5 Poin Isu Krusial RUU Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem
Utama

5 Poin Isu Krusial RUU Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem

Mulai kelembagaan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati hingga aspek penegakan hukum terhadap kejahatan konservasi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana RDPU antara Pokja Konservasi dengan Komisi IV DPR. Foto: RFQ
Suasana RDPU antara Pokja Konservasi dengan Komisi IV DPR. Foto: RFQ
Pembahasan Revisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem mulai dilakukan Komisi IV DPR. Setidaknya berbagai elemen pemangku kepentingan dimintakan saran dan masukan dalam rangka memperkaya RUU tersebut. Terdapat lima poin isu krusial RUU Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem sebagaimana catatan dari Kelompok Kerja  (Pokja) Kebijakan Konservasi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR di Gedung DPR, Senin (18/9) kemarin.

Juru bicara Pokja Kebijakan Konservasi Henri Subagyo mengatakan, DPR perlu segera mempercepat  pembahasan RUU tersebut. Malahan bila perlu dan mampu, RUU tersebut dapat disahkan di penghujung akhir 2017 dengan memulai pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah. Munculnya RUU tersebut sudah lebih dari satu dekade yang lalu.

Ironisnya, banyaknya kasus kejahatan keanekaragaman hayati yang tidak dapat diproes secara optimal. Penyebabnya lantaran tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. Misalnya, perusakan ekosistem terumbu karang oleh kapal asing di Raja Ampat. Atas dasar itu, lanjut Henri, terdapat tiga alasan perlunya dilakukan revisi UU tersebut.

Pertama, jangka waktu keberlakuan UU No. 5 Tahun 1990 sudah sangat lama. “Sehingga belum dapat mengakomodir perkembangan isu-isu dan permasalahan konservasi keanekaragaman  hayati. Baik di tingkat nasional maupun internasional,” ujarnya. (Baca Juga: RUU Keanekaragaman Hayati Perlu Pertegas Posisi Masyarakat Hukum Adat)

Kedua, pengaturan penegakan hukum yang tidak dapat mengikuti perkembangan kejahatan keanekaragaman hayati di Indonesia. Ketiga, terdapat isu konservasi keanekaragaman hayati pada tngkat genetik yang belum satupun ada aturannya di tingkat nasional. Walhasil kerap kali terjadi ‘pembajakan’ sumber daya genetik, biasa dikenal biopiracy.

Henri mencatat, terdapat lima isu yang krusial dalam RUU tersebut. Pertama, terkait kelembagaan penyelenggara konservasi keanekaragaman hayati. Menelisik persoalan genetik, spesies dan kawasan konservatif, Pokja menilai kelembagaan amatlah krusial. Sebab bila membahas ekosistem yang sedemikian luas maka mesti dilakukan pendekatan secara holistik dan komprehensif.

Misalnya di kelembagaan terdapat kehutanan, pertanian dan kelautan perikanan. Pokja pun mengusulkan dua alternatif. Alternatif pertama simpul kebijakannya. Menurutnya pengambilan kebijakan dapat dikoordinasikan menjadi satu oleh lembaga tersebut yang menyoal kehutanan, pertanian dan kelautan perikanan. Alternatif kedua, badan independen berdiri sendiri yang dibentuk melalui  RUU tersebut.

“Dari sisi policy, perlu ada keseragaman yakni antara konservasi di daear dan kehutanan. Apakah kemudian dari sisi legislasi digabung saja menjadi satu, tetapi teknisnya bisa dari masing-masing kementerian,” katanya.

(Baca Juga: Rekomendasi WALHI Terkait Implementasi Moratorium Izin Tata Kelola Hutan)

Kedua, akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Pokja mengusulkan adanya norma dalam RUU yang mengatur pemerintah memfasilitasi masyarakat adat ketika akan melakukan kontrak kerja sama dengan pihak korporasi terkait pemanfaatan sumber daya genetik.

Ketiga, perizinan, pengawasan dan sanksi administrasi. Poin tersebut sedianya menjadi perhatian Komisi IV dan pemerintah dalam pembahasan. Sebab pengawasan tidak saja menekankan pada bidang konservasi, namun juga kepatuhan izin yang diberikan pihak berwenang. Dengan begitu, pengawasan dapat menjadi pintu masuk bagi penegak hukum dalam memberikan sanksi pidana maupun administrasi.

“Kami minta pengawasan tak saja perlindungan, tetapi juga bagaimana pengawasan terhadap izin-izin yang sudah diberikan. Karena izin itu ada konservasi genetik dan pemanfaatan,” katanya.

Keempat, aspek penegakan hukum terhadap  kejahatan konservasi keanekaragaman hayati. Henri yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL) mengatakan aspek penegakan hukum perdata, tanggung jawab mutlak perlu diakomodir. Yakni basis dari tanggung jawab mutlak diperluas sehingga tidak lagi persoalan ekosistem, tetapi aspek sumber daya genetik.

“Bioteknologi bisa menyebabkan kerugian dan kerusakan masif. Kami mengusulkan ada penambahan kerusakan ekosistem dan sumber daya genetik serta spesies. Dengan begitu, gugatan perdata tak saja menyoal tanggung jawab ekosistem namun juga tanggung jawab kerusakan sumber daya genetik dan species.

Kemudian aspek penegakan hukum pidana. Menurutnya perlunya penguatan kewenangan penyidik dan perlindungan terhadap pihak ketiga yang membantu dalam melakukan kewenangannya. Nah, kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilakukan sesuai dengan UU yang menjadi landasan hukum masing-masing. Oleh karena itulah kewenangan PPNS  dalam menindak pidana konservasi perlu diatur jelas agar tidak melakukan tindakan di luar kewenangannya.

(Baca Juga: Selamatkan Satwa Liar Lewat Revisi UU 5/1990)

Namun di lapangan terdapat berbagai kendala. Misalnya, kurang baiknya koordinasi hasil penyidikan PPNS yang diserahkan ke kepolisian. Kemudian, perlu adanya payung hukum bagi PPNS dalam melakukan penyadapan dan teknik undercover investigation. Tak kalah penting, perlunya perlindungan bagi pihak ketiga yang bekerja sama dengan PPNS maupun penyidik kepolisian yang membantu melakukan penyadapan maupun teknisundervover investigation.

Kelima, perindungan hak dan akses masyarakat adat serta lokal. Menurutnya, ketentuan  mengenai masyaakat hukum adat dan lokal merupakan aturan baru yang sema sekali belum pernah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. Kendati pun dalam aturan pelaksanaan seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri, RUU ini meletakkan pondasi pengaturan masyarakat adat dan lokal serta pemberdayaan dalam konservasi keanekaragaman hayati. Tujuannya bakal menunjang penyelengaraan konservasi bagi kesejahteraan masyarakat.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga, dan anggota Komisi IV Ibnu Multazam, mengamini masukan dan Pokja Kebijakan Konservasi. Masukan tersebut nantinya menjadi pertimbangan bagi tindaklanjut dalam pembahasan RUU tersebut. “Masukan ini akan menjadi pertimbangan selanjutnya,” ujar Ibnu yang juga politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Tags:

Berita Terkait