Konsep Hubungan Kerja dalam Peralihan Aset Migas
Kolom

Konsep Hubungan Kerja dalam Peralihan Aset Migas

Konsep hukum yang relevan dan dapat digunakan sebagai premis mayor dalam permasalahan ini adalah konsep bahwa hubungan kerja harus memenuhi unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah.

Nugroho Eko Priamoko. Foto: Istimewa
Nugroho Eko Priamoko. Foto: Istimewa
Kegiatan usaha hulu migas dicirikan sebagai kegiatan yang membutuhkan biaya tinggi, dengan dukungan teknologi tinggi, dan yang pasti memiliki risiko tinggi. Tingginya risiko kegiatan hulu migas tergambar dalam satu studi yang dilakukan Fiona Macmillan, bahwa 9 dari 10 sumur yang dibor gagal menemukan hidrokarbon dalam jumlah yang komersial. Bahkan kegiatan eksplorasi migas di Laut Utara, hanya 2% yang berhasil menemukan hidrokarbon dalam jumlah yang komersial.[1]

Data dari dalam negeri dilaporkan bahwa Murphy Oil Corporation harus kehilangan investasi senilai AS$215 juta karena gagal menemukan hidrokarbon secara komersial di Sumur Lengkuas 1 Blok Semai II Papua. Demikian pula Hess yang kehilangan investasi senilai AS$223 juta karena kegagalannya pada dua sumur di Blok Semai V Papua.[2]

Menyikapi kondisi yang demikian para pelaku usaha di bidang hulu migas melakukan berbagai mitigasi untuk mengelola risiko. Salah satu upaya yang dilakukan dalam mengelola risiko adalah dengan mengalihkan aset atau protofolionya. Dalam perspektif yang demikian maka terjadi peralihan aset merupakan suatu hal yang sangat lazim untuk terjadi.

Namun dalam perkembangannya, masalah peralihan aset ini semakin hari semakin menarik dan sering diperbincangkan di ruang publik. Salah satu sebabnya adalah karena dalam proses peralihan aset melibatkan komponen manusia. Segala perbincangan yang menyangkut aspek manusia dipastikan akan menjadi diskusi yang menarik, karena tidak mungkin berjalan linear tetapi pasti akan dipengaruhi berbagai macam faktor teknis dan non teknis.

Mengenai proses peralihan aset sendiri, ia bisa terjadi dalam berbagai skenario. Perlu disampaikan di sini bahwa mitigasi risiko hanyalah salah satu penyebab terjadinya peralihan aset. Penyebab lain yang bisa disebut adalah terjadi demi hukum, misalnya dalam hal berakhirnya jangka waktu Kontrak Kerja Sama migas. Di bawah ini akan disajikan beberapa skenario peralihan aset migas dengan karakteristiknya.
ReferensiSkenario PeralihanKarakteristik
Pasal 33 (1) PP No.35/2004Mengalihkan, menyerahkan, memindahtangankan sebagian asetKegiatan operasi tetap berjalan, operasi bisa dilakukan oleh operator lama
Pasal 33 (1) PP No.35/2004Mengalihkan, menyerahkan, memindahtangankan seluruh asetKegiatan operasi tetap berjalan, operasi dilakukan oleh operator  baru
Pasal 27 (1) PP No.35/2004Berakhirnya jangka waktu Kontrak Kerja Sama MigasKegiatan operasi tetap berjalan, operasi dilakukan oleh operator  baru
Pasal 27 (4) PP No.35/2004[3]Tidak ditemukan cadangan minyak secara komersilKegiatan operasi berhenti

Sebagaimana penulis sampaikan di muka, meskipun proses peralihan aset banyak terkait dengan aspek manusia, atau secara spesifik terkait aspek hubungan industrial, namun hukum positif Indonesia, khususnya hukum ketenagakerjaan belum mengatur secara jelas dan lengkap permasalahan tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang kita jumpai ketentuan Pasal 163 yang menyinggung masalah PHK akibat penolakan pekerja atau pengusaha sehubungan dengan terjadinya perubahan status atau perubahan kepemilikan. Namun tidak ada pengaturan mengenai konsep hubungan kerja dalam skenario peralihan aset yang lebih luas. Hal ini tentu tidak terlepas dari karakteristik hukum positif, khususnya hukum tertulis yang bersifat kaku. Kekakuan ini menimbulkan implikasi bahwa selalu akan terjadi kesenjangan antara hukum dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya.[4]

Terkait topik yang sedang kita bicarakan ini, kesenjangan tersebut dapat kita buktikan dengan adanya beberapa pertanyaan yang tidak dapat seketika dijawab oleh hukum, misalnya apakah dengan terjadinya peralihan aset akan secara otomatis terjadi PHK. Jika terjadi PHK bagaimana kompensasi yang akan diterima oleh pekerja.

Menghadapi kesenjangan peraturan tersebut dan untuk menjawab pertanyaan di atas, maka perlu dilakukan penemuan hukum. Selama ini sering dipahami bahwa penemuan hukum hanyalah dilakukan oleh hakim saja. Hal ini bisa dimengerti karena memang hakimlah yang berdasarkan profesinya memang bertugas untuk menemukan hukum ketika menjumpai kekosongan hukum dalam suatu peristiwa kongkrit. Namun sesungguhnya penemuan hukum dapat dilakukan oleh setiap pencari keadilan, yaitu siapa saja yang berkepentingan untuk menggunakan hukum dalam suatu peristiwa kongkrit.[5]

Untuk menemukan hukum, ada beberapa metode yang biasa digunakan. Apabila dijumpai aturan yang tidak jelas maka metode yang digunakan adalah metode interpretasi, jika aturan tidak lengkap maka digunakan metode argumentasi, sedangkan jika aturan tidak ada maka digunakan metode konstruksi hukum.[6]

Sebagaimana disebutkan di atas, hukum positif Indonesia tidak secara jelas dan lengkap mengatur masalah hubungan kerja sehubungan dengan terjadinya peralihan aset, khususnya di bidang migas. Oleh karena itu untuk menemukan hukumnya akan dicoba untuk menerapkan metode interpretasi. Dalam hal ini yang akan digunakan adalah interpretasi subsumptif, yaitu dengan menerapkan aturan atau konsep hukum yang ada dalam peristiwa hukum konkrit dengan menerapkan silogisme.[7]

Konsep hukum yang relevan dan dapat digunakan sebagai premis mayor dalam permasalahan ini adalah konsep bahwa hubungan kerja harus memenuhi unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah. Konsep ini diatur dalam Pasal 1 butir 15 Undang-undang No.13 tahun 2003. Sedangkan untuk premis minor adalah peristiwa hukum yang dijumpai dalam skenario-skenario peralihan aset sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Berdasarkan skema yang demikian, maka hasil analisanya dapat digambarkan sebagai berikut:
Skenario Peralihan & KarakteristikKonsep Hukum - Premis MayorPeristiwa Hukum – Premis MinorKesimpulan
Mengalihkan  sebagian aset, kegiatan operasi tetap berjalan, operasi bisa dilakukan oleh operator lama Hubungan kerja harus memenuhi unsur pekerjaan, upah dan perintahunsur pekerjaan, upah dan perintah, bisa dilakukan oleh operator lamaHubungan kerja berlanjut
Mengalihkan seluruh aset, Kegiatan operasi tetap berjalan, operasi dilakukan oleh operator  baru Hubungan kerja harus memenuhi unsur pekerjaan, upah dan perintahunsur pekerjaan, upah dan perintah,  dilakukan oleh operator baruHubungan kerja berlanjut
Jangka waktu Kontrak berakhir, Kegiatan operasi tetap berjalan, operasi dilakukan oleh operator  baru Hubungan kerja harus memenuhi unsur pekerjaan, upah dan perintahunsur pekerjaan, upah dan perintah,  dilakukan oleh operator baruHubungan kerja berlanjut
Tidak ditemukan cadangan minyak secara komersil, Kegiatan operasi berhentiHubungan kerja harus memenuhi unsur pekerjaan, upah dan perintahunsur pekerjaan, upah dan perintah tidak ada lagiHubungan kerja terhenti (PHK)

Berdasarkan analisa dan pemetaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya peralihan aset tidak menyebabkan terhentinya hubungan kerja, meskipun boleh jadi pihak pengusahanya berganti. Hal ini karena terjadinya peralihan aset tidak menghentikan kegiatan operasi, sehingga unsur pekerjaan, upah dan perintah tetap ada. Berbeda halnya dengan skenario tidak diketemukannya cadangan minyak, karena kegiatan operasi tidak ada lagi maka hubungan kerja juga tidak ada lagi.

Kesimpulan yang sama juga kita peroleh jika kita menggunakan metode argumentasi analogi (argumentum per analogiam). Metode ini dilakukan dengan cara memperluas ketentuan yang ruang lingkupnya sempit dan diterapkan perhadap peristiwa konkrit yang serupa dengan yang diatur dalam ketentuan tersebut.[8]

Dalam hal ini kita melakukan analogi terhadap ketentuan Pasal 61 ayat (2) Undang-undang No.13 tahun 2003, yang berbunyi: Perjanjian Kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah. Esensi dari peraturan tersebut adalah terjadinya peralihan hak atas perusahaan.

Meskipun dalam pasal tersebut hanya memuat penjualan, pewarisan atau hibah, namun secara analogi harus berlaku juga terhadap peralihan hak atas perusahaan dalam bentuk lain, yaitu peralihan aset baik sebagian atau seluruhnya maupun perubahan operator karena berakhirnya jangka waktu kontrak kerja sama migas. Dengan demikian berdasarkan analogi atas ketentuan Pasal 61 ayat (1) tersebut dapat pula kita simpulkan bahwa perjanjian kerja tidak berakhir dalam hal terjadi peralihan aset.

Satu metode lain lagi yang dapat dipergunakan untuk menganalisa permasalahan di atas adalah argumentasi a contrario, yaitu dengan mendasarkan diri pada pengertian yang sebaliknya dari peristiwa kongkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Apabila suatu peristiwa diatur dalam undang-undang, tetapi peristiwa lain yang mirip tidak, maka berlaku hal sebaliknya.[9] Dalam hal ini ketentuan yang akan dianalisa secara argumentasi a contrario adalah ketentuan Pasal 163 ayat Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, sebagai berikut:

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Ketentuan Pasal 163 ayat (1) menyatakan bahwa akan terjadi PHK jika terjadi peralihan aset dan pekerja tidak bersedia meneruskan hubungan kerjanya. Ketentuan ini tidak mengatur bagaimana jika pekerja bersedia meneruskan hubungan kerjanya. Oleh karena itu dengan menggunakan  argumentasi a contrario harus dimaknai secara sebaliknya, yaitu bahwa jika terjadi peralihan aset dan pekerja bersedia meneruskan hubungan kerjanya maka tidak terjadi PHK.

Demikian pula dengan ketentuan Pasal 163 ayat (2) yang menyatakan bahwa akan terjadi PHK jika terjadi peralihan aset dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerjanya. Dengan menggunakan  argumentasi a contrario harus dimaknai  bahwa jika terjadi peralihan aset dan pengusaha bersedia menerima pekerjanya maka tidak terjadi PHK.

Demikianlah sampai di sini kita bisa simpukan bahwa dengan menggunakan metode interpretasi subsumptif dan argumentasi analogi serta a contrario, dapat disimpulkan bahwa dalam hal terjadinya peralihan aset, maka hubungan kerja tetap berlanjut dan tidak terjadi PHK. Kesimpulan demikian kiranya sejalan dengan prinsip Tranfer of Undertaking (Protection of Employment) – TUPE. Prinsip ini pada pokoknya mengatur bahwa dalam hal terjadi peralihan penguasaan atas aset atau usaha, maka harus ada jaminan kelangsungan hubungan kerja.

Meskipun di Indonesia prinsip TUPE hanya diberlakukan pada kegiatan alih daya, namun di tempat asalnya di Uni Eropa prinsip TUPE diberlakukan untuk segala jenis peralihan bisnis. Jika mengikuti spiritnya, maka seharusnya prisip TUPE juga bisa menjadi rujukan dalam hal terjadinya peralihan aset di industri migas.[10]

Uraian yang penulis sampaikan di atas merupakan analisa atas konsep-konsep di bidang hukum ketenagakerjaan. Perlu kiranya digarisbawahi bahwa bidang hukum migas juga memiliki konsep-konsep sendiri yang boleh jadi memiliki relevansi untuk juga dianalisa dalam permasalahan di atas.

Salah satu konsep yang dikenal dalam hukum migas adalah konsep ring fencing. Konsep ini menyatakan bahwa satu Wilayah Kerja dalam satu Kontrak Kerja Sama migas harus dipagari. Artinya hanya pendapatan dan biaya dari Kontrak Kerja Sama tersebut yang dapat diperhitungkan dalam pembagian produksi dan laporan keuangan Kontrak Kerja Sama itu sendiri.[11]

Dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan, maka segala biaya dan kewajiban yang timbul dari hubungan kerja di bawah satu Kontrak Kerja Sama tidak boleh dibebankan kepada Kontrak Kerja Sama lain. Maka jika terjadi peralihan aset karena berakhirnya suatu Kontrak Kerja Sama, dan kegiatan operasi dilanjutkan oleh operator lain di bawah Kontrak Kerja Sama baru, segala kewajiban dan biaya pegawai harus diselesaikan dan tidak boleh dialihkan. Hal ini berarti harus dilakukan PHK.

Di titik ini kita menjumpai kontradiksi. Di satu sisi jika merujuk pada konsep-konsep hukum ketenagakerjaan, jika terjadi peralihan aset maka pada dasarnya hubungan kerja tetap berlanjut. Namun di sisi lain, berdasar konsep dalam hukum migas, dalam hal terjadi peralihan aset karena berakhirnya suatu Kontrak Kerja Sama, harus dilakukan PHK.

Kontradiksi ini jika tidak diselesaikan tentu akan menimbulkan permasalahan dalam praktik. Hal ini menjadi semakin menarik untuk dibicarakan mengingat saat ini isu terkait berakhirnya Kontrak Kerja Sama migas sedang marak dibicarakan. Terutama jika mengingat banyaknya Kontrak Kerja Sama migas yang akan berakhir dalam waktu dekat.[12] Artinya akan semakin banyak pertanyaan mengenai status hubungan kerja sehubungan dengan berakhirnya jangka waktu Kontrak Kerja Sama migas.

Untunglah hukum itu merupakan satu sistem yang terintegrasi, di mana hukum ketenagakerjaan dan hukum migas merupakan bagian dari padanya. Suatu pertentangan mungkin saja terjadi antara konsep-konsep yang berada di bawah sub sistem hukum yang berbeda, namun sistem hukum memiliki mekanisme sendiri untuk mendamaikannya. Alat pendamai tersebut adalah asas hukum. Asas hukum tidak hanya memberikan dimensi etis bagi sistem hukum, ia juga menjadi penyeimbang. Asas hukum sering menunjuk kepada kaedah yang berlawanan dan saling mengendalikan dan membatasi sehingga tercipta keseimbangan.[13]

Contoh yang sering kali dikemukakan adalah asas lex superior derogat legi inferiori, bahwa satu peraturan atau konsep hukum yang tinggi akan mengesampingkan yang lebih rendah. Atau asas lex specialis derogat legi generali, bahwa satu peraturan atau konsep hukum yang khusus akan mengesampingkan yang umum.

Kembali pada permasalahan yang kita diskusikan, hukum ketenagakerjaan dan hukum migas sama-sama merupakan hukum yang bersifat khusus di bawah payung hukum perdata. Sehingga asas lex specialis derogat legi generali tidak akan bisa membantu kita dalam menentukan konsep hukum mana yang berlaku dan mana yang dikesampingkan.

Dalam kondisi demikian ada satu asas hukum lain yang merupakan pengembangan dari asas lex specialis derogat legi generali, yaitu asas lex consumens derogat legi consumptae, yang secara bebas bisa diterjemahkan ketentuan atau konsep hukum yang dominan memakan/mengalahkan ketentuan lain yang tidak dominan. Contoh dari penerapan asas ini adalah dalam kasus penipuan dengan memalsukan surat. Dalam kasus ini, penipuan merupakan kondisi yang dominan, sedangkan pemalsuan surat merupakan cara atau metodenya saja. Oleh karena itu ketentuan pidana mengenai penipuan yang diterapkan.[14]

Terkait dengan masalah berakhirnya jangka waktu Kontrak Kerja Sama migas, dapat dikatakan bahwa yang mendominasi adalah masalah operasional hulu migas, sedangkan masalah hubungan kerja merupakan salah satu dampaknya saja. Oleh karena itu dalam kondisi demikian konsep dalam hukum migas yang harus diberlakukan. Artinya, dalam hal terjadinya peralihan aset karena berakhirnya jangka waktu Kontrak Kerja Sama migas, hubungan kerja harus dianggap putus dan dilakukan PHK. Hal ini karena adanya konsep ring fencing, yaitu bahwa urusan ketenagakerjaan di bawah Kontrak Kerja Sama migas yang berakhir harus dianggap selesai dan tidak dipindahkan ke dalam Kontrak Kerja Sama migas yang baru.

Pendekatan yang demikian ternyata juga sejalan dengan kebutuhan dalam praktik. Para pekerja migas cenderung kepada pendekatan yang demikian karena menginginkan segera mendapatkan Pesangon Tabel Besar pada saat dilakukan PHK. Sementara itu mereka tetap memiliki harapan untuk tetap bekerja pada operator yang baru karena tenaga dan keahlian mereka tetap dibutuhkan demi kelangsungan kegiatan operasi.

Di sisi pengusaha, jelas dengan terjadinya PHK mereka tidak perlu mengambil alih tanggung jawab pihak lain dalam masalah ketenagakerjaan. Justifikasi mengenai pemberlakuan pendekatan ini juga semakin menguat dengan diterapkannya rezim Kontrak Kerja Sama yang berbeda, yaitu rezim PSC Gross Split. Dengan skema yang baru ini, tentu operator yang baru memiliki kebutuhan untuk melakukan restrukturisasi compensation and benefit serta melakukan reorganisasi seperlunya demi mencapai efisiensi.

Selama ini, best practice untuk mengakomodasi kebutuhan di atas adalah dengan membuat kesepakatan dalam Perjanjian Kerja Bersama. Di banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama telah dibuat kesepakatan dengan serikat pekerja, bahwa dalam hal berakhirnya Kontrak Kerja Sama, maka hubungan kerja berakhir dan pekerja berhak atas Pesangon Tabel Besar. Untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai status hubungan kerja, serta demi kepastian hukum, best practice yang demikian baik sekali untuk diikuti.

Wallahu’alam bish shawwab.

*) Dr. Nugroho Eko Priamoko, SH., M.Hum., LLM., adalah Praktisi dan pemerhati hukum migas, tinggal di Pekanbaru.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[1]    Fiona Macmillan, “Risk, Uncertainty and Investment Decision Making in the Upstream Oil and Gas Industry” (Tesis, University of Aberdeen, 2000), hal.4.
[2]    Metta Dharmasaputra, et. al., Wajah Baru Industri Migas Indonesia – Potret Industri Hulu Minya dan Gas Nasional di Era Orde Lama, Orde baru dan Lanskap Baru Pasca Reformasi (Jakarta: PT Katadata Indonesia, 2014), hal.89.
[3]    Skenario ini bukan merupakan peralihan aset, namun perlu disajikan dalam perspektif perbandingan untuk analisa selanjutnya.
[4]      Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial – Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, (Jogjakarta: Genta Publishing,  2009), hal. 51.
[5]    Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum – Suatu Pengantar, (Jogjakarta: Penerbit Liberty, 2009), hal.38.
[6]      H.M. Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), hal.48.
[7]    Ibid., hal.53.
[8]    Ibid., hal.72.
[9]    Ibid., hal.75.
[11]  A. Rinto Pudyantoro, A to Z Bisnis Hulu Migas, (Jakarta: Penerbit Petromindo, 2012), hal.144.
[12]  Hingga tahun 2020 tercatat ada 22 Kontrak Kerja Sama migas yang akan berakhir jangka waktunya. Silakan periksa: http://katadata.co.id/berita/2016/05/12/pertamina-incar-13-blok-migas-yang-kontraknya-akan-berakhir
[13]  Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, hal.6-7.
[14]  Jan Remmelink, Hukum Pidana – Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.578-579.
Tags: