David Tobing: Biaya Isi Ulang e-Money Rugikan Konsumen
Utama

David Tobing: Biaya Isi Ulang e-Money Rugikan Konsumen

Ombudsman akan lakukan klarifikasi dengan mengundang BI.

Oleh:
CR-24/ANT
Bacaan 2 Menit
David ML Tobing, pengacara konsumen, mengadukan rencana kebijakan top up ke ORI, Senin (18/9). Foto: RES
David ML Tobing, pengacara konsumen, mengadukan rencana kebijakan top up ke ORI, Senin (18/9). Foto: RES
Rencana Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan terkait biaya isi ulang e-money atau top up masih menjadi polemik. Kelak, semua pengguna jalan tol harus menggunakan kartu isi ulang e-money. Di satu sisi, kalangan perbankan akan diuntungkan kebijakan itu, dan di sisi lain merugikan konsumen.

Advokat yang peduli masalah-masalah konsumen, David ML Tobing mewanti-wanti terbitnya kebijakan itu dengan mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Ia berdalih rencana kebijakan BI yang akan mengeluarkan aturan berupa pengenaan biaya isi ulang kartu elektronik alias e-Money berkisar antara Rp1.500-2.000 diduga merupakan bentuk maladministrasi. Alasannya, aturan tersebut di satu sisi justru mencerminkan keberpihakan kepada pengusaha, dan di sisi  lain merupakanpelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Aturan itu berpotensi menimbulkan ketidakadlilan dan diskriminasi bagi konsumen.

David memaparkan beberapa indikator sebagai bentuk keberpihakan tersebut. Pertama, terciptanya efisiensi pada pengelola jalan tol dan dana pihak ketiga yang diperoleh bank pun meningkat. Kedua, lembaga perbankan yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis karena uang elektronik tidak berbunga. Ketiga, ketiga pernyataan BI secara terang-terangan mendukung rencana pengelola jalan tol yang mewajibkan pembayaran nontunai menggunakan kartu uang elektronik atau e-toll.

(Baca juga: Info Penting! Transaksi Penggunaan Uang Kartal akan Dibatasi)

David menengarai rencana kebijakan BI melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas atau logam dan patut diduga sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran dan pelanggarannya diancam pidana paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.

Selain keberpihakanPemerintah, rencana kebijakan itu dianggap sarat ketidakadilan bagi konsumen. Pertama, konsumen sudah dipaksa untuk tidak membayar secara tunai. Kedua, uang eletronik mengendap di bank. Ketiga, konsumen tidak memperoleh bunga dari uang yang dibayar ebih dahulu. Keempat, tidak ada jaminan dari Lembaga Penjamin Simapanan (LPS). Kelima, jika konsumen kehilangan kartu, uang yang ada dianggap hilang. Keenam, konsumen malah mendapat disentif, bukan insentif dalam pelaksanaan cashless society atau tidak lagi menggunakan transaksi tunai.

(Baca juga: Kisah Pembatasan Transaksi Tunai dalam Hukum Indonesia)

Dalam laporannya, David berharap Ombudsman memberikan rekomendasi kepada BI untuk membatalkan rencana penerbitan kebijakan mengenai biaya isi ulang kartu elektronik. Dan melindungi hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan rupiah kertas maupun logam dalam bertransaksi,” terang David.

Selain melaporkan kepada Ombudsman, David menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada Gubernur BI yang intinya meminta pembatalan rencana penerbitan aturan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik.

Panggil BI
Dihubungi terpisah, komisioner Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya mengatakan pihaknya segera menindaklanjuti laporan David Tobing. Ombudsman akan meminta klarifikasi sejumlah pihak terkait terutama Bank Indonesia sebagai regulator yang menyampaikan rencana terbitnya beleid tersebut.

“Masih klarifikasi 14 hari paling lama. Mungkin kita akan undang (BI), Ombudsman mendengar aja dulu pekan depan,” ujar Dadan kepada hukumonline.

Dadan juga mengakui rencana kebijakan BI tersebut sebenarnya sudah didiskusikan secara internal oleh Ombudsman. Apalagi semenjak rencana tersebut ramai diperbincangkan masyarakat di media sosial maupun media nasional. “Kajian belum ada, baru diskusi internal karena ramai di medsos dan media,” terangnya.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan aturan pemungutan biaya isi ulang saldo uang eletronik atau e-money akan terbit pada akhir September 2017 berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) BI. Nantinya dalam aturan tersebut akan ditentukan berapa batas batas maksimum dan besaran untuk biaya isi ulang tersebut.

Agus menjelaskan mengapa BI akhirnya memperbolehkan perbankan memungut biaya isi ulang saldo uang elektronik karena mempertimbangkan kebutuhan perbankan itu sendiri akan biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang eletronik dan layanan teknologi serta pemeliharannya, apalagi pada 31 Oktober 2017 mendatang pembayaran tol di seluruh Indonesia tidak bisa dilakukan secara tunai.

(Baca juga: BI Keluarkan Aturan Kewajiban Penggunaan Rupiah)

Kita harus yakinkan bahwa saat masyarakat beli uang elektronik untuk jalan tol, itu harus tersedia secara luas. Oleh karena itu BI mengizinkan untuk ada tambahan biaya," ujarnya. Sebagai gambaran, jumlah uang elektronik di Indonesia beredar per Juli 2017 mencapai 69,45 juta atau naik 35 persen dibandingkan periode akhir 2016 yang tercatat 51,2 juta.
Tags:

Berita Terkait