Konsep Shared Responsibility Dorong Akuntabilitas Peradilan
Berita

Konsep Shared Responsibility Dorong Akuntabilitas Peradilan

Anggota Dewan ingin RUU Jabatan Hakim selesai dibahas tahun 2017 ini.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Seleksi Calon Hakim Agung di Komisi Yudisial. Foto: RES
Seleksi Calon Hakim Agung di Komisi Yudisial. Foto: RES
Pemerintah dan DPR masih membahas RUU Jabatan Hakim. Banyak pihak yang berharap RUU tersebut bisa membenahi tata kelola hakim mulai dari perekrutan, pembinaan, dan pengawasan. Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY), Sukma Violetta, mengusulkan pengelolaan hakim menggunakan sistem shared responsibility sehingga ada pembagian tanggung jawab. Pengelolaan dan manajemen hakim bukan hanya dilakukan Mahkamah Agung (MA) tapi juga melibatkan lembaga lain termasuk KY.

Dijelaskan Sukma, pada masa Orde Baru pembagian tanggung jawab itu antara MA (yudikatif) dan Departemen Kehakiman (eksekutif). Dalam perjalanannya sistem itu rentan intervensi oleh eksekutif kepada yudikatif. Setelah reformasi bergulir, kewenangan Departemen Kehakiman dialihkan ke MA. Berikutnya, amandemen UUD RI 1945 mengamanatkan  pembentukan KY. Menurut Sukma ini menunjukan konsep yang digunakan dalam yudikatif bukan haya satu atap.

Sukma berpendapat shared responsibility pada hakikatnya sudah termaktub dalam UUD 1945. Memang, saat ini KY baru diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada hakim. Melalui shared responsibility, KY bisa lebih berperan bukan hanya di soal pengawasan tapi juga pencegahan. Sistem itu juga membuka peluang untuk melibatkan lembaga lain misalnya universitas, dalam rangka mengelola agar SDM hakim lebih baik dan terhindar dari pelanggaran.

(Baca juga: KY Luruskan Konsep Shared Responsibility).

Melalui mekanisme itu Sukma menilai MA akan lebih fokus pada tugasnya menangani perkara, tidak lagi disibukkan dengan beban lain yakni mengelola hakim. Tapi Sukma menegaskan hal ini jangan dianggap sebagai upaya untuk mengabil kewenangan MA, tapi memposisikan MA sebagaimana tugas intinya. Dengan lebih fokus menangani perkara, MA bisa melakukan perbaikan sehingga mampu memberi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia.

“Kami tidak mengusulkan berapa atap, tapi ada hal baik yang bisa dilakukan KY dan lembaga lain untuk berkontribusi dalam memanajemen hakim,” kata Sukma di Jakarta, Selasa (05/8).

Sukma yakin dengan shared responsibility itu akuntabilitas lembaga peradilan akan terjaga. Dia mencatat di negara yang sudah menerapkan rule of law secara baik, konsep yang digunakan lebih dari dua atap. Misalnya, Perancis menerapkan 2 atap yakni membentuk MA dan KY, Jerman menjalankan konsep 3 atap yaitu Departemen Kehakiman, MA dan KY. Tapi di semua negara itu tugas MA hanya fokus menangani perkara.

(Baca juga: MA Tegaskan Sistem Satu Atap ‘Harga Mati’).
Soal pengawasan hakim Sukma mengatakan DPR mengusulkan agar itu dilakukan sepenuhnya oleh KY. Tercatat ada sekitar 8 ribu hakim, 8 ribu juru sita dan panitera ditambah 22 staf. Beban Badan Pengawas (Bawas) MA terlalu berat jika tugas pengawasan itu mereka pikul.

Advokat sekaligus pegiat HAM, Todung Mulya Lubis, menilai pengawasan terhadap hakim tidak bisa hanya dilakukan oleh MA. Peran KY dalam melakukan pengawasan sangat dibutuhkan. Selain itu pengawasan yang dilakukan KY harusnya tidak sekadar etik tapi juga substantif. Misalnya, ada putusan yang mencurigakan, bertentangan dengan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku. “KY mestinya bisa menyentuh ranah substantif tersebut,” paparnya.

Jika pengawasan KY bisa menyasar putusan, Mulya yakin pengawasan yang dilakukan akan semakin efektif. Walau ada yang menganggap soal putusan merupakan otonomi hakim, tapi Mulya berpendapat lewat putusan masyarakat bisa menilai apakah hakim melakukan pelanggaran atau tidak.

Sebelumnya, dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dan pemerintah, pembahasan RUU Jabatan Hakim ditargetkan selesai 2017. Anggota Komisi III, Arsul Sani, mengatakan RUU ini salah satu prioritas dalam program legislasi nasional (prolegnas).

(Baca Juga: DPR-Pemerintah Bahas RUU Jabatan Hakim).

Wakil Ketua Komisi III, Trimedya Panjaitan, menyebut ada 11 hal krusial dalam RUU Jabatan Hakim diantaranya masuknya hakim militer dalam ruang lingkup jabatan hakim. Kemudian, pendelegasian kode etik dan pedoman perilaku hakim tidak lagi diatur oleh KY dan MA, tapi Peraturan Pemerintah (PP). KY dan MA menentukan kelulusan calon hakim tinggi dan pembinaan hakim tinggi. Kedua lembaga yudikatif itu secara bersama membentuk tim promosi dan mutasi hakim tingkat pertama.
Tags:

Berita Terkait