Peluncuran Peluru Kendali Balistik Korea Utara: Perspektif Hukum Udara dan Angkasa
Kolom

Peluncuran Peluru Kendali Balistik Korea Utara: Perspektif Hukum Udara dan Angkasa

Memastikan keselamatan penerbangan sipil dari ancaman serangan militer Korea Utara juga merupakan salah satu alasan kuat untuk menghancurkan peluru kendali balistik.

Bacaan 2 Menit
Ridha Aditya Nugraha. Foto: Istimewa
Ridha Aditya Nugraha. Foto: Istimewa
Dunia sempat dikejutkan dengan peluncuran peluru kendali balistik (ballistic missile) Korea Utara yang melintasi Jepang pada Agustus lalu. Sepertinya Kim Jong-un ingin membuktikan ancaman meratakan pangkalan militer Amerika Serikat di Guam bukan sekadar retorika belaka.

Peluru kendali balistik pertama terbang sejauh 2.700 kilometer dengan ketinggian maksimal 550 kilometer sebelum jatuh di laut lepas. Mengingat kecepatannya, peluru kendali balistik tersebut hanya membutuhkan sekitar tiga puluh menit untuk melintasi Laut Timur dan Jepang, hingga kemudian pecah dan jatuh di Samudera Pasifik.

Hanya beberapa minggu berselang, tepatnya pertengahan September ini, Korea Utara kembali melanjutkan provokasi. Menurut data militer Korea Selatan, dengan rute yang hampir sama, kali ini peluru kendali balistik kedua menempuh jarak lebih jauh yakni 3.700 kilometer sebelum jatuh di lautan teduh. Ketinggian maksimalnya mencapai 770 kilometer. Sebagian menganalisis daya jelajahnya sudah mampu menjangkau benua lain (intercontinental), tepatnya Amerika Serikat.

Korea Utara telah meratifikasi magna carta hukum angkasa, the Outer Space Treaty of 1967, pada Maret 2009. Berbicara mengenai magna carta hukum udara, negara paling terisolasi di dunia ini juga telah meratifikasi the Chicago Convention of 1944 sekitar empat dekade silam. Berdasarkan teori, jelas sudah komitmen Korea Utara untuk tunduk kepada rezim hukum udara dan angkasa yang berlaku.

Sayangnya fakta di lapangan berbeda jauh dengan teori. Peluncuran dua peluru kendali balistik Korea Utara nyatanya tengah menguji berbagai ketentuan hukum internasional, termasuk kedinamisan hukum internasional itu sendiri.

Seiring perkembangan waktu, dalam dua dekade terakhir ini, rezim hukum udara dan angkasa terasa semakin bersinggungan. Kehadiran SpaceShipOne dan SpaceShipTwo yang mempelopori penerbangan sub-orbital tengah menciptakan suatu pertanyaan baru: rezim hukum apakah yang berlaku bagi SpaceShipTwo sebelum meninggalkan dan setelah kembali ke ruang udara? Apakah rezim hukum udara dan hukum angkasa dapat berlaku bergantian sesuai ketinggian jelajah masih menjadi perdebatan.

Penerbangan sub-orbital berbeda dengan aktivitas peluncuran satelit yang menjadikan ruang angkasa sebagai tujuan akhir; atau tepatnya tidak memiliki fase kembali ke permukaan bumi. Keberlakuan mutlak rezim hukum angkasa pada aktivitas tersebut tidak perlu dipertanyakan. Sayangnya dunia belum mencapai kata sepakat untuk menjawab pertanyaan krusial mengenai fenomena penerbangan sub-orbital.

Peluru kendali balistik yang ditembakkan Korea Utara memiliki suatu kesamaan dengan penerbangan sub-orbital, yaitu diluncurkan dari ruang udara, memasuki ruang angkasa, hingga kemudian kembali ke ruang udara untuk menghantam target. Permasalahannya sampai saat ini belum terdapat kesepakatan mengenai delimitasi ruang udara dan angkasa - kapan ruang udara berakhir dan ruang angkasa dimulai belum ditentukan secara global.

Baik the Outer Space Treaty of 1967 maupun the Chicago Convention of 1944 absen dalam hal ini. Dewasa ini pendekatan spasial garis von Kármán, terletak pada ketinggian sekitar 100-110 kilometer, secara de facto telah diterima dunia.

Absennya delimitasi ruang udara dan angkasa nampaknya membingungkan Negeri Sakura dalam merespon dua peluncuran peluru kendali balistik Korea Utara terakhir. Japan Air Defense Identification Zone (JADIZ) seakan-akan tidak berkutik ketika peluru kendali balistik tengah berada di atas Jepang.

Sebagai sekutu Amerika Serikat, Jepang tidak memiliki permasalahan teknologi untuk menghancurkan peluru kendali balistik yang mengarah ke wilayahnya; terutama ketika memasuki JADIZ. Namun, sebagai negara maju yang mengutamakan prinsip rule of law dan legal certainty, maka kancah pertempuran juga memasuki ranah hukum.

Idealnya Jepang harus mampu membuktikan rezim hukum apa yang berlaku sebelum menembak jatuh peluru kendali balistik Korea Utara. Seperti Angkatan Udara Amerika Serikat, ahli hukum berperan krusial dengan menjadi ujung tombak operasional sistem pertahanan.

Jika jawabannya rezim hukum udara, maka muncul pertanyaan lanjutan apakah benda tersebut dikategorikan sebagai pesawat negara (state aircraft) mengingat diluncurkan oleh instalasi militer Korea Utara; atau malah bukan pesawat negara (state aircraft) maupun pesawat sipil (civilian aircraft).  Keberadaan Pasal 8 the Chicago Convention of 1944 mengenai pesawat tanpa awak (pilotless aircraft) dapat menjadi suatu pencerahan yang mengarahkan peluru kendali balistik sebagai pesawat mengingat kemiripan pengoperasian diantara keduanya.

Dr. Ruwantissa Abeyratne, mantan senior legal officer International Civil Aviation Organization (ICAO), merumuskan suatu pertanyaan penting: apakah seharusnya Korea Utara mengajukan izin melintas kepada Jepang sesuai Pasal 3(c) the Chicago Convention of 1944 atau hal tersebut tidak relevan mengingat peluru kendali balistik berada di luar angkasa? Absennya delimitasi ruang udara dan angkasa mengakibatkan tidak terdapat jawaban pasti.

Lantas jika jawabannya ternyata rezim hukum angkasa yang berlaku, maka harus digarisbawahi bahwa tidak ada negara yang dapat mengklaim kedaulatan (sovereignty) di ruang angkasa sebagaimana termuat dalam Pasal 2 the Outer Space Treaty of 1967. Pendekatan ini berarti skakmat untuk Jepang dengan JADIZ-nya karena dua peluru kendali balistik Korea Utara dianggap sama sekali tidak melintasi wilayah kedaulatan Jepang. ‘Kebetulan’ saja ruang angkasa yang dilintasinya berada di atas Jepang.

Makna “tujuan damai” yang ditekankan pada pembukaan magna carta hukum angkasa dalam konteks ini ialah larangan penempatan senjata anti-peluru kendali balistik pada orbit bumi. Upaya menangkis peluru kendali balistik asing hanya dapat dilakukan dari bumi. Entah dari darat, kapal selam, maupun pesawat tempur; bebas, yang penting dari dalam atmosfir.

Seandainya dapat didalilkan landasan kuat akan keberlakuan rezim hukum udara ketimbang hukum angkasa, terbukalah peluang bagi Jepang untuk mengoptimalkan fungsi JADIZ; yaitu menembak jatuh peluru kendali balistik Korea Utara. Upaya preventif tersebut sah menurut doktrin self-defence sebagaimana termuat dalam Piagam PBB; mengingat tujuannya untuk melindungi rakyat Jepang (dan juga Guam) serta menjamin perdamaian dunia.

Memastikan keselamatan penerbangan sipil dari ancaman serangan militer Korea Utara juga merupakan salah satu alasan kuat untuk menghancurkan peluru kendali balistik. Akan sangat sulit bagi Jepang untuk mengeluarkan Notice to Airmen (NOTAM) guna memperingatkan pesawat mengingat kecepatan peluru kendali balistik serta arah yang tidak terprediksi.

Melihat tujuannya sebagai upaya provokatif, jelas Korea Utara tidak akan mengeluarkan NOTAM apapun rezim hukum yang berlaku. Lha mau perang kok memperingatkan? Keefektifan NOTAM jelas diragukan sehingga upaya penghancuran patut dipertimbangkan.

Pelajaran Berharga
Kasus peluru kendali balistik Korea Utara yang melintasi Jepang dapat menjadi masukan guna menentukan delimitasi ruang udara dan angkasa; tepatnya menentukan model pendekatan yang terbaik.

Kemudian konsep Air Defense Identification Zone (ADIZ) yang dalam praktiknya menjadi domain masing-masing negara dapat dikaji lebih jauh jangkauannya. Dapatkah militer suatu negara menembak peluru kendali balistik yang jelas mengancam tetapi ‘masih’ berada ratusan kilometer di atas permukaan bumi alias ruang angkasa? Mengingat judulnya dimulai dengan “Air”, patut direnungkan apakah fungsi ADIZ masih relevan jika hanya terbatas di ruang udara.

Jika sempat terpikir untuk membuat Space Defense Identification Zone (SDIZ), ide ini sendiri menghadapi dua tantangan utama, yaitu penguasaan teknologi dan tujuan damai penggunaan ruang angkasa sebagaimana menjadi roh the Outer Space Treaty of 1967. Keberadaan konesp SDIZ berpotensi mendorong militerisasi ruang angkasa; suatu hal yang ingin dicegah banyak pihak sejak awal.

Mari kita lihat apakah Jepang akan tetap membiarkan peluru kendali balistik Korea Utara tetap melintas diatasnya jika rezim Kim Jong-un meluncurkan yang ketiga kalinya.

*)Ridha Aditya Nugraha adalah Manajer riset Air Power Centre of Indonesia, Jakarta; anggota German Aviation Research Society, Bonn. Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden dan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP. Saat ini berkarya dengan menjadi konsultan hukum di ibu kota Jakarta; dosen tamu untuk mata kuliah hukum udara dan ruang angkasa di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta; serta tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: