Ditjen Pajak: PP 36/2017 Demi Kepastian Hukum Pasca Pengampunan Pajak
Berita

Ditjen Pajak: PP 36/2017 Demi Kepastian Hukum Pasca Pengampunan Pajak

Melalui PP ini pemerintah memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan tertentu, yang merupakan tindak lanjut dari UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Ditjen Pajak: PP 36/2017 Demi Kepastian Hukum Pasca Pengampunan Pajak
Hukumonline
Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan telah ditetapkan pada 6 September 2017.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Hestu Yoga Seksamam mengatakan melalui PP ini pemerintah memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan tertentu, yang merupakan tindak lanjut dari UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, setiap Wajib Pajak (WP) berhak mendapatkan Pengampunan Pajak dengan menyampaikan Surat Pernyataan Harta antara tanggal 1 Juli 2016 – 31 Maret 2017.

Hestu menjelaskan meski program amnesti pajak telah berakhir pada 31 Maret 2017, terdapat konsekuensi lanjutan bagi WP dalam tiga kategori sebagai berikut:

No.Kategori WPPerlakuan PerpajakanBatas Waktu Penetapan
1. Peserta program amnesti pajak dan ditemukan ada harta yang tidak diungkapkan dalam SPH Harta bersih yang ditemukan dianggap sebagai penghasilan Tidak ada
2. Peserta program amnesti pajak yang gagal melaksanakan komitmen repatriasi atau investasi dalam negeri Harta bersih tambahan yang diungkapkan dalam SPH dianggap sebagai penghasilan tahun pajak 2016 Tidak ada
3. Bukan peserta amnesti pajak dan ditemukan ada harta yang tidak diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Harta bersih yang ditemukan dianggap sebagai penghasilan pada saat ditemukan 3 tahun sejak UU Pengampunan Pajak berlaku (s.d 30 Juni 2019)
“Dengan adanya PP ini, maka pemerintah menunjukkan konsistensi kebijakan dan memberikan kepastian hukum yang menjamin hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak serta kewenangan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan amanat Pasal 13 dan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak,” kata Hestu, dalam siaran pers yang dikutip hukumonline, Jumat (22/9).

Selain itu, kata Hestu, PP ini memberikan rasa keadilan bagi WP yang sudah melaksanakan kewajiban perpajakan selama ini dengan benar, termasuk bagi para peserta program Amnesti Pajak, melalui pemerataan beban pajak kepada WP yang belum melaksanakan kewajiban pajak dengan benar namun tidak mengikuti program amnesti pajak. (Baca Juga: PP Pengenaan Pajak Penghasilan atas Harta Bersih Diteken)

Menurutnya, sesuai semangat rekonsiliasi dan sejalan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016, PP ini tidak berlaku bagi masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau memiliki penghasilan dari warisan dan/atau hibah yang sudah dilaporkan dalam SPT pewaris dan/atau pemberi hibah.

Keberpihakan juga ditunjukkan melalui skema tarif pajak penghasilan final pada PP ini, di mana WP Badan maupun Orang Pribadi yang memiliki:

a. penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas hingga Rp4,8 miliar, b. penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas hingga Rp632 juta, atau c. penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas hingga Rp632 juta dan penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, yang secara total jumlah penghasilan bruto dari keduanya paling banyak Rp4,8 miliar diberikan tarif yang lebih ringan (12,5%) dibandingkan dengan tarif yang dikenakan kepada kelompok WP Badan (25%) dan WP OP (30%) lainnya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa WP tersebut masih perlu dibina dan dikembangkan, tanpa dibebani pajak yang tinggi. 

“Dengan terbitnya PP ini, Ditjen Pajak mengimbau masyarakat agar apabila masih terdapat harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dibayarkan pajaknya, dan harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT Tahunan dan wajib pajak tidak mengikuti program amnesti pajak, maka selama belum dilakukan pemeriksaan, wajib pajak masih dapat melakukan pembetulan SPT dengan melaporkan harta tersebut serta penghasilan dan pajak yang harus dibayar,” ujar Hestu.

Ditjen Pajak juga mengimbau masyarakat agar tidak khawatir karena Ditjen Pajak akan menerapkan PP ini secara profesional dengan mengedepankan semangat rekonsiliasi dan perbaikan kepatuhan pajak sambil tetap menjaga confidence dunia usaha dan iklim investasi. 

“Untuk mencegah penyimpangan, Ditjen Pajak menerapkan mekanisme pengawasan internal sesuai aturan yang berlaku dan mengharapkan bantuan masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan PP ini di lapangan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pemberlakuan terhadap Wajib Pajak (WP) terkait dengan diterbitkannya PP No.36 Tahun 2017, harus seragam.

"Pemakaian nilai harta bersih yang ditetapkan Ditjen Pajak dapat diterima sebagai konsekuensi Undang-Undang Tax Amnesty, tapi sebaiknya ada pedoman dari kantor pusat agar perlakuan di lapangan dijamin seragam. Dikhawatirkan akan berbeda-beda dan menimbulkan 'dispute' dan distrust," ujar Yustinus.
Tags:

Berita Terkait