AEI: Penetapan Tersangka Korporasi Ancaman Bagi Investor
Berita

AEI: Penetapan Tersangka Korporasi Ancaman Bagi Investor

Pelaku pasar saat ini mengaku belum mengetahui secara jelas, korporasi seperti apa yang dapat dijadikan tersangka oleh KPK.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menilai bahwa penetapan tersangka korporasi dengan mengacu pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana menjadi ancaman dan risiko bagi pelaku pasar modal.

"Ini berpotensi jadi ancaman. Apalagi saat ini banyak perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Isaka Yoga, di Jakarta, Kamis (7/9).

Menurut dia, pelaku pasar saat ini mengaku belum mengetahui secara jelas, korporasi seperti apa yang dapat dijadikan tersangka oleh KPK. "Ini suatu yang baru dan kami belum disosialisasikan, definisi tersangka itu seperti apa, lalu yang mewakili di pengadilan itu siapa, hukumannya apa," ujar Isaka Yoga.

Kecemasan di kalangan investor ini, lanjut Isaka, sangat menjadi perhatian AEI. Jangan sampai, investor yang tidak mengetahui apa-apa dirugikan. "KPK maupun dari lembaga pemerintah apa saja, harus bisa menjelaskan bagaimana korporasi bisa menjadi tersangka karena perusahaan itu benda mati, yang menjalankan itu orang. Apalagi kami perusahaan publik yang terdiri dari banyak investor," katanya.

Menurutnya, praktik yang terjadi di banyak negara, jika perusahaan melakukan pelanggaran maka hanya dikenakan denda. "Kalau di sini kami belum tahu sama sekali dan belum ada bayangan, karena belum ada sosialisasinya," katanya. (Baca Juga: Bila Harta Benda Korporasi Nihil atau Tak Cukup Membayar Denda...)

Apalagi, kata dia, sebagai perusahaan publik, pengawasannya sangat ketat, mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun oleh BEI. "Selama memenuhi ketentuan itu dan melakukan good corporate governance, saya rasa aman mestinya," ujar Isaka.

Hal senada diungkapkan pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar bahwa dalam menangani perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, harusnya lebih hati-hati karena bisa merugikan banyak pihak.

Apalagi, katanya, saat ini ada beberapan perusahaan yang melantai di BEI, direksinya tengah tersangkut kasus korporasi. "Untuk itu KPK harus hati-hati juga, jangan sampai ada kepentingan-kepentingan politik yang masuk dan mengambil keuntungan," katanya.

Jika benar terjadi tindak pidana, maka penegak hukum harus terlebih dulu mencari orang di dalam perusahaan itu yang melakukan tindak pidana korupsi. "Jika ada kerugian dan tidak bisa ditanggung, barulah masuk ke tingkat korporasinya. Jadi parameternya jelas," tegas Fickar.

Ia mencontohkan kasus yang bisa menjadi yurisprudensi adalah kasus PT Giri Jaladhi Wana di Banjarmasin. Pemkot Banjarmasin kehilangan pendapatan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari yang tidak disetorkan oleh PT Giri. (Baca Juga: Pengusaha Tidak Perlu Takut Terjerat Pidana Korporasi)

"Saat itu yang menjadi tersangka adalah direkturnya, namun karena tidak bisa membayar kerugian kepada negara setelah diputuskan bersalah, maka perusahaan itu asetnya disita dan dilelang untuk mengganti kerugian itu," katanya.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi B. Sukamdani mengakui adanya PERMA No. 13 Tahun 2016 ini banyak pengusaha yang khawatir pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan bagi korporasi atas apa yang dilakukan pengurus perusahaan. Sebab, bisa saja pengurusnya melakukan kejahatan yang tidak ada kaitannya dengan korporasi namun pertanggungjawaban atas kejahatan tersebut dibebankan kepada korporasi.

Akan tetapi, menurut Haryadi, adanya PERMA ini memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha untuk mendorong dan meningkatkan penerapan good corporate governace. Oleh karena itu, pelaku usaha tidak perlu takut. (Baca Juga: Baca Juga: Yuk, Selamatkan Perusahaan Anda dari Jerat Pidana Korporasi)

Hariyadi mengatakan, bagi dunia usaha yang terpenting agar UU dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh aparat penegak hukum termasuk hakim yang memiliki kompetensi profesional tinggi dan integritas baik. Karena itu, prinsip due process of law harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum agar tidak terjadi fenomena “kriminalisasi terhadap korporasi.”

“Kalau ini terjadi tentu berdampak buruk terhadap berlangsungnya usaha dan nasib karyawan dan stakeholders lainnya,” kata dia.

Hakim Agung Surya Jaya mengatakan manfaat PERMA ini untuk semua kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun masyarakat termasuk kepentingan dunia usaha baik korporasi maupun pengurusnya.

Menurutnya, berlakunya PERMA penanganan kejahatan korporasi ini ada beberapa hal yang menjadi sasaran. Pertama, dapat meningkatkan profesionalitas dan integritas aparat penegak hukum.

Kedua, dapat meningkatkan asset recovery dalam penanganan kejahatan korporasi. Ketiga, meningkatkan kontribusi kepada negara/pemerintah dan masyarakat. Keempat, terciptanya kesadaran, kepatuhan hukum, kultur hukum yang baik di lingkungan perusahaan sehingga terhindar dari perbuatan melanggar hukum.

“Semoga korporasi yang semula Bad Corporate Governance menjadi Good Corporate Governance. Korporasi dapat bertanggungjawab dan menjamin terwujudnya lingkungan hidup yang sehat dan berkualitas,” ujar mantan Ketua Tim Kelompok Kerja Penyusunan PERMA Penanganan Kejahatan Korporasi ini.
Tags:

Berita Terkait