Inovasi MA ‘Binasakan’ Hakim Korup
Utama

Inovasi MA ‘Binasakan’ Hakim Korup

Sejumlah langkah inovasi, termasuk menurunkan "Mystery Shopper" dilakukan MA untuk membenahi badan peradilan.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Penangkapan hakim dan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu mengundang reaksi keras dari Mahkamah Agung (MA). Bahkan, Ketua Muda Bidang Pengawasan MA Sunarto mengatakan, apabila ada aparat-aparat badan peradilan yang sudah tidak bisa dibina, "binasakan" saja karirnya!

"Itu prinsip kita. Buat apa repot-repot. Kita tegas sekarang. Jadi, tidak ada untungnya kita. Kalau memang ada keinginan (korupsi) dari aparatur pengadilan, tolong batalkan niat itu karena MA tidak akan pernah main-main," demikian disampaikan Sunarto saat menggelar konferensi pers bersama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis malam (7/9). (Baca Juga: Hakim-Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Tersangka Penerima Suap)

Menurutnya, pimpinan MA, mulai dari Ketua MA sampai pejabat eselon I sudah turun langsung untuk melakukan pembinaan. Berbagai upaya juga telah dilakukan MA. Namun, faktanya masih saja ada aparat badan peradilan yang "nakal". Kalau sudah begini, MA tidak akan pernah toleransi segala bentuk pelanggaran.

Sunarto melanjutkan, dalam rangka "membersihkan" badan peradilan, MA telah menjalin kerja sama dengan KPK. Kerja sama kedua lembaga dilakukan secara berkesinambungan, baik dalam hal penindakan maupun pencegahan. Penangkapan hakim dan panitera pengganti PN Bengkulu ini menjadi salah satu contohnya.

Mengapa? Sebab, ternyata, informasi mengenai adanya dugaan indikasi penerimaan uang di PN Bengkulu yang akhirnya berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) itu bersumber dari tim pemantau atau surveillance MA. Sunarto mengungkapkan, upaya ini merupakan salah satu langkah inovasi MA untuk membersihkan badan peradilan.

Berikut sejumlah langkah inovasi yang tengah dilakukan MA dalam rangka membersihkan lembaga peradilan:

1. Mystery shopper
Pada 2016, MA menerbitkan tiga Peraturan MA (PERMA) untuk meningkatkan sistem pengawasan. Salah satunya adalah PERMA No.9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya. PERMA ini membuka ruang partisipasi bagi masyarakat, termasuk internal badan peradilan.

Sebagai wujud penerapan PERMA No.9 Tahun 2016, Badan Pengawasan (Bawas) MA mengembangkan sistem pengaduan yang sangat melindungi identitas pelapor. Kemudian, Bawas juga membentuk tim surveillance atau istilahnya "Mystery Shopper" untuk menindaklanjuti laporan dari para pelapor.

Laporan bisa berasal dari mana saja. Bisa dari para pencari keadilan ataupun pegawai badan peradilan itu sendiri. Sunarto percaya, masih lebih banyak aparatur MA dan badan peradilan yang baik ketimbang yang tidak baik. Justru, aparat baik inilah yang menginformasikan kepada Bawas karena mereka tidak rela apabila rekan-rekannya melakukan tindakan yang menciderai badan peradilan.

"Setelah itu, kita ada yang namanya Mystery Shopper. Kita menurunkan tim yang tidak diketahui aparat pengadilan. Orang MA juga tidak tahu, sama temannya juga tidak tahu, karena itu dididik secara khusus oleh KPK. Begitu ini bocor, ketahuan, kita ganti orang itu. Istilah kita, sudah 'hangus', tidak cocok lagi jadi Mystery Shopper," katanya.

Sunarto mengaku, dengan banyaknya informan dari orang dalam badan peradilan, Bawas lebih mudah memperoleh informasi. Apabila informasi yang didapat berkaitan dengan indikasi korupsi, seperti gratifikasi, maka informasi akan diteruskan ke KPK. Sementara, jika hanya pelanggaran disiplin (etik), Bawas yang langsung menindak.

"Jadi, (Mystery Shopper) tidak hanya di Bengkulu, di semua pengadilan kita lakukan seperti itu dan dirahasiakan pelapor, informan dari orang dalam. Whistle Blowing System ini, itu (pelapor/informan) benar-benar dilindungi oleh kita. Itu diatur dalam PERMA No.9 Tahun 2016. Itu lebih efektif," ujarnya.
PERMA No.9 Tahun 2016
Pasal 30
(1) Dalam penanganan pengaduan, Pelapor memiliki hak untuk :
a. Mendapatkan perlindungan kerahasiaan identitasnya.

2. Tanggung jawab atasan
PERMA lain di bidang pengawasan yang juga terbit pada 2016 adalah PERMA No.8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. PERMA ini untuk mengefektifkan pengawasan dan pembinaan atasan langsung guna mencegah sedini mungkin penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan pelanggaran perilaku aparat pengadilan.

Dalam PERMA itu, setiap atasan langsung tak hanya "duduk manis" di balik meja, melainkan diwajibkan untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan tugas dan perilaku bawahannya, baik di dalam maupun di luar kedinasan secara terus-menerus.

Pengawasan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c PERMA No.8 Tahun 2016 mengatur, dilaksanakan paling sedikit, antara lain dengan "mengidentifikasi dan menganalisis gejala-gejala dan penyimpangan serta kesalahan yang terjadi,menentukan sebab dan akibatnya serta cara mengatasinya".

MA pun mulai mempertegas penetapan PERMA ini. Misalnya, dalam kasus OTT hakim dan panitera pengganti PN Bengkulu. Pasca penangkapan, MA secara cepat menonaktifkan sementara Ketua dan Panitera PN Bengkulu. Keduanya masing-masing selaku atasan langsung dari hakim dan panitera pengganti yang terkena OTT KPK.

Sunarto mengatakan, sementara, keduanya diperkerjakan di Pengadilan Tinggi Bengkulu sebagai fungsional. Bawas sudah mengirimkan tim untuk melakukan pemeriksaan terhadap keduanya. Tujuan pemeriksaan tak lain untuk mengetahui apakah keduanya telah memberikan pembinaandan pengawasan yang memadai dan layak terhadap anak buahnya.

"Bilamana mereka tidak terbukti, kita akan rehabilitasi,pulihkan lagi, kita kembalikan ke posisi semula.Tapi, bilamana pimpinan pengadilan, Ketua Pengadilan dan Panitera Pengadilan yang dinonaktifkan itu tidak memberikan pembinaan yang memadai, yang layak, dan tidak melakukan pengawasan terhadap anak buahnya, maka penonaktifan dari jabatan pejabat struktural itu akan diteruskan secara permanen," terangnya.
PERMA No.8 Tahun 2016
Pasal 9
(1) Tidak dipenuhinya kewajiban pengawasan dan pembinaan oleh atasan langsung sebagaimana diatur dalam BAB II peraturan ini adalah pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi ringan, sedang atau berat setelah diperiksa oleh pejabat yang berwenang
(2) Bentuk-bentuk sanksi ringan yang dapat dijatuhkan terdiri dari : a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3) Bentuk-bentuk sanksi sedang yang dapat dijatuhkan terdiri dari : a. penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 tahun; b. penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 tahun; c. pembebasan dari jabatan/Hakim non palu paling lama 6 (enam) bulan; d. mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah; dan e. pembatalan atau penangguhan promosi.
(4) Bentuk-bentuk sanksi berat yang dapat dijatuhkan terdiri dari: a. pembebasan dari jabatan/Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan; b. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 tahun; c. pemberhentian dengan hormat; dan d. pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 10
(2) Dalam hal atasan langsung selaku terperiksa lalai memenuhi kewajiban pengawasan dan pembinaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), yang bersangkutan dijatuhi sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) sampai dengan ayat (6).

"Jadi, kami tidak main-main. Bilamana ada aparatur (yang melakukan pelanggaran), maka atasan langsungnya harus bertanggung jawab juga. Jadi pimpinan pengadilan sekarang bebannnya jauh lebih berat," imbuh Sunarto.

3. Pemimpin role model
Selain penindakan, MA juga bekerja sama dengan bidang pencegahan KPK. Kerja sama ini dilakukan dengan cara merumuskan sistem terbaik untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan celah dan potensi korupsi di badan peradilan.

Menurut Sunarto, penyelesaian masalah di badan peradilan tidak bisa bersifat sporadis atau sektoral, melainkan harus dilakukan secara sistemik. Pertama, dimulai dari perbaikan regulasi. Kemudian, dilanjutkan dengan pembenahan sumber daya manusia (SDM). Nah, untuk membenahi SDM, MA memilih menggunakan pendekatan kultural.

"Yang paling susah, terus terang,di negara kita itu menyangkut kultur, budaya. Ada sebagian orang kita, tidak hanya di lingkungan MA atau badan peradilan, paham hedonisme itu, memandang kekayaan, jabatan, itu menjadi hal (mengukur) kesuksesan seseorang, sehingga (untuk mencapainya) menempuh budaya jalan pintas," tuturnya.

Mengingat permasalahan kultural ini, Sunarto berpendapat, perlu adanya peran pimpinan badan peradilan sebagai role model. Tentu, untuk menyaring pimpinan-pimpinan yang memenuhi kriteria role model, harus dilakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang intinya menguji kemampuan kompetensi/kualitas dan menilai integritas.

"Itu dua hal yang harus ada di pimpinan. Mengapa? Karena di situ, kita akan melihat apakah pimpinan tersebut bisa menjadi role model bagi anak buahnya. Kalau pimpinannya baik, Insya Allah yang di bawah akan baik. Tapi kalau pimpinannya sudah tidak baik, maka yang di bawah tidak akan baik," tuturnya.

4. Bantuan hukum No, hukuman berat Yes
Masih adanya aparat badan peradilan yang terlibat korupsi nampaknya membuat MA "geram". Pasalnya, perbuatan itu dilakukan di saat perbaikan pengawasan dan pembinaan MA sedang gencar dilakukan. Pasca penangkapan hakim dan panitera pengganti PN Bengkulu, MA pun langsung memberhentikan sementara keduanya.

Sunarto menegaskan, MA dan pengadilan tidak akan pernah memberikan bantuan hukum atau advokasi kepada aparaturnya yang terkena OTT. "Itu prinsip. Dan, seperti kita ketahui, tidak menutup kemungkinan banyak aparatur pengadilan yang sudah dijatuhi pidana di tingkat banding atau pertama, malah di MA jauh lebih tinggi," bebernya.

Sebagai contoh, ia menyebutkan, satu perkara yang melibatkan Ketua PN di wilayah Sumatera Barat. Pada pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, hukuman Ketua PN tersebut semakin diperberat. Kini, mantan Ketua PN itu harus mendekam di dalam penjara selama 10 tahun, setelah MA memperberat masa hukumannya.

"Jadi, kita tidak main-main. Ini warning, peringatan kepada seluruh aparat pengadilan. Jangan main-main lagi. Teman-teman yang masih ingin tidak mengubah dirinya, akan digilas oleh perubahan yang dilakukan oleh MA," tegasnya seraya terus mengingatkan.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, segala upaya itu menunjukan komitmen MA yang sedemikian tinggi untuk membersihkan badan peradilan. Ia berhahap, kerja sama MA dan KPK dapat ditingkatkan. Dengan semakin banyak yang terkena OTT, aparatur "nakal" yang tersisa pun semakin sedikit, dan semoga lama-kelamaan akan habis.

Sementara, Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan jika dalam rangkaian OTT hakim dan panitera pengganti PN Bengkulu, KPK melakukan koordinasi dan mendapat dukungan informasi awal dari MA. Menurutnya, ke depan, koordinasi penting dilakukan, termasuk untuk keperluan pemeriksaan saksi-saksi, ketersediaan data, dan informasi yang mendukung penanganan perkara.

Cek integritas
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta berpendapat, meski MA sering mengatakan sudah melakukan pembaruan atau reformasi, lembaga yang dinahkodai Hatta Ali itu sebetulnya masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai dalam persoalan menjaga integritas hakim.

Memang, tidak dapat dipungkiri, ada beberapa hasil pembaruan yang terlihat jelas, terutama transparansi putusan. Namun, jika menyangkut menjaga integritas hakim, ia menilai, masih jauh dari harapan. Adapun penataan yang dilakukan MA dalam rangka pencegahan, lebih kepada persoalan kedisiplinan kerja, seperti kepatuhan pada jam kantor.

Lantas, bagaimana cara menjaga integritas hakim? Sukma berkaca pada proses seleksi hakim agung dan hakim ad hoc MA yang menjadi kewenangan KY. Dalam proses seleksi itu, selain menguji kompetensi, KY juga melakukan penelusuran rekam jejak (track record). Dari situ, KY dapat mengecek integritas para calon hakim agung.

"Nah, dari pengalaman kami terhadap dua hal tersebut, memang memperlihatkan masih banyak yang integritasnya belum seperti yang diharapkan. Itu akan terlihat datanya, sebagian ada di kami," tuturnya kepada Hukumonline.

Dari penelusuran rekam jejak, sambung Sukma, dapat terlihat pula promosi-promosi jabatan para calon hakim agung yang sebelumnya merupakan hakim karir. Ternyata, banyak data dan informasi yang diterima KY yang menunjukan, ketika promosi tidak ada cek integritas. Kalaupun ada, ia menganggap masih jauh dari cukup.

"Karena itu, promosi (hakim) harus dijadikan alat untuk menjamin bahwa hakim-hakim yang bisa dipromosikan dalam arti akan menjadi ketua pengadilan, pimpinan di masing-masing pengadilan, tersebar di seluruh Indonesia sekitar 900 jumlahnya dari empat lingkungan peradilan, itu adalah orang-orang yang bukan saja mumpuni dalam kompetensinya, tapi memang integritasnya tinggi. Integritasnya baik, karena ketika dia nanti menjadi pimpinan pengadilan, dialah yang menjadi contoh teladan," tandasnya.

Sebagaimana diketahui, pada 6-7 September 2017 kemarin, KPK melakukan OTT terhadap hakim PN Bengkulu Dewi Suryana (DSU), panitera pengganti PN Bengkulu Hendra Kurniawan (HKU), dan seorang pegawai negeri sipil (PNS) bernama Syuhadatul Islamy (SI) dari pihak Wilson di dua lokasi, Bengkulu dan Bogor. (Baca Juga: Hakim Tipikor Bengkulu Kembali Ditangkap KPK, KY Minta MA Bersih-Bersih)

Selain itu, KPK mengamankan sejumlah pihak, termasuk Dahniar (pensiunan panitera pengganti PN Bengkulu) dan hakim ad hoc Henny Anggaraini. Henny diketahui sempat dimintai keterangan oleh KPK di Polda Bengkulu. Namun, setelah beberapa jam, KPK melepaskan Henny karena belum menemukan cukup bukti keterlibatannya.

Sementara, Dewi, Hendra, dan Syuhadatul dibawa ke kantor KPK di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut secara intensif. Berdasarkan hasil gelar perkara, KPK menyimpulkan telah terdapat bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status ketiganya menjadi tersangka. Kini, ketiga tersangka ditahan di rumah tahanan (Rutan) KPK.  

Meski begitu, Dewi dan Henny diketahui adalah anggota majelis hakim yang menangani perkara terdakwa Wilson, sedangkan Hendra adalah panitera penggantinya. Wilson sendiri merupakan terdakwa dalam kasus korupsi Kegiatan Rutin di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Bengkulu Tahun Anggaran (TA) 2013.

Perkara Wilson telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Bengkulu tanggal 14 Agustus 2017. Majelis hakim yang diketuai Kaswanto, menghukum Wilson dengan pidana penjara selama satu tahun tiga bulan. Hukuman itu lebih ringan tiga bulan dari tuntutan penuntut umum, yaitu satu tahun enam bulan penjara.

KPK menduga, selama proses persidangan, pihak keluarga Wilson berupaya mendekati hakim melalui panitera pengganti. Namun, karena keluarga tidak secara langsung mengenal panitera pengganti dalam perkara Wilson, pendekatan dilakukan melalui Dahniar. Diduga jumlah uang yang disepakati untuk mempengaruhi putusan itu adalah Rp125 juta.
Tags:

Berita Terkait