Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar, mengatakan laporan itu merupakan kali pertama bagi pemerintah Indonesia sebagai negara pihak. Proses penyampaian laporan selanjutnya akan dilakukan setiap 5 tahun sekali. Dia yakin Komite PBB puas terhadap laporan yang telah disampaikan pemerintah, prosesnya disebut komprehensif dan inklusif karena melibatkan banyak pemangku kepentingan dari tingkat pusat dan daerah.
“Komite PBB mengingatkan banyak PR yang harus diselesaikan pemerintah Indonesia. Mereka juga sangat berharap pada hasil revisi UU PPTKILN,” kata Dicky dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (20/9).
(Baca juga: 7 Isu RUU PPILN yang Disepakati Pemerintah-DPR).
Dicky mencatat ada 26 rekomendasi yang disampaikan Komite PBB untuk pemerintah. Salah satu rekomendasi menekankan kepada pemerintah untuk lebih melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam membahas kebijakan yang bersentuhan dengan tata kelola migrasi. Saat ini pemerintah masih mengkaji rekomendasi yang disampaikan Komite PBB dan akan memberikan masukan. Selanjutnya, pelaksanaan rekomendasi itu akan disesuaikan dengan program nasional.
Sekretaris Utama BNP2TKI, Hermono, mengatakan dari 26 rekomendasi yang disampaikan Komite PBB paling menonjol dalam revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN). Komite sangat berharap revisi itu segera selesai karena penting sebagai pintu masuk untuk membenahi persoalan migrasi secara menyeluruh. “Secara tegas Komite PBB meminta pemerintah Indonesia segera selesaikan revisi UU PPTKILN,” ujarnya.
(Baca juga: RUU PPILN Adopsi Konvensi PBB 1990).
Hermono menjelaskan dari puluhan rekomendasi yang disampaikan Komite PBB hampir semua masuk dalam substansi revisi UU PPTKILN. Misalnya, penguatan koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintah yang mengurusi soal pekerja migran. Komite mencatat sedikitnya ada 7 lembaga pemerintah yang jadi kunci dalam tata kelola buruh migran di Indonesia.
Dalam rekomendasinya Komite PBB menyoroti kewenangan PJTKI/PPTKIS sangat besar. Pihak swasta itu melakukan sebagian besar kewenangan mengelola buruh migran mulai dari merekrut, menggelar pelatihan, penempatan, dan perlindungan. Hermono mengatakan dalam revisi UU PPTKILN kewenangan PJTKI/PPTKIS dikurangi.
Menurut Hermono proses revisi UU PPTKILN sudah masuk tahap sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan. Pembahasan substansi telah selesai, yang belum diantaranya mengenai bab penjelasan. Dia menyebut pemerintah dan DPR berkomitmen untuk segera menyelesaikan reivisi UU PPTKILN.
(Baca juga: Komnas HAM Soroti Beberapa RUU Prolegnas Prioritas 2017, Mengapa?)
Ketua Pusat Studi Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan tidak ada isu baru yang direkomendasikan oleh Komite PBB. Berbagai isu itu sudah 10 tahun lalu disuarakan masyarakat sipil kepada pemerintah. Terbitnya rekomendasi Komite PBB itu harus menjadi pemacu bagi pemerintah untuk melakukan perubahan besar dan cepat terkait perlindungan bagi buruh migran dan keluarganya.
Anis sepakat jika revisi UU PPTKILN menjadi awal untuk membenahi tata kelola migrasi dalam rangka memperkuat perlindungan. Namun, dia belum optimis karena proses revisi itu belum tuntas. Organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu buruh migran terus mengawal penyelesaian revisi UU PPTKILN. Namun Anis berharap pemerintah juga melakukan hal yang sama, mendorong agar proses sinkronisasi cepat selesai kemudian segera mengesahkan UU hasil revisi.
Anis juga menyebut Komite PBB mengingatkan pemerintah untuk menyelaraskan segala peraturan terkait migrasi dengan UU No. 6 Tahun 2012. Menurut Anis rekomendasi Komite PBB paling banyak menyoroti masalah gender dan buruh migran tidak berdokumen lengkap serta anak buruh migran yang ikut migrasi. “Komite PBB minta rekomendasi mereka itu dilaksanakan selaras dengan SDGs, diantaranya kesetaraan gender, decent work dan access to justice, ” pungkasnya.