Rohingya dan Ironi Konstitusionalisme Asia
Kolom

Rohingya dan Ironi Konstitusionalisme Asia

Perkumpulan Mahkamah Konstitusi se-Asia atau AACC tak boleh terjebak sekadar menggelindingkan rutinitas. Rohingya dengan sederet hal substantif sudah menanti untuk direncanakan dan dikoordinasikan.

Bacaan 2 Menit
Fajar L. Suroso. Foto: RES
Fajar L. Suroso. Foto: RES
Publik di Indonesia mudah-mudahan sudah banyak mengetahui, ada perkumpulan Mahkamah Konstitusi se-Asia atau AACC, Association of Asian Constitutional Court and Equivalent Institution. AACC dibentuk 2010 silam di Jakarta. Di samping inisiator, MK Indonesia merupakan anggota aktif. Bahkan, 2014-2017 dipercaya menjadi Presiden AACC.

Tak hanya itu, Sekretariat Tetap AACC untuk divisi Planning and Coordination juga berada di Jakarta. Saat ini, 16 MK atau institusi sejenis dari 16 negara termasuk MK  Indonesia, menjalani peran globalnya di kawasan Asia. Lantas, apa kaitan AACC dengan Rohingya dan konstitusionalisme Asia?

Hal Ironis Berlangsung
Untuk diketahui, Constitutional Tribunal of Myanmar merupakan institusi teranyar yang bergabung dalam AACC. Setelah pada 2015 menyampaikan keinginan bergabung, akhirnya pada 2016 seluruh anggota AACC menyetujui proposal Constitutional Tribunal of Myanmar. Artinya, proposal diterima karena Myanmar dipandang berada dalam satu barisan negara-berdaulat yang sama-sama berkomitmen memperjuangkan demokrasi konstitusional di negaranya.

Dalam artikel berjudul “We All Stand Together: The Role of the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions in Promoting Constitutionalism” yang dimuat di Asian Journal of Law and Society (2016), Maartje de Visser mengatakan, ada tiga alasan utama yang menjadi motif pengadilan-pengadilan untuk membentuk atau terlibat di dalam aliansi yudisial transnasional seperti AACC, yakni alasan pragmatis, ideologis, dan strategis.

Alasan pragmatis berkisar pada upaya meningkatkan performa dan fungsi dari ajudikasi konstitusional dari negara anggota. Alasan strategisnya, masing-masing institusi memperkenalkan kewenangan dan reputasi pengadilan kepada kelompok sejenisnya, termasuk memperkuat kedudukan pengadilan di mata publik domestik. Sementara, alasan ideologis, aliansi yudisial dibentuk untuk menjaga tiga hal utama yang disebut oleh Visser sebagai the holy trinity of constitutionalism, yaitu perlindungan hak asasi manusia, jaminan demokrasi, dan implementasi aturan-aturan hukum.

Menurut Visser, AACC dipandang menjadi forum terstruktur bagi para hakim untuk mendiskusikan fungsi mereka dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip universal konstitusi dalam konteks lokal. Masih menurut Visser, karakter utama dari kerjasama pengadilan dalam skala regional atau global ini adalah adanya rasa solidaritas transnasional bahwa mereka tidaklah sendiri dalam menghadapi tekanan publik atau politik, namun bersama dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki pemikiran sama, sehingga dapat memberikan dorongan moral tambahan untuk tetap yakin terhadap nilai-nilai konstitusi yang mereka perjuangkan di dalam situasi yang tidak menguntungkan.

Merujuk pada tulisan Visser, maka pertanyaan penting yang layak diajukan ialah apa peran AACC dalam menjaga the holy trinity of constitutionalism di tengah tragedi Rohingya? Bukankah Rohingya merupakan entitas di teritori Myanmar yang merupakan anggota AACC? Yang mengherankan, di tengah masyarakat dunia yang telah mengambil sikap tegas terhadap kekerasan yang dialami etnis Rohingya, AACC kedengaran atensi suaranya.

Hal ironis sedang berlangsung. AACC yang mengklaim diri sebagai penjaga the holy trinity of constitutionalism berdiam diri saat konstitusionalisme di Myanmar, sebagai salah satu bagian dari dirinya, mengalami jalan terjal dan dicabik-cabik. Apa yang dialami komunitas Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan, catatan hitam upaya perlindungan HAM, utamanya di kawasan Asia.

Maka, menjadi wajar dipertanyakan, apa faedah perkumpulan semacam AACC manakala dihadapkan pada tantangan konkrit, jika ternyata tak melakukan apa-apa. Ketika Myanmar dilanda situasi tak menguntungkan, komitmen AACC sekadar macan di atas kertas.  Gagah tertulis dalam statuta, tetapi gagap ketika hendak dipindai ke ranah fakta. Jangan sampai timbul pendapat, keberadaan AACC hanya soal pembagian giliran siapa yang akan menyelenggarakan atau menghadiri seremoni-selebritas simposium-simposium di hotel megah.

Bergerak, Jangan Diam
Mengharapkan AACC berperan dalam porsi besar, seperti halnya Tim PBB dibawah koordinasi mantan Sekjen Kofi Annan atau Pemerintah Indonesia yang datang menawarkan sejumlah solusi, tentu terlalu naif dan berlebihan. Meski aliansi bertaraf regional, fitrah AACC tak dibekali kekuatan sebesar itu. Karena harus disadari, AACC sekadar perkumpulan lembaga yudisial, yang bisa dilakukan paling-paling, seperti dikatakan Visser, hanya dibatas “dorongan moral tambahan”. Walau begitu, hal itu mengonfirmasi bahwa pilihan diam adalah ironik. Diam justru bertentangan secara diametral dengan visi ideologis menjaga the holy trinity of constitutionalism. Bahkan, diam akan mengaburkan arti strategis AACC.

Rohingya menjadi momentum bagi AACC untuk mempertanggungjawabkan keputusannya menerima Myanmar sebagai anggota. Langkah yang dilakukan bukan menyesali atau mengevaluasi keanggotaan Constitutional Tribunal of Myanmar di AACC. Jangan muncul gagasan men-delete Myanmar, itu bukan ide tepat. Di samping tak solutif, hal itu dapat diartikan AACC melakukan pembiaran hukum, HAM, dan demokrasi konstitusional di Myanmar terus diinjak-injak.

Penting bagi AACC untuk ‘hadir’ menunjukkan empati, mengucap seruan, sekaligus memompa dorongan moral bagi Myanmar. Hal itu bisa dilakukan  dengan cara mengundang atau mendatangi Constitutional Tribunal of Myanmar. Dalam waktu-waktu ini, mendatangi Myanmar lebih bermakna ketimbang mendatangi agenda seremonial di negara damai lainnya.

Setelah bertemu, mengenai sumbangan pemikiran atau formula yang dibutuhkan untuk dilakukan, itulah yang didiskusikan dan menjadi agenda AACC. Pilihan apapun terbuka untuk disuarakan guna membantu Constitutional Tribunal of Myanmar menjalankan peran terbaik dalam situasi sulit dan tetap pada koridor yurisdiksinya.

AACC tak boleh terjebak sekadar menggelindingkan rutinitas. Rohingya dengan sederet hal substantif sudah menanti untuk direncanakan dan dikoordinasikan. MK Indonesia sebagai pemangku Sekretariat Tetap seharusnya tergerak mengambil inisiatif. Uluran tangan untuk membimbing Myanmar dari kesuraman HAM ke jalan terang konstitusionalisme mestinya menjadi prioritas.

Dalam isu krisis Rohingya ini, komitmen AACC menjaga the holy trinity of constitutionalism di kawasan Asia perlu dibuktikan. Tanpa pembuktian itu, ada kekhawatiran asumsi bernuansa “selfish” yang sudah ditolak Visser, justru menemukan pembenaran. Asumsi bahwa suatu institusi bergabung dengan AACC karenahakim-hakimnya senang berpergian, menikmati kesempatan berkunjung ke luar negeri dalam keterbatasan finansial, atau menggunakan kehadiran dalam konferensi internasional sebagai pelepas penat dari tugas keseharian yudisialnya. Jika itu yang terjadi, konstitusionalisme Asia  dalam masalah: dipupuskan diam-diam justru oleh para penjaganya.

*)Dr. Fajar L. Suroso adalah Peminat Kajian Konstitusidan Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Tulisan ini pendapat pribadi, tak mengatasnamakan dan  tak mewakili pendapat institusi manapun.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: