Suara Dissenting Seorang Hakim tentang Pencabutan Kuasa
Berita

Suara Dissenting Seorang Hakim tentang Pencabutan Kuasa

Dalam pendapat berbedanya, sang hakim mengkhawatirkan dampak yang bakal timbul jika tindakan yang merusak lingkungan tidak dihentikan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Demo meminta reklamasi dihentikan. Foto; RES.
Demo meminta reklamasi dihentikan. Foto; RES.
Upaya hukum dua orang nelayan Jakarta, Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan organisasi lingkungan hidup yang mewakili sejumlah nelayan, Walhi, kandas di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung. Upaya mereka melawan Gubernur DKI Jakarta dan PT Muara Wisesa  Samudera melalui jalur tata usaha negara menghasilkan dua jenis amar.

Kasasi Nur Saepudin dan Tri Sutrisno, dua nelayan Jakarta Utara, dinyatakan tidak dapat diterima. Sedangkan kasasi Kiara dan Walhi dinyatakan ditolak majelis hakim agung. Objek sengketa adalah SK Gubernur DKI Jakarta tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasiPulau G kepada Muara Wisesa Samudera.

Putusan yang mengandaskan gugatan para penggugat di tingkat kasasi itu tak diambil dengan suara bulat. Seorang anggota majelis hakim agung, Irfan Fachruddin, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia mengkhawatirkan gagalnya fungsi pelaksanaan judicial control terhadap tindakan pemerintah dan penegakan hukum administrasi negara oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Namun, bukan itu saja yang menjadi pokok perhatian. Hakim agung kelahiran 20 April 1957 itu memberikan pendapat tentang surat kuasa Nur Saepudin dan Tri Sutrisno. Ceritanya, sejak awal sebenarnya kedua nelayan Jakarta Utara itu memberikan kuasa kepada organisasi lingkungan hidup. Dalam pemeriksaan ulang di PTUN Jakarta, atas perintah putusan sela Mahkamah Agung, terungkap bahwa Nur Saefudin dan Tri Sutrisno sudah mencabut surat kuasa. PTUN Jakarta melegalisasi pencabutan surat kuasa kedua nelayan.

(Baca juga: Putusan PTUN Mestinya Jadi Momentum Bagi Pemerintah).

Berdasarkan jangka waktu diperoleh fakta bahwa surat kuasa untuk kasasi diteken pada 31 Oktober 2016; permohonan kasasi diajukan pada 7 November 2016, dan pencabutan kuasa pada 11 November 2016. Pertanyaannya, apakah pencabutan kuasa dari penggugat prinsipal kepada kuasa hukumnya sah meskipun permohonan kasasi sudah diajukan? Apakah pencabutan kuasa secara sepihak dapat dibenarkan tanpa pemberitahuan pencabutan kepada penerima kuasa?

(Baca juga: Pencabutan Kuasa Hukum).

Berkaitan dengan masalah surat kuasa itu, hakim agung yang menyatakan dissenting opinion menyatakan tiga hal. Pertama, pencabutan kuasa tidak berlaku surut. Pasal 1813 BW (KUH Perdata) menyatakan ‘pemberian kuasa berakhir: dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa dengan pemberitahuan  penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya di pemberi kuasa atau si kuasa; dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa’. BW memperbolehkan pemberi kuasa mencabut kuasanya. Tetapi bagi hakim agung tersebut pencabutan surat kuasa tidak berlaku surut. Penggugat principal sendiri tidak pernah menyatakan mencabut kasasi yang telah diajukan pada 7 November 2016.

Kedua, menurutnya si pemberi kuasa tak pernah memberitahukan pencabutan kuasa kepada penerima kuasa. Padahal syarat berakhirnya kuasa antara lain pemberitahuan pencabutan kepada penerima kuasa, sebagaimana dimaksud Pasal 1813 BW. “Pencabutan kuasa sepihak tersebut terungkap dalam memori kasasi bahwa pemberi kuasa nasih tercantum sebagai pihak pemohon kasasi dalam memori kasasi tersebut”, demikian tertulis dalam salinan putusan yang dipublikasikan laman Mahkamah Agung.

Argumentasi lain
Selain masalah surat kuasa, hakim agung Irfan Fachruddin dalam dissenting opinionnya juga menyinggung pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Menurut PTTUN, pembatalan keputusan yang pengujiannya secara ex-tunc dan atas keputusan tersebut telah terjadi perubahan keadaan dan kebijakan, akan mengakibatkan persoalan baru karena sulit mengembalikan pada keadaan semula. Akbat-akibat dari keputusan itu tetap berlaku dan kerugian yang timbul dberikan kompensasi.

Hakim agung Irfan tidak sependapat terhadap pertimbangan PTTUN itu. Jika pertimbangan itu dibenarkan, bakal terjadi preseden buruk bagi pelaksanaan judicial control terhadap pembangunan serupa di tempat lain. Perubahan keadaan dalam rentang waktu sejak sejak pengajuan gugatan hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap tidak harus terjadi jika ada penundaan pelaksanaan keputusan objek TUN. Penundaan itu seharusnya juga dipatuhi badan/pejabat TUN karena mereka harus melaksanakan kekuasaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas umum pemerintahan yang baik, dan atas perintah pengadilan.

Pembenaran terhadap pertimbangan PTTUN Jakarta, paparnya, berakibat gagalnya fungsi pelaksanaan judicial control terhadap tindakan pemerintah dan penegakan hukum oleh PTUN sebagai pilar negara hukum.

(Baca juga: Menguji Asas Presumptio Iustae Causa di Lingkungan Tata Usaha Negara).

Sang hakim menguraikan, terjadi dampak ekologis yang bisa mempengaruhi stabilitas pola arus, kemampuan laut untuk membersihkan dirinya akan berkurang, dampak fisik berupa perubahan hidro-oseanografi, dan dampak biologis. Menurut sang hakim, suatu rencana kegiatan atau kegiatan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan dampak yang tidak dapat dipulihkan (irreversible) serta mengakibatkan bencana besar (catastrophic), harus dilakukan tindakan-tindakan penghentian. Jika tetap dibiarkan berlanjut, pemerintah akan dirugikan. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha pemulihan secara terus menerus di kemudian hari. Dan itu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapatkan.

Begitulah suara berbeda dari sang hakim. Tapi karena dua hakim lain sebagai mayoritas, pendapat minoritas itu sekadar dimuat dalam pertimbangan putusan. Mahkamah Agung tetap menyatakan tidak dapat diterima kasasi dua orang nelayan, dan menolak kasasi pihak yang lain.
Tags:

Berita Terkait