Benarkah Jaminan Fidusia dapat Mengalihkan Hak Milik?
Kolom

Benarkah Jaminan Fidusia dapat Mengalihkan Hak Milik?

Setiap kelebihan dari hasil penjualan benda fidusia setelah dilakukan pelunasan utang, maka tetap menjadi hak dari si pemberi fidusia.

D.Y. Witanto. Foto: Istimewa
D.Y. Witanto. Foto: Istimewa
Pengantar
Lembaga fidusia berkembang lebih dulu dalam praktik sebelum ada regulasi yang mengaturnya. Perkembangan fidusia dilatarbelakangi oleh munculnya kebutuhan akan pemberian jaminan oleh barang-barang tertentu yang secara fisik tetap diperlukan penggunaannya oleh si debitur.

Lembaga jaminan yang ada dipandang tidak memberikan segi kepraktisan bagi golongan masyarakat tertentu. Hipotik dan Hak Tanggungan dipandang tidak efesien jika dibebankan pada kredit yang nilai utangnya kecil. Sedangkan Gadai selalu menimbulkan kesulitan bagi pihak debitur karena fisik barang harus diserahkan kepada kreditur, padahal banyak diantaranya barang yang akan dijaminkan merupakan sarana mencari nafkah dan penghidupan bagi si debitur.

Undang-undang tentang Jaminan Fidusia baru lahir pada tahun 1999, namun meskipun sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang, lembaga peradilan telah lama mengakui keberadaan jaminan fidusia antara lain sebagaimana dalam Putusan Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 N.J. 1929  yang kemudian dikenal dengan Bierbrouwerij Arrest dan Putusan Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 yang kemudian dikenal dengan Bataafsche Petroleum Arest dalam pertimbangannya dua putusan tersebut menyebutkan bahwa penyerahan hak milik sebagai jaminan merupakan titel yang sah (Mariam Darus Badrulzaman; 1979: 90). Sedangkan pasca kemerdekaan Mahkamah Agung juga pernah memutuskan tentang penyerahan hak milik dalam jaminan benda bergerak yaitu dalam Putusan No. 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971.

Larangan Verval Beding dalam Pemberian Jaminan
Ketika membaca definisi tentang fidusia akan muncul pertanyaan di benak kita, apakah benar dalam jaminan fidusia hak milik debitur atas benda yang dijaminkan itu beralih kepada kreditur? Sebab, menurut  ketentuan pasal 1 angka 1 UU Nomor: 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pengertian fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Apalagi jika kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 33 pasti akan membuat kita menjadi lebih bingung karena menurut Pasal 33 disebutkan “setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitor cidera janji batal demi hukum” lalu dimana sebenarnya titik singgung dua ketentuan pasal tersebut?

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan penyerahan hak milik dalam jaminan fidusia dikenal istilah constitutum possessorium yang artinya penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur dimana benda yang diserahkan hak miliknya tetap berada dalam penguasaan nyata dari debitor (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan; 1981: 70).

Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman pendapat tentang peralihan hak milik dalam jaminan fidusia digolongkan ke dalam dua aliran yaitu menurut aliran klasik yang menyebutkan bahwa fidusia merupakan peralihan hak milik yang sempurna namun digantungkan pada syarat tangguh (opschortende voorwaarde) yang artinya hak milik secara sempurna akan diperoleh saat debitur cidera janji, sedangkan menurut aliran modern peralihan hak milik dalam fidusia bersifat terbatas, sehingga akibatnya hanya melahirkan hak jaminan dan bukan sebagai hak milik (Mariam Darus Badrulzaman; 1979: 97).

Ketentuan batal terhadap setiap janji untuk memiliki benda jaminan (verval beding) merupakan asas yang berlaku secara umum, tidak hanya dikenal dalam Pasal 33 UU Fidusia, namun juga dikenal dalam lembaga jaminan lainnya seperti juga Hak Tanggungan (vide Pasal 12 UU No 4 tahun 1996) maupun Gadai (vide Pasal 1154 KUHPer) sehingga tidak mungkin terjadi peralihan hak milik yang sempurna dari debitur kepada kreditur dalam perjanjian jaminan. (D.Y. Witanto; 2015: 285).

Sebagai bukti kita dapat mengambil contoh dalam hal kreditur (penerima fidusia) jatuh pailit, maka benda jaminan fidusia tidak akan masuk kedalam budel pailit, atau dalam hal kewajiban-kewajiban yang timbul atas kepemilikan benda, tidak akan beralih kepada penerima fidusia seperti pembayaran pajak kendaraan yang tetap menjadi kewajiban si debitor meskipun kendaraan tersebut telah menjadi benda fidusia. Hal tersebut menandakan bahwa tidak terjadi peralihan hak milik yang sempurna dalam jaminan fidusia.

Kedudukan Kreditur untuk Menjual Benda Fidusia
Pertanyaan selanjutnya apa makna dari Pasal 1 angka 1 UU Fidusia yang menyebutkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak milik? Untuk menjawabnya perlu kita baca ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia yang menyebutkan “apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri”.

Kalau kita perhatikan ketentuan Pasal 15 ayat (3) di atas, undang-undang memberikan hak kepada penerima fidusia layaknya hak yang dimiliki oleh seorang pemilik benda karena pada prinsipnya (kecuali ditentukan lain oleh undang-undang) hanya seorang pemiliklah yang dapat menjual suatu benda.

Sehingga maksud dari kata “pengalihan hak kepemilikan” dalam Pasal 1 angka 1 harus dimaknai bahwa kreditur (penerima fidusia) akan memperoleh hak untuk melakukan penjualan atas benda fidusia --- seakan-akan berkedudukan sebagai pemiliknya --- jika debitur cidera janji (D.Y. Witanto; 2015: 286).

Perlu digarisbawahi bahwa hak yang diperoleh kreditur penerima fidusia hanya terbatas pada hak untuk melakukan penjualan. Sedangkan cara untuk melakukan penjualan dibatasi oleh ketentuan Pasal 29 UU Fidusia yaitu hanya dengan 3 cara pertama penjualan lelang dengan bantuan Ketua Pengadilan berdasarkan titel eksekutorial dalam sertifikat fidusia, kedua penjualan lelang atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) dan ketiga penjualan dibawah tangan atas kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.

Meskipun kreditur diberikan hak secara penuh untuk menjual objek jaminan fidusia, namun kreditur tidak boleh menjual dengan sesuka hatinya, karena Pasal 32 menegaskan bahwa “setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan Pasal 31 batal demi hukum”.

Alasan lain yang mendukung pendapat bahwa tidak ada peralihan hak milik secara sempurna pada jaminan fidusia adalah ketika hasil penjualan benda fidusia melebihi dari nilai utang yang harus dibayar, maka kelebihannya harus dikembalikan kepada debitur.

Hal ini menegaskan bahwa benda jaminan hanya dibebani sebesar nilai utang, bunga dan biaya-biaya, sedangkan selebihnya dari itu tetap menjadi hak yang harus diterima oleh pihak debitur, hal ini sesuai dengan pendapat yang menyebutkan bahwa sesungguhnya yang dialihkan oleh debitur kepada kreditur adalah hak milik secara ekonomi bukan hak milik secara yuridis.

Ruang Lingkup Pengalihan Hak Milik dalam Jaminan Fidusia
Jaminan fidusia merupakan jaminan khusus yang memberikan kepada krediturnya suatu kedudukan yang lebih baik daripada kreditor-kreditor lainnya (J. Satrio; 1996: 10). Namun demikian pemberian hak kepada kreditur (penerima fidusia) atas benda yang dijaminkan tidak boleh lebih dari kewajiban yang harus ditunaikan oleh debitur (pemberi fidusia) kepada pihak kreditur, karena perjanjian jaminan adalah asesoir dari perjanjian pokok yang pada umumnya dalam bentuk utang piutang. Objek jaminan merupakan sarana pelunasan yang sifatnya substitusi jika debitur tidak melaksakan prestasinya sebagaimana yang telah diperjanjikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka ruang lingkup pengalihan hak milik atas benda fidusia dari debitur kepada kreditur terbatas pada hal sebagai berikut: Kreditur (penerima fidusia) hanya berhak untuk menjual benda fidusia, baik dengan perantaraan penjualan umum, maupun dengan cara di bawah tangan atas kesepakatan bersama antara kreditur dan debitur.

Setiap kelebihan dari hasil penjualan benda fidusia setelah dilakukan pelunasan utang, maka tetap menjadi hak dari si pemberi fidusia. Jika ada kekurangan dari hasil penjualan benda fidusia, maka sisa hutang debitor hanya dijamin berdasarkan jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPer yang penuntutannya harus melalui prosedur biasa.

Jika debitur menunaikan prestasinya dengan baik, maka kreditur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap benda fidusia dan dengan sendirinya hak kepemilikan beralih kembali kepada pemberi fidusia.Hak kepemilikan dalam jaminan fidusia dibatasi oleh syarat tangguh artinya hak untuk melakukan penjualan ---seakan-akan sebagai pemiliknya--- terhadap benda fidusia baru dapat dilaksanakan setelah debitur cidera janji. (D.Y. Witanto: 2015: 286).

Daftar Kutipan
D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran dan Eksekusi), cv Mandar Maju, Bandung, 2015.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia, Alumni Bandung, 1979.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, cet-4 Liberty, Yogyakarta, 1981.

*)  Penulis adalah Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung. Tulisan ini disarikan dari buku Penulis berjudul Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran dan Eksekusi.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: