Aktivis Pemilu Turut Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

Aktivis Pemilu Turut Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden

Para Pemohon menilai Pasal 222 UU Pemilu secara nyata bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak bisa disebut sebagai open legal policy.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden di Gedung MK Jakarta, Rabu (6/9). Foto: AID
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden di Gedung MK Jakarta, Rabu (6/9). Foto: AID
Setelah Partai Bulan Bintang (PBB), giliran sejumlah aktivis pemilihan umum (Pemilu) mendaftarkan uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, Yuda Irlang.    

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menuturkan Perludem sejak lama mendorong terwujudnya pemilu yang benar-benar demokratis. Dia menganggap ketentuan Pasal 222 UU Pemilu ini tak sejalan upaya mewujudkan pemilu yang menjamin terselenggaranya pemilu demokratis sesuai yang diamanatkan konstitusi.

Dia beralasan ketika penyelenggaraan pemilu dilaksanakan serentak baik pemilu legislatif dan pemilu presiden (sesuai amanat putusan MK No. 14/PUU-XI/2013), maka syarat ambang batas pencalonan presiden berupa batas minimal jumlah kursi DPR atau presentase perolehan suara nasional menjadi tidak relevan untuk diterapkan.

Titi menilai ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu sangat jelas bertentangan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal tersebut menyebutkan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

“Kami minta uji materi UU Pemilu ini diputuskan sesuai UUD Tahun 1945,” ujar Titi usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden di Gedung MK Jakarta, Rabu (9/6/2017). (Baca Juga: PBB Resmi Gugat Aturan Ambang Batas Calon Presiden)

Dia mengakui putusan MK No. 14 Tahun 2013 yang diajukan Effendi Gazali disebutkan ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Namun, dalam konteks ini, Mahkamah menekankan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

“Karena ada Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945, bentuk open legal policy termasuk ambang batas pencalonan presiden seharusnya pembuat UU membuat formula ambang batas presiden yang benar-benar tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945,” lanjutnya.

Menurutnya, posisi atau hak (kedudukan hukum) partai politik peserta pemilu tidak boleh dihilangkan terutama ketika mencalonkan presiden dan wakil presiden. Sebab, ketika ambang batas pencalonan presiden diterapkan sulit bagi parpol atau gabungan parpol peserta pemilu untuk bisa memenuhi syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.

“Secara mandiri partai politik peserta pemilu (baik parpol peserta pemilu sebelumnya maupun parpol baru) sudah kehilangan haknya. Ini menimbulkan diskriminasi,” sebutnya.

Karena itu, baginya Pasal 222 UU Pemilu secara nyata bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak bisa disebut sebagai open legal policy. Sebab, sudah ada aturan lebih lanjut untuk mengusung pencalonan presiden sebagaimana ditentukan Pasal 6A UUD Tahun 1945. Baca Juga: Ini Alasan Aturan Presidential Threshold Dinilai Tidak Tepat

Misalnya, jika dalam UU ada syarat usia calon presiden dibatasi dan harus berpendidikan minimal SLTA. Nah, dalam konteks syarat seperti ini dapat dikatakan tidak ada pembedaan atau diskiriminasi. Namun, jika dibandingkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu ada perlakuan yang tidak sama (diskriminasi). Sebab, partai politik baru yang menjadi peserta pemilu sesuai tafsir Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 boleh mengusungkan calon presiden dan wakil presiden.

“Tetapi, tidak diberi ruang untuk mengusung pasangan calon presiden. Sehingga, (seolah-olah) yang bisa mengusung calon presiden hanyalah partai politik peserta pemilu sebelumnya (Pemilu 2014) karena yang dirujuk adalah hasil pemilu sebelumnya,” katanya.  

Sebelumnya, permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu diajukan oleh Ketua Umum Partai Idaman Rhoma Irama, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, pengurus Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), dan Effendi Gazali yang dikuasakan oleh AH Wakil Kamal. (Baca Juga: Kelompok Advokat Ini Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden)     
Tags:

Berita Terkait