Pelanggaran Due Process of Law, Alasan Banding Kasus Gangguan Anjing Peliharaan
Berita

Pelanggaran Due Process of Law, Alasan Banding Kasus Gangguan Anjing Peliharaan

Penggugat mengklaim kerugian akibat gangguan anjing peliharaan tergugat adalah nyata.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi gangguan anjing terhadap pesepeda. Ilustrator: BAS
Ilustrasi gangguan anjing terhadap pesepeda. Ilustrator: BAS
Gugatan seorang warga Pondok Indah Jakarta Selatan yang berprofesi sebagai advokat terhadap pemilik anjing masih berlanjut ke tingkat banding. Sebelumnya, PN Jakarta Selatan menyatakan gugatan Wahyuni Bahar tidak dapat diterima. Kalah di tingkat pertama, Wahyuni mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, kuasa hukum Wahyuni sudah mengajukan memori banding. Poltak Arif Fransiscus, salah seorang kuasa hukum Wahyuni Bahar, membenarkan pihaknya sudah mengajukan banding. Memori banding kliennya berisi beberapa hal yang intinya menunjukkan kelemahan putusan hakim tingkat pertama.

(Baca juga: Kisah Advokat dan Gangguan Anjing Peliharaan).

Salah satu poin penting yang disampaikan dalam memori banding adalah pelanggaran majelis atas due process of law. Hakim dinilai tidak menjalankan peradilan dengan benar untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Hakim dianggap mengabaikan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini menyebutkan ‘pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan’.

Argumentasi tentang pelanggaran due process of law itu digunakan karena penggugat asal menilai majelis hakim hanya mempertimbangkan hal-hal yang bersifat formal, dan sama sekali tak mempertimbangkan pokok perkara. Padahal penggugat menilai kerugian yang dialaminya nyata. “Hakim telah mengabaikan faktayang terungkap dalam persidangan, yang menunjukkan bahwa Pembanding (dahulu Penggugat) telah secara nyata-nyata mengalami kerugian secara materiil maupun immateriil,” ujar Poltak kepada hukumonline, Selasa (19/9)kemarin.

(Baca juga: Pemilik Bisa Didenda karena Unggas Peliharaan).

Berkaitan dengan kerugian itu, pembanding menegaskan dalam memori banding bahwa ada kemungkinan majelis hakim keliru memahami kerugian tersebut. Poltak menjelaskan kliennya telah mengalami gangguan kesehatan dan cacat akibat gangguan anjing peliharaan milik tergugat/terbanding. Kliennya, kata Poltak, juga kehilangan pendapatan selama dalam proses penyembuhan akibat gangguan anjing tersebut.

Dalam putusan PN Jakarta Selatan 12 Juni lalu, majelis hakim menilai penggugat telah mencampurkan masalah pribadi penggugat dengan kedudukannya sebagai managing partner kantor hukum. Poltak menegaskan dalam gugatan, klienya memang bertindak atas nama perseorangan. Tetapi kliennya juga mempunyai tanggung jawab sebagai managing partner kantor hukum, sehingga ia juga bertanggung jawab atas pemenuhan pendapatan kantor hukum itu.

“Mengingat pendapatan Pembanding bersumber dari pendapatan Kantor Hukum Bahar & Partners, yang mana Kantor Hukum Bahar & Partners dapat memperoleh pendapatan secara maksimal ketika Pembanding dapat menjalankan fungsinya secara maksimal,” ujar Poltak.

Menurut Poltak, kerugian yang diajukan kliennya merupakan kerugian baik secara pribadi yang berasal dari biaya pengobatan, asuransi, gangguan kesehatan dan kondisi fisiknya serta kerugian yang berasal dari kantor hukumnya.Karena itu, dalam memori banding, penggugat meminta Pengadilan Tinggi menolak eksepsi tergugat/terbanding, dan menerima gugatan penggugat seluruhnya.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Majelis hakim yang terdiri dari Ratmoko, Dju Johnson Mira Mangngi pada putusan tertanggal 12 Juni 2016 menyetujui eksepsi pihak tergugat tentang ketidakjelasan kedudukan hukum penggugat selaku pribadi atau managing partner kantor hukum.

Setelah majelis membaca surat kuasa dari Wahyuni Bahar sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa Anggia Rukmasari, dkk tertanggal 23 Januari 2017 maka terbukti pemberian kuasa tersebut dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan managing partner kantor hukum.. Dari uraian tersebut majelis berkesimpulan jika penggugat mengajukan gugatan bukan hanya sebagai pribadi, tetapi selaku managing partner.

Maka secara hukum penggugat dalam surat kuasa harus menyebut dengan jelas posisinya tidak hanya sebagai pribadi tetapi selaku managing partner kantor hukum tersebut. “Menimbang, karena penggugat memberi kuasa selaku pribadi dan tidak dalam kedudukan sebagai managing partner kantor hukum Bahar &Partnerstetapi dalam kenyataannya mencampuradukkan kedudukan penggugat sehingga secara hukum gugatan penggugat yang sedemikian dinyatakan suatu gugatan yang kabur,” tutur majelis dalam putusan.

Oleh karena gugatan kabur, maka eksepsi Darmawan melalui kuasa hukumnya pada point 2 dapat dikabulkan dan eksepsi yang lain tidak perlu dipertimbangkan lagi. “Menimbang, bahwa karena eksepsi Tergugat dikabulkan, maka pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan lagu dan gugatan penggugat tidak dapat diterima,” jelas majelis.

Pengacara terbanding, Iqbal Baharudin dan Erry Ayudhiansyah, belum memberikan tanggapan apakah sudah menyiapkan dan memberikan kontra memori banding atau belum. Telepon ke kantornya tak membuahkan hasil. “Belum kembali lagi,” jawab seorang penerima telepon yang mengaku bernama Ani. Tetapi sebelumnya, tergugat mengatakan putusan PN Jakarta Selatan sudah benar.
Tags:

Berita Terkait