Membuka Jalan Tindakan Hukum Penyidik Polri ke PTUN
Disertasi Ilmu Hukum:

Membuka Jalan Tindakan Hukum Penyidik Polri ke PTUN

Penyidik yang melanggar asas bebas dari tekanan seharusnya bisa dikenakan sanksi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Rocky Marbun, akademisi dan penulis Kamus Hukum (berdiri kiri) sedang mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji dan promotor, Selasa (05/9). Foto: MYS
Rocky Marbun, akademisi dan penulis Kamus Hukum (berdiri kiri) sedang mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji dan promotor, Selasa (05/9). Foto: MYS
Kelakar Bambang Widodo Umar tentang pusingnya memikirkan kesemrawutan kepolisian menjadi bagian akhir ujian terbuka disertasi doktor Rocky Marbun di Universitas Jayabaya Jakarta, Selasa (05/9) lalu. Bambang, pensiunan polisi yang kini menjadi akademisi, adalah ko-promotor Rocky Marbun dalam menyelesaikan disertasi berjudul ‘Tindakan Hukum Penyelidik/Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Sebagai Objek Gugatan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan’.

Berangkat dari pengalamannya menangani sejumlah perkara pidana di kepolisian, dan melihat perkembangan objek praperadilan yang tak jelas, Rocky Marbun sampai pada kesimpulan agar tindakan hukum (bestuurhandelingen) penyelidik/penyidik Polri bisa menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pria kelahiran Balikpapan 26 Juni 1976 itu melihat penyelidik/penyidik adalah pejabat pemerintahan.

Sebagai pejabat pemerintahan, penyelidik/penyidik harus bisa mempertanggungjawabkan segala tindakan hukum yang dilakukan saat menangani perkara pidana. Pertanggungjawaban itu adalah bentuk perlindungan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. “Bestuurhandelingen penyelidik dan penyidik harus bisa dipertanggungjawabkan sejalan dengan konsep hak asasi manusia,” tegas Rocky di hadapan sidang Senat Guru Besar dan tim penguji yang dipimpin Rektor Universitas Jayabaya, Amir Santoso.

Mengaju pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagian dari tindakan penyelidik/penyidik bisa dipersoalkan melalui upaya hukum praperadilan. Pasal 1 angka 10 KUHAP menyebutkan praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri  untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang beberapa hal.

(Baca juga: Revisi KUHAP Sebaiknya Perluas Objek Praperadilan).

Pertama, sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Ketiga, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Dalam praktik, objek praperadilan telah meluas. Penetapan tersangka, misalnya, sudah beberapa kali diuji lewat peradilan. Bahkan sudah pernah dikabulkan pengadilan. Dalam konteks ini, Rocky mengusulkan agar dipisahkan terlebih dahulu tindakan-tindakan hukum mana yang secara limitative telah ditetapkan sebagai objek sengketa dalam praperadilan. Di luar yang telah ditetapkan secara limitatif itulah terbuka peluang atau jalan mengujinya ke PTUN. Peluang untuk itu terbuka karena UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) menganut konsep general administrative.

UUAP telah memperluas cakupan objek TUN, yang semula berupa keputusan tertulis, kini meliputi pula tindakan administrasi pemerintahan. Tindakan dalam konteks ini adalah perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan konkrit dalam rangka penyelenggara pemerintahan.

(Baca juga: Simak Yuk! Kaidah Hukum 12 Putusan Berstatus Landmark Decisions).

Rocky Marbun berpendapat, penggunaan UUAP dalam proses penegakan hukum merupakan konsekuensi logis dari pemaknaan sistem hukum sebagai sistem terbuka. Pertanyaan kuncinya, bagaimana menentukan batas-batas yang limitatif antara objek praperadilan atau objek TUN. “Kita harus kembali melihat pada peraturan perundang-undangan dan asas pemerintahan yang baik,” jelas Rocky kepada hukumonline.

Ia mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap asas bebas dari tekanan sebagai suatu asas hukum. Asas tadi merupakan turunan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Dengan asas itu penyelidik/penyidik kepolisian harus menghindari tindakan-tindakan yang bernada tekanan kepada tersangka atau saksi. Penyidik tak semata berpedoman pada KUHAP dan UU Kepolisian, tetapi juga UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

Dalam konteks itulah Rocky mengusulkan agar Pemerintah dan DPR memasukkan ketentuan saksi terhadap penyidik Polri yang melanggar asas bebas dari tekanan dalam revisi KUHAP. Seperti diketahui, revisi itu sudah mulai disusun di Senayan. Rocky menunjuk Pasal 52 KUHAP sebagai payung hukumnya. Pasal ini mengatur: ‘Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim’. Pasal 117 ayat (1) KUHAP mengulangi pernyataan senada: ‘keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun’.

(Baca juga: Hakim Perlu Berhati-Hati Menerapkan Perluasan Makna KTUN).

Pintu masuk membawa tindakan penyelidik/penyidik selaku pejabat pemerintah ke PTUN adalah melalui pengaturan ‘akibat hukum’ dan ‘pembebanan’ dalam UUAP. ‘Pembebanan’ dalam UUAP berkaitan dengan timbulnya kerugian. Akibat hukum berkaitan denan suatu keadaan yang muncul. Namun patut dicatat ada pengecualian dalam Pasal 48 huruf c UUAP, dikecualikan dalam penegakan hukum.

UU Administrasi Pemerintahan
Pasal 46
(1)             Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait sebelum menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi warga masyarakat;
(2)            Badan dan/atau pejabat pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat () dapat melakukan klarifikasi dengan pihak yang terkait secara langsung
Pasal 47
Dalam hal keputusan menimbulkan pembebanan bagi warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), maka Badan dan/atau pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan paling lama 10 hari kerja sebelum menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, kecuali diatur lain dalam ketentuan perundang-undangan.
Pasal 48
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 tidak berlaku apabila:
a.     Keputusan yang bersifat mendesak dan untuk melindungi kepentingan umum dengan mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan;
b.    Keputusan yang tidak mengubah beban yang harus dipikul oleh warga masyarakat; atau
c.     Keputusan yang menyangkut penegakan hukum.

Dalam praktik, tak mudah menentukan mana tindakan penyelidik/penyidik yang bisa dibawa ke PTUN. Misalnya, apakah jika penyidik menampar tersangka bisa dikategorikan sebagai tindakan hukum pejabat TUN? Apalagi pemahaman tentang UUAP di kalangan aparat penegak hukum belum merata. Rocky mengusulkan agar UUAP disosialisasikan lebih intens kepada anggota Polri.
Tags:

Berita Terkait