OECD melalui rekomendasi Final Report Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan 3 tahun 2015. Dalam rekomendasi tersebut, terdapat sejumlah inisiatif yang coba diakomodir oleh Kementerian Keuangan dalam PMK Nomor 107 Tahun 2017 sebagai penyempurnaan PMK sebelumnya yakni PMK Nomor 256 Tahun 2008.

“Kita coba keluarkan standar pajak global untuk counter masalah aggressive tax planning yang sebabkan BEPS dengan cara alihkan profit ke negara dengan tarif pajak lebih rendah,” kata John. (Baca Juga: Paket Kebijakan Ekonomi XVI Diluncurkan, Ini Ringkasan Perpresnya)

Di tempat yang sama, Kepala Seksi Perjanjian dan Kerja Sama Perpajakan Internasional II pada Ditjen Pajak, Ahmad Sadiq Urwah F.M. menjelaskan bahwa PMK Nomor 107 Tahun 2017 telah mengadopsi sejumlah rekomendasi BEPS sehingga kurang lebih terdapat enam substansi baru serta sebagian lainnya merupakan perubahan dari aturan sebelumnya. Namun, Ditjen Pajak tidak dapat mengadopsi seluruh rekomendasi karena tidak seluruhnya memungkinkan dimasukan ke dalam substansi revisi PMK Nomor 256 Tahun 2008.

Sebagai gambaran, kata Sadiq, implementasi PMK Nomor 256 Tahun 2008 dirasa belum sempurna lantaran Wajib Pajak mudah menghindari hanya dengan cara pembagian jumlah dividen yang tidak signifikan.

Patut diketahui, aturan CFC ini mengatur kapan dividen harus dilaporkan sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak dalam negeri. Dalam keadaan normal, Wajib Pajak dalam negeri yang punya penyertaan pada badan usaha luar negeri hanya dikenai pajak ketika anak perusahaan atau badan usaha di luar negeri membagikan atau mendistribusikan deviden.

“Normalnya seperti itu tapi khusus anak perusahaan atau subsdiary yang dikendalikan atau dimiliki WP dalam negeri minimal 50 persen, maka saat diperoleh penghasilan itu ditetapkan oleh menteri keuangna sesuai yang ada pada Pasal 18 ayat (2) UU Pph,” kata Sadiq.

Sadiq melanjutkan, terkait dividen anak perusahaan yang dikendalikan dengan 50 persen, PMK Nomor 107 Tahun 2017 tidak menunggu dividen didistribusikan untuk dilaporkan dalam SPT tahunan Wajib Pajak dalam negeri. Selain itu, kelemahan PMK Nomor 256 Tahun 2008 yakni tidak ada batasan 50 persen sehingga Wajib Pajak dapat lakukan tax planning dengna cara ‘memecah’ kepemilikannya sehingga kurang dari 50 persen. (Baca Juga: PMK Ini Atur Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Pinjaman Daerah 2018)

“Diketentuan baru, ada anti fragmentation rules, ini WP agak sulit pecah-pecah besarnya kepemilikan dan lepas dari ketentuan CFC ini,” kata Sadiq.

Berikut enam poin perubahan dalam PMK Nomor 107 Tahun 2017:

Pertama, lingkup penyertaan modal. PMK Nomor 107 Tahun 2017 menegaskan bahwa ruang lingkup penyertaan modal juga berlaku untuk kepemilikan langsung dan tidak langsung. Dalam praktiknya, kata Sadiq, banyak kalangan berpendapat bahwa penyertaan modal tersebut hanya berlaku buat kepemilikan langsung. Dalam aturan yang baru, dipertegas bahwa penyertaan modal berlaku untuk kepemikan langsung dan tidak langsung.

“(selama ini) diasumsikan hanya untuk kepemilkan langsung atau satu layer saja. Untuk PMK baru, diperjelas bahwa ketentuan CFC apply lebih dari satu layer sepanjang memenuhi kriteria dikendalikan,” kata Sadiq.

Kedua, pengaturan saat diperolehnya dividen (deemed dividend). Sadiq menjelaskan, sebetulnya tidak ada perubahan perolehan dividen yakni empat bulan setelah sampaikan SPT tahunan anak perusahaan di luar negeri yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT tahunan dan tujuh bulan bagi perusahaan yang tidak wajib lapor SPT tahunan.

Ketiga, pengaturan terkait penyertaan modal. kata Sadiq, ketentuan tersebut merupakan salah satu bentuk anti avoidance yang diadopsi PMK sepanjang Wajib Pajak dalam negeri kendalikan perusahaan melalui trust.

Keempat, ketentuan pengendalian atau batasan 50 persen. Kata Sadiq, batasan 50 persen tersebut ditentukan oleh dua alternatif, pertama, nilai saham yang diterbitkan dan kedua, nilai saham yang punya hak suara saja. Dalam hal, anak perusahaan punya beberapa saham, diambil alternatif penentuan apakah melewati batasan 50 persen atau tidak.

Kelima, pengaturan penghitungan deemed dividend dan kredit pajak luar negeri (foreign tax credit). Kata Sadiq, PMK Nomor 107 Tahun 2017 memberikan cara perhitungan agar memberikan kepastian bagi Wajib Pajak dan Fiskus untuk menghitung besaran deemed dividend yang harus dilaporkan atas pengendalian atas suatu badan usaha luar negeri non bursa.

Keenam, meminimalisir pengenaan pajak berganda (P3B). kata Sadiq, lantaran punya sifat yang berbeda dengan dividen pada umumnya maka diadopsi mekanisme agar dapat diminimalisir pengenanaan pajak berganda dengan dua pendekatan. Pertama, untuk dividen yang diterima dan pada tahun sebelumnya sudah di deemed dividend, maka tidak dikenai pajak penghasilan dan kedua, pengakuan foreign tax credit yang diterima dengan diperjelas di PMK Nomor 107 Tahun 2017 dari sebelumnya.

“Diharapkan kurangi riskio atau memberikan disinsentif untuk pindahkan laba ke luar negeri termasukjadi ‘pintu terakhir’ (backstop) bagi praktik transfer pricing yang abusive dan meningkatkan penerimaan dari basis pajak baru dari deemed dividend,” kata Sadiq.
Tags:

Berita Terkait