Dianggap Sesat, Jamaah Ahmadiyah Minta ‘Pengakuan’ ke MK
Berita

Dianggap Sesat, Jamaah Ahmadiyah Minta ‘Pengakuan’ ke MK

Selama ini jamaah Ahmadiyah kesulitan untuk melaksanakan ibadah disebabkan masjid-masjid milik Ahmadiyah disegel, dirusak, bahkan dibakar akibat berlakunya UU No. 1 PNPS Tahun 1965 ini.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Demo pembubaran kelompok minoritas Ahmadiyah di bundaran HI Jakarta. Foto: Sgp
Demo pembubaran kelompok minoritas Ahmadiyah di bundaran HI Jakarta. Foto: Sgp
Akhirnya, aliran agama Ahmadiyah mempersoalkan Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Sebab, aturan itu dinilai sebagai dasar bagi pemerintah melarang aliran atau agama yang dianggap sesat dari agama yang resmi diakui di Indonesia. 

Pemohon uji materi ini diajukan sembilan anggota Ahmadiyah dari berbagai daerah. Diantaranya, Anisa Dewi, Ary Wijanarko, Asep Saepudin, Dedeh Kurniasih, Dkk yang semula pemohonya berjumlah 25 orang. Mereka merasa dirugikan hak konstitusionanya lantaran kesulitan beribadah gara-gara menganut aliran/agama Ahmadiyah. Sebab, UU itu melarang ada penyerupaan agama/aliran tertentu dengan agama resmi yang dianut di Indonesia.    

Sidang permohonan perbaikan dengan perkara No.  56/PUU-XV/2017 ini dipimpin oleh Majelis Panel yang diketuai Wahiduddin Adams bersama Hakim Konstitusi Aswanto dan I Dewa Gede Palguna sebagai anggota. Baca Juga: Ahmadiyah Andalkan Bantuan Hukum Eksternal

Kuasa Hukum Para Pemohon Fitria Sumarni menuturkan alasan pengajuan permohonan ini dikarenakan para anggota Ahmadiyah yang menganut agama Islam dilanggar hak konstitusionalnya untuk menganut aliran agama yang ada di Indonesia. “Para Pemohon kesulitan melaksanakan ibadah disebabkan masjid milik Ahmadiyah disegel, dirusak, bahkan dibakar akibat berlakunya UU No. 1 PNPS Tahun 1965,” kata Fitri di Gedung MK, Senin (11/9/2017).

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Pasal 2 UU No. 1/PNPS/1965 (1) berbunyi “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”

Pasal 3 No. UU 1/PNPS/1965 berbunyi “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri /Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”

Fitria menjelaskan jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah pernah diberikan peringatan atas dasar UU No. 1/PNPS/1965 dan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008, dan Keputusan Jaksa Agung No. Kep 033/A/JA/VI/2008 No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat.

Intinya, berbagai aturan itu memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya karena bertentangan dengan agama Islam. Sebab, aliran Ahmadiyah sudah dinyatakan sesat sesuai Fatwa MUI Tahun 1974 karena organisasi ini melenceng dari ajaran agama Islam di Indonesia. Baca Juga: Tokoh Syiah Uji Aturan Penodaan Agama

Fitria menilai berbagai aturan itulah yang dijadikan dasar untuk melarang kegiatan ajaran Ahmadiyah hingga penyegelan masjid-masjid Ahmadiyah. Bahkan, ada juga masjid yang dirusak sebagai tempat Para Pemohon beribadah. Karena itu, dia berharap pasal-pasal tersebut ditafsirkan secara bersyarat sepanjang aliran agama (lain) yang ada diakui keberadaannya tanpa meniadakan hak aliran agama yang ada di Indonesia.

“Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai meniadakan hak untuk menganut aliran agama yang ada di Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamaannya,” demikian bunyi petitum permohonannya. 
Tags:

Berita Terkait